Jika Seni Jadi Budaya Tanding Kekerasan
Bambang Asrini Widjanarko ;
Pekerja Seni
dalam Komunitas Pengembangan Seni
Rupa Balai Perupa
|
KOMPAS, 21
Februari 2016
Pelukis legendaris
Affandi, dalam ceramah tentang karyanya di gedung Sorbonne, Perancis, yang
dimuat di majalah Budaya pada 1953 pernah mengutarakan, apa hakikat seni bagi
kemanusiaan. Seperti katanya, ”Saya pernah melukis emosi sedih bersimbol
semut lumpuh tentang seseorang yang dituduh mata-mata dan dipukuli rame-rame.
Bagi saya, tidak penting apakah ia benar atau salah, namun ia tetap manusia.”
Peristiwa kekerasan
belakangan ini, baik secara fisik seperti peristiwa terorisme di Sarinah,
Jakarta (14/1/2016), maupun secara simbolik yang dipertontonkan di televisi
yang meruyak hebat di tahun 2015 tentang pertikaian antarlembaga negara dan
lewat cybermedia, yakni perilaku caci-maki dan saling fitnah oleh berbagai
elemen masyarakat, benar-benar mengoyak nilai-nilai kemanusiaan.
Motif atau latar
belakang pemicu kekerasan bisa jadi beragam, dari fundamentalisme keyakinan,
kegagalan negara menjamin rasa keadilan di masyarakat dengan penegakan hukum
yang mengakibatkan frustrasi dan putus harapan; ataupun keniscayaan kondisi
secara global. Dunia dicekam perubahan-perubahan budaya dalam perspektif
ekonomi, politik, dan sosial yang mendesak dan ekstrem.
Kita bisa mengenalinya
dalam istilah fenomena volatile,
yakni gerakan-gerakan masif tak terduga dan sangat cepat, kemudian ditandai
dengan gejala patahan-patahan dan kejutan psiko-sosiologis yang tajam; dan
kondisi ketidakpastian yang datang dari segala arah. Hal ini tentunya
bermuara pada konflik simbolik dan fisik pada masyarakat dunia, tanpa kecuali
bangsa Indonesia.
Seperti kita tahu
”pertarungan antar-peradaban” yang dikenalkan puluhan tahun silam oleh Samuel
Huntington, dalam Clash of Civilization,
ternyata dihela oleh fakta hari ini bahwa budaya non-Barat yang berjuang
tampil dengan menguatnya Ekonomi-Politik Asia, semacam Tiongkok dan India
serta sebagian negara Amerika Latin, telah membuat kondisi global di sebagian
wilayah mengalami ”transisi” identitas. Di sisi lain, menguatnya
gerakan-gerakan politik Islam fundamentalis ekstrem yang mengukuhkan
alternatif cara pandang lain memahami realitas dunia anyar. Kemanusiaan di
dunia kemudian tercekam kengerian hebat, berbagai sebab dan akibat tersebut
memunculkan kekerasan demi kekerasan multidimensi.
Seni meredusir kekerasan
Empati Affandi pada
nilai-nilai kemanusiaan, yang ditunjukkan dalam ceramahnya di Perancis, dalam
paragraf awal tulisan memberi kita harapan meski samar-samar. Seni yang
memberi frasa mysterium tramendum et fascinocum di masa lalu—sebagai sebuah
romantisme paras seni yang merengkuh kalbu personal karena inspirasi kekuatan
Ilahiah, bisakah hadir kembali dengan bentuknya yang lain?
Menimbang pembaruan
jenis seni ini, dengan makin kompleksnya dunia modern, apalagi hadirnya media
baru dengan akses cybermedia tanpa batas, sebagai sebuah komitmen seni
menjadi bagian dari gerakan budaya tanding, counter-culture, harus dicoba. Budaya tanding ini, dalam
pengertian sebagai sebuah strategi pola hidup berbeda atas arus budaya yang
telah ada dalam konteksnya adalah upaya untuk meredusir budaya kekerasan.
Tentu secara bersama di antara berbagai elemen di masyarakat tanpa kecuali
dan secara ajek dalam periode yang panjang. Tidak hanya menggunakan meme,
imej, dan gambar-gambar yang disebarluaskan di internet secara sporadik, tapi
lebih dari itu, sebuah sikap konkret dengan komitmen jelas dalam
program-program yang difasilitasi oleh pemerintah atau inisiatif mandiri dari
kantong-kantong komunitas seni dengan habitusnya.
Jika pemikir seperti
Johan Galtung dengan esainya dalam Cultural
Violence menyatakan bahwa budaya kekerasan adalah aspek-aspek bidang
simbolis, seperti ideologi, bahasa dan seni, agama dan ilmu pengetahuan yang
dapat digunakan untuk melegitimasi kekerasan fisik ataupun struktural lewat
sistem sosial, maka Muthien dan Cumbrinck (Africa World Press 2003) membuat proposisinya bahwa bisa juga
jika seseorang atau komunitas tertentu dalam masyarakat bersepakat
mengeliminasi kekerasan fisik dan struktural dengan mentransformasikan
individu dan institusinya dengan cara baik; maka mereka punakan mendapatkan
perdamaian budaya, sebuah kompromi bisa diwujudkan.
Penekanan pada
transformasi dalam sistem sosial itulah yang bisa menjadi kunci bagi budaya
tanding. Kekuatan simbolik dalam seni mampu mengonstruksi kenyataan, dengan
menciptakan, memelihara, dan mengubah nilai-nilai masyarakat tertentu,
merembes secara laten dalam benak. Budaya tanding dalam relasinya denganseni
diciptakan sebagai sebuah rekayasa kultural yang dioperasikan dengan
kesadaran utuh. Kata ”Tidak Takut” terhadap kekerasan sudah selayaknya
tersublimasi dalam aktivitas dan kegiatan keseharian, dalam hal ini tak hanya
tindakan sporadik dan spontanitas merespons sebuah peristiwa kekerasan.
Kegiatan dan program
budaya tanding seharusnya lebih dipandang sebagai menciptakan sebuah
peristiwa-peristiwa kultural dengan penekanan pada acara atau festival
integral yang bisa diakses masyarakat banyak;yang akan merangsang kepekaan
dan imajinasi. Ini bisa digambarkan dalam 3 zona penting kehidupan berbangsa
kita, yakni dengan menimbang keragaman cara pandang dan realitas kebudayaan
yang majemuk ketiga hal itu adalah memproduksi karya-karya seni yang
menyiratkan kebebasan dari rasa takut akan sistem represif struktural politik
dari negara. Yang ke-2 kebebasan dari kekerasan horizontal yang berlatar
keyakinan atau religi; serta yang ke-3 adalah bebas dari rasa takut untuk
berekspresi secara aktif dalam kebinekaan berbudaya.
Dengan demikian, seni
sebagai medium transformasi sosial bukanlah sebuah utopia, tetapi sebuah
kerja nyata dari budaya tanding terhadap kekerasan fisik ataupun simbolik dari
mana pun mereka mereka berasal, baik yang dilakukan oleh individu,negara,
maupun organisasi kemasyarakatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar