Jebakan Draf RUU Penyiaran
Diani Citra ;
Kandidat PhD Columbia
University Graduate School of Journalism
|
KOMPAS, 25
Februari 2016
Draf RUU Penyiaran
milik DPR versi Februari 2016 sudah beredar di kalangan pemerhati komunikasi.
Isinya sangat mengkhawatirkan.
Undang-Undang
Penyiaran (UU Nomor 32 Tahun 2002) memang sudah waktunya diperbaiki, tetapi
bukan karena kedaluwarsanya prinsip demokratis yang melandasi UU tersebut. UU
32/2002 harus diperbarui karena dianggap tidak cukup untuk mengakomodasi
aspek teknis digitalisasi pertelevisian yang niscaya akan dilakukan pada
2018.
Sayangnya, draf RUU
Penyiaran terbaru ini justru mementahkan banyak aspek demokratis yang diusung
UU 32/2002 dengan menggunakan digitalisasi TV sebagai kamuflase.Banyak pihak
yang tidak mengetahui bahwa manfaat bagi Indonesia untuk bermigrasi ke
televisi digital (TVD) bukanlah untuk memperbaiki kualitas teknis siaran
semata.
TVD memang
memungkinkan publik untuk menikmati tayangan HDTV, tetapi potensi tersebut
hanya bisa dinikmati kalangan atas yang sanggup membeli HDTV. Sebagian besar
masyarakat Indonesia yang hanya akan menerima siaran digital melalui TV biasa
dengan sambungan dekoder tidak akan menikmati peningkatan kualitas
audio-visual yang signifikan dalam tayangan mereka.
TVD juga awalnya
diusung secara global dengan semangat demokratisasi karena memungkinkan
penambahan saluran (channel). Namun, dalam iklim industri penyiaran Indonesia
yang sudah sangat padat, penambahan saluran hanya akan memberatkan kue iklan
yang sudah harus diiris tipis, terutama bagi stasiun kecil.Secara kultural,
Indonesia juga tidak diuntungkan dari TVD. Mengingat Indonesia belum jadi
bangsa yang memproduksi film, seperti Avatar yang menjunjung tinggi
eksplorasi visual definisi tinggi, maka migrasi digital juga tak berpengaruh
dalam produksi konten Indonesia.
Kesempatan langka
Lalu, apa manfaat
migrasi digital yang begitu mahal ini bagi masyarakat Indonesia? Jawabannya
adalah internet broadband. Digitalisasi televisi akan melowongkan sebagian besar
frekuensi yang nantinya akan dialokasikan untuk penyediaan internet broadband
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Efisiensi spektrum TVD yang sangat tinggi
memungkinkan seluruh saluran TV Indonesia untuk dikompresi hingga 12 kali
pengecilan. Efisiensi ini menyisakan ruang sebesar 112 MHz, sebuah kavling
yang dikenal di seluruh dunia sebagai digital dividen (DD).
Ini adalah kesempatan
langka bagi Indonesia karena DD adalah satu-satunya kemungkinan bagi
Pemerintah Indonesia untuk menyediakan internet broadband bagi seluruh
masyarakat Indonesia dengan murah, merata, dan segera. Pembangunan
infrastruktur berkabel internet ke seluruh Indonesia hampir mustahil
dilakukan secara merata dalam waktu 10 tahun ke depan karena wajah kepulauan
Indonesia yang begitu besar dan terpecah-pecah. Sulit sekali membangun
jaringan domestik yang menghubungkan 16.000 pulau. Biaya yang harus
dikeluarkan juga tidak terbayangkan jika publik Indonesia harus menunggu
pembangunan jaringan infrastruktur internet domestik. Internet cepat melalui
frekuensi adalah satu-satunya jawaban bagi masalah digital Indonesia
Frekuensi di 700 Mhz
yang nantinya akan ditinggalkan oleh penyiaran analog bisa dibilang frekuensi
”cantik”. Frekuensi ini dapat diterima dengan jernih oleh masyarakat yang
sangat luas, sebuah kavling yang sangat cocok bagi penerimaan internet
broadband.Inilah sebabnya mengapa ITU—lembaga PBB yang mengurusi bidang
telekomunikasi dunia—telah merekomendasikan kanal ini untuk dimanfaatkan demi
internet broadband.
Jika diatur dengan
efisien, realokasi frekuensi juga akan memberikan ruang untuk peringatan
bencana, bahkan setelah penyediaan internet broadband. Untuk satu negara yang
rawan bencana alam dan belum memiliki sistem panggilan darurat komprehensif
(seperti 911 di AS), fungsi ini sangat penting diterapkan. Di negara maju,
pemanfaatan migrasi digital untuk fungsi ini bahkan diutamakan.
Meski demikian,RUU
versi Februari ini berpotensi untuk mementahkan sebuah mimpi pembaruan
teknologi tersebut.Menurut draf RUU ini, migrasi digital akan dilakukan
secara ”alamiah”; sebuah istilah yang dicetuskan oleh perwakilan televisi
swasta berjaringan nasional dalammenggambarkan proses migrasi yang sebisa
mungkin tidak mengusik situasi bisnis saat ini.Prosedur alamiah ini diaminkan
dalam draf tersebut dengan cara menyerahkan tanggung jawab bermigrasi kepada
masing-masing stasiun. Dampak negatifnya bisa dikaji dalam beberapa hal.
Pertama, Indonesia
bisa mengucapkan selamat tinggal pada DD dan sistem peringatan bencana. Jika
diresmikan, Pasal 32 RUU ini akan mengukuhkan izin frekuensi setiap stasiun
atas 8 Mhz frekuensi yang mereka pegang saat ini (analog) untuk diteruskan di
era digital. Tanpa adanya pernyataan dalam UU bahwa frekuensi akan
dikembalikan kepada pemerintah untuk digitalisasi, negara tak punya landasan
hukum untuk mengumpulkan efisiensi spektrum tersebut demi pemanfaatan lain
untuk publik. Artinya, efisiensi tidak akan terjadi karena pengelolaan sisa
spektrum akan dilakukan masing-masing stasiun, yang akan mereka manfaatkan
untuk kepentingan bisnis masing-masing.
Kedua, RUU tersebut
tidak menyebutkan soal penyedia infrastruktur atau operator siaran digital
yang meliputi fungsi multiplexer (Mux). Mux adalah sebuah entitas baru dalam
penyiaran yang tadinya menjadi alasan utama mengapa UU 32/2002 perlu
diperbarui.
Berbeda dengan analog,
penyiaran digital mensyaratkan adanya jarak antara konten dan frekuensi lewat
keberadaan Mux. Sebuah frekuensi yang tadinya hanya bisa digunakan oleh
sebuah stasiun penyiaran, dengan adanya Mux dapat dipecah menjadi beberapa
saluran sehingga bisa digunakan oleh lebih banyak stasiun. Sebegitu mahal dan
penting peranan teknologi ini, Mux akan menjadi bagian krusial industri
penyiaran dan perlu menjadi entitas teknis dan bisnis tersendiri.
Sayangnya, menurut
draf ini, setiap stasiun dianggap bertanggung jawab atas penyediaan
infrastruktur Mux masing-masing. Tanpa adanya jaminan dalam UU bahwa semua
stasiun akan terus bersiaran di era digital dan mendapatkan akses Mux, maka
yang sanggup bermigrasi hanyalah stasiun TV bermodal besar. Stasiun kecil
yang tidak sanggup memiliki Mux sendiri atau tidak mendapat ruang untuk
menyewa Mux dari TVRI akan dianggap gugur secara ”alamiah.” Gugurnya
stasiun-stasiun ini akan memberikan potongan kue iklan yang semakin besar bagi
kompetitor mereka, yakni stasiun besar.
Ketiga, dengan
mengizinkan stasiun televisi untuk mengelola infrastruktur dan frekuensi
mereka sendiri, DPR melegalisasikan terjadinya konsentrasi kepemilikan secara
vertikal; praktik yang dikecam dalam UU 32/2002.
Di sejumlah negara
demokrasi, regulasi penyiaran menjamin prinsip pemisahan content-conduit. Prinsip ini menjamin persaingan usaha penyiaran
dengan memastikan bahwa selama pihak yang berbisnis infrastruktur dilarang
untuk ikut berbisnis konten, maka pemerintah dapat menjamin bahwa pengusaha
infrastruktur tak dapat merecoki bisnis kompetitor konten mereka. Ibarat
bisnis air, orang yang sudah mengontrol industri pipa tidak boleh berjualan
air. Asumsinya, jika perusahaan A mengontrol industri pipa dan air, maka A
bisa mengacaukan persaingan usaha dengan memampatkan pipa distribusi air bagi
B dan C.
Dalam konteks
persaingan usaha penyiaran Indonesia, draf RUU justru mengukuhkan dominasi
dan menciptakan ekosistem persaingan usaha yang timpang. Hal ini dilakukan
dengan menyatakan bahwa justru hanya penyedia kontenlah (stasiun yang telah
memiliki izin siaran) yang bisa menyediakan infrastruktur. Dengan demikian,
siapa pun yang cukup kuat modal untuk ber-Mux akan bisa mengontrol
kompetitor.
Menghambat inovasi
Potensi batalnya
broadband jika RUU ini sampai tembus tidak boleh dianggap remeh. Ketika
seluruh dunia ramai-ramai berinovasi digital, Indonesia akan tertinggal di
belakang tanpa adanya DD dan internet broadband.Kecepatan internet adalah
variabel terpenting yang mendorong inovasi konten. Tanpa internet broadband,
publik Indonesia hanya akan dapat mengonsumsi dan memproduksi konten ”ringan”
dengan satuan bytes rendah. Itu pun dengan kapasitas terbatas.
Berbagai permasalahan
kebijakan konten akan menjadi tidak terlalu relevan jika kecepatan internet
nasional Indonesia tidak lagi harus bergantung pada balik modalnya bisnis
operator telekomunikasi. DD dan internet broadband melalui frekuensi membuka
peluang bagi Indonesia untuk memotong kerumitan mekanisme permodalan
infrastruktur yang mahal tersebut.
Lebih berbahaya lagi
jika membatalkan DD, Indonesia berpotensi jadi lubang digital jika tidak ikut
berpartisipasi dalam sinkronisasi global frekuensi DD ini. Intercompatibility
adalah aspek krusial dalam inovasi teknologi global. Ini adalah sebuah konsep
yang mensyaratkan agar sebuah perangkat teknologi bisa digunakan di berbagai
tempat di seluruh dunia. Umpamanya HP, perangkat Anda bisa digunakan di mana
pun hanya dengan mengganti kartu SIM. Pada saat seluruh dunia telah
mengembangkan teknologi mobile
telephony dengan berbasis frekuensi DD tersebut, maka Indonesia dapat
menjadi lubang digital di mana inovasi tersebut tidak dapat digunakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar