Tantangan Munaslub Golkar
Syamsuddin Haris ; Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS, 18
Februari 2016
Setahun lebih
dirundung konflik internal, Partai Golongan Karya bakal menggelar musyawarah
nasional luar biasa dalam waktu dekat. Apakah menggelar musyawarah nasional
luar biasa (munaslub) dapat mewadahi rekonsiliasi partai beringin? Apa saja
tantangan Golkar pasca konflik?
Terlepas berbagai
kontroversi yang melekat pada dirinya, Partai Golkar telah mewarnai dinamika
politik negeri ini selama lebih dari empat dekade. Meski relatif tak ada
prestasi menonjol selama 2009-2014, partai beringin masih bisa bertahan
sebagai parpol terbesar kedua pada Pemilu Legislatif 2014 lalu. Karena itu,
tak pernah terbayangkan sebelumnya partai yang secara elektoral cukup stabil
ini benar-benar hampir karam justru karena digerogoti konflik internal.
Partai Golkar dapat
diibaratkan sebagai miniatur politik Indonesia. Betapa tidak, Golkar lahir
sebagai sekretariat bersama para eksponen militer anti komunis di era
Demokrasi Terpimpin Bung Karno (1964), kemudian "dikaryakan"
sebagai mesin politik rezim otoriter selama lebih dari 30 tahun Orde Baru
Soeharto. Meski demikian, Golkar tetap bisa bertahan di era reformasi dan
demokratisasi. Meski dicaci-maki dan bahkan dituntut untuk dibubarkan oleh
sebagian aktivis prodemokrasi di awal reformasi, Golkar justru tetap berkibar
dan bahkan meraih kemenangan dalam Pemilu Legislatif 2004.
Selain itu, Golkar
adalah partai "nasional" pertama di Indonesia, sekurang-kurangnya
dalam pengertian cakupan penyebaran dukungan elektoral yang menjangkau hampir
seluruh pelosok daerah. Jika Partai Nasional Indonesia (PNI) yang memenangkan
Pemilu 1955 lebih merupakan "partai Jawa" karena mayoritas
pendukungnya terpusat di Jawa, maka Partai Masyumi, yang meraih posisi kedua
di pemilu yang sama, adalah partai "luar Jawa". Meskipun dicapai
melalui pemilu-pemilu manipulatif Orde Baru, Golkar-lah yang mampu meraih
dukungan signifikan di Jawa dan luar Jawa.
Munas Bali versus Jakarta
Seperti pernah saya
tulis sebelumnya, konflik internal Golkar berakar pada melembaganya oligarki
dalam kepemimpinan partai. Fenomena ini mulai tampak dalam kepengurusan
Golkar hasil Munas Riau 2009 yang kurang mengakomodasi para lawan politik
Aburizal Bakrie (ARB), ketua umum terpilih. Salah seorang di antaranya, Surya
Paloh, akhirnya memilih mendirikan Partai Nasdem, mengikuti jejak mantan
beberapa elite Golkar sebelumnya, seperti Prabowo Subianto (Partai Gerindra),
Wiranto (Partai Hanura), dan almarhum Edi Sudrajat (PKP, kemudian PKP
Indonesia).
Pengelolaan partai
yang tidak demokratis tersebut kemudian melembaga dan mewarnai proses
penyelenggaraan Munas Bali pada 30 November hingga 3 Desember 2014. Para
calon ketua umum yang ingin berkompetisi dalam Munas Bali tidak memperoleh
akses yang setara, fair, dan terbuka. Realitas inilah yang menimbulkan
kekecewaan sebagian jajaran Golkar sehingga mendorong berlangsungnya munas
Golkar di Jakarta, hanya berselang seminggu kemudian, yakni pada 6-8 Desember
2014.
Meski sejumlah langkah
hukum ditempuh kedua pihak, konflik tak kunjung usai. Tim transisi yang
dibentuk Mahkamah Partai Golkar menawarkan munas sebagai solusi penyelesaian
konflik Golkar. Di luar dugaan, tawaran itu akhirnya direspons positif kubu
ARB yang menyelenggarakan rapimnas pada 23-25 Januari 2016 lalu dengan
mengusulkan munas "luar biasa". Pemerintah pun akhirnya
memfasilitasi upaya islah melalui perpanjangan masa jabatan kepengurusan
Golkar hasil Munas Riau pada 2009 hingga enam bulan ke depan.
Pertanyaan berikutnya,
munaslub seperti apa yang bisa mewadahi rekonsiliasi kubu-kubu yang bertikai
di tubuh Golkar? Apakah kepengurusan hasil munaslub dapat menjamin
terkonsolidasinya Partai Golkar, atau justru jadi sumbu konflik baru?
Seperti dikemukakan
sebelumnya, salah satu faktor utama konflik Golkar bukan saja pengelolaan
partai yang cenderung personal-oligarkis ketimbang institusional-demokratis,
tetapi juga mengabaikan prinsip-prinsip dasar berpartai. Sebagai organisasi
modern, manajemen partai meniscayakan tegaknya prinsip-prinsip transparansi,
proses pengambilan keputusan secara demokratis, dan taat asas atau kepatuhan
terhadap aturan dan atau konstitusi partai.
Munaslub dapat
mewadahi rekonsiliasi dua kubu Golkar yang bertikai jika prosesnya
berlangsung secara transparan, fair, dan demokratis. Artinya, tidak ada lagi
upaya rekayasa oleh individu atau kelompok tertentu untuk memenangkan
kelompoknya dalam munaslub mendatang. Sebaliknya, munaslub bisa menjadi sumbu
konflik baru apabila para pihak yang bertikai cenderung memaksakan kehendak
kelompok masing-masing untuk menguasai kepemimpinan Golkar.
Salah satu faktor
strategis yang menentukan keberhasilan munaslub sebagai forum islah Golkar
adalah terbentuknya panitia bersama yang bisa mewadahi beragam faksi internal
partai beringin. Tahap berikutnya adalah menjamin berlangsungnya proses munas
yang transparan, fair, dan demokratis. Termasuk di dalamnya memastikan
prosedur penentuan keabsahan pengurus dewan pimpinan daerah sebagai utusan
sekaligus pemilik hak suara dalam Munaslub Golkar.
Tantangan pasca konflik
Oleh karena itu,
tantangan Golkar bukan sekadar keberhasilan penyelenggaraan munaslub sebagai
wadah rekonsiliasi antarpihak yang bertikai. Jauh lebih penting dari itu,
Golkar memiliki sejumlah pekerjaan rumah sekaligus tantangan yang tidak
mudah. Secara internal, tantangan itu antara lain, pertama, mengembalikan
marwah Golkar sebagai rumah bersama yang teduh dan nyaman bagi segenap kader
yang beragam secara agama, ras, etnis, golongan, dan daerah.
Kedua, mengubah citra
Golkar dari sekadar tempat para politisi oportunis mencari makan, menjadi
wadah perjuangan yang berbasis profesionalisme, pengabdian, dan kekaryaan.
Ketiga, mengembalikan citra Golkar dari partai milik perseorangan atau
segelintir elite menjadi badan hukum publik yang menjadi milik bersama para
anggota.
Sementara itu, secara
eksternal, Partai Golkar perlu menjernihkan format relasi dengan pemerintah
di satu pihak, dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang telah ditinggalkannya di
pihak lain. Dalam konteks relasi dengan pemerintah, apakah dukungan politik
yang diberikan Golkar sekadar manuver politik untuk memperoleh bagian
kekuasaan, atau sungguh-sungguh dukungan terhadap program pemerintah
Jokowi-JK? Jika orientasi dukungan lebih pada apresiasi terhadap program dan
komitmen pemerintah, tak seharusnya dukungan dikompensasi dengan kursi
kabinet dari Jokowi.
Terkait relasi dengan
KMP, pertanyaan besar publik yang tak kunjung terjawab adalah, apakah Golkar
selaku pemimpin KMP begitu mudahnya menarik diri dari koalisi permanen yang
dideklarasikan pada 14 Juli 2014. Sekjen Partai Gerindra mengatakan secara de
facto KMP telah bubar. Akan tetapi Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur
Wahid, seperti dikutip berbagai media menegaskan, "Belum ada deklarasi
bahwa KMP bubar."
Apakah Golkar hendak
bermain di dua kaki seperti lazimnya? Saya kira, inilah tantangan
kepemimpinan Golkar hasil munaslub mendatang, yakni, ke dalam, pelembagaan
demokrasi internal, dan keluar, merumuskan moralitas politik baru Golkar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar