Rupiah Mulai Beranjak Menguat
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik UGM
|
KOMPAS, 15
Februari 2016
Nilai tukar rupiah
secara mencolok melaju dari Rp 13.900 per dollar AS menjadi Rp 13.400 per
dollar AS pekan lalu. Kinerja impresif ini mengundang pertanyaan: mengapa?
Saya menduga,
pemicunya adalah kinerja pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2015 yang menembus
batas psikologis 5,04 persen. Ini pencapaian yang penting karena pada
triwulan I, II, dan III, pertumbuhan ekonomi hanya berkutat pada kisaran 4,7
persen.
Pada saat yang sama,
beberapa negara emerging markets kunci justru sedang mengalami penurunan
kinerja secara signifikan. Kinerja yang memburuk memicu sentimen investor
global untuk mengarahkan dana ke Indonesia, yang kondisinya relatif lebih
baik. Kita sangat diuntungkan oleh situasi ini. Rupiah menguat, indeks harga
saham kita menguat dan berada pada level yang cukup baik, yakni 4.700-an.
Padahal indeks Dow Jones di New York terempas ke bawah batas psikologis
16.000.
Perekonomian Tiongkok
pada Januari 2016 kehilangan cadangan devisa hampir 100 miliar dollar AS.
Kini, cadangan devisa negara itu merosot ke 3,23 triliun dollar AS.
Penyebabnya antara lain aliran modal keluar secara masif, hingga 158 miliar
dollar AS pada Desember 2015. Padahal, pada sepanjang 2015 telah terjadi
penurunan cadangan devisa setengah triliun dollar AS (Bloomberg, 7/2/2016).
Ekonom Paul Krugman
menganalisis, Tiongkok yang sedang dalam kesulitan besar berpotensi besar
mengalami hard landing. Persoalan terbesarnya adalah model perekonomiannya,
yakni kombinasi antara tabungan masyarakat yang tinggi dan tingkat konsumsi
rendah, telah menghasilkan dorongan investasi yang besar. Namun, hal ini
tidak berlanjut. Ekspansi kredit dan belanja infrastruktur yang masif tak
lagi bisa dilakukan. Perbankan harus berhati-hati menghadapi risiko kredit
macet. Pembangunan infrastruktur sudah menyentuh titik jenuh. Faktor ini
mengakhiri era pertumbuhan tinggi 25 tahun terakhir (”When China Stumbles”, The New York Times, 8/1/2016).
Kondisi Brasil juga
parah. Negara yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade pada Agustus 2016 ini
mestinya menikmati dampak positif berupa kenaikan pertumbuhan ekonomi. Yang
terjadi justru sebaliknya. Brasil yang sedang kena krisis ekonomi dan politik
diramalkan mengalami kontraksi ekonomi 2,5-3 persen. Brasil terkena imbas
penurunan harga minyak dan komoditas primer dunia, yang menyebabkan APBN-nya
defisit 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Hal yang sama terjadi
pada Venezuela, negara produsen minyak yang saya duga terpaksa mencetak uang
untuk menutup kebutuhan APBN akibat harga minyak jatuh ke 30 dollar AS per
barrel. Venezuela menderita inflasi 240 persen pada 2015, yang diyakini
berlanjut tahun ini. Krisis politik segera mengikuti krisis ekonomi.
Indonesia termasuk
”beruntung”. Kita secara sadar mengubah haluan dari negara yang bergantung
pada minyak, gas, dan komoditas primer menjadi lebih terdiversifikasi ke
manufaktur. Itulah pesan terkuat dalam 10 kebijakan deregulasi yang
diluncurkan pemerintah. Pesan ini rupanya ditangkap para investor global
untuk mulai mengalirkan dana ke India, Indonesia, dan Vietnam, daripada ke
Tiongkok dan Brasil.
Meski demikian, kita
tak boleh lengah. Masih banyak masalah yang mengintai. Penerimaan pajak pada
Januari 2016 masih seret, yang akan memberi tekanan defisit fiskal yang lebih
besar. Tahun lalu, APBN kita defisit 2,5 persen terhadap PDB.
Jika tak bisa segera
diatasi, defisit APBN berpotensi mengarah ke 3 persen terhadap PDB. Ini
adalah batas terjelek yang ditoleransi undang-undang, yang akan menimbulkan
implikasi negatif.
Indonesia terbukti
tidak memilih kebijakan fiskal mencetak uang guna menutup defisit APBN.
Defisit kita diongkosi dari utang (menerbitkan surat berharga negara). Jika
dilakukan dalam jumlah besar, akan terjadi crowding out. Crowding out adalah fenomena ketika pemerintah
hendak mengintervensi kondisi fiskal dengan menutup dari tambahan utang,
berupa penerbitan obligasi. Jika dilakukan, imbal hasil obligasi akan naik.
Ini jelas mengganggu keseimbangan pasar surat berharga karena suku bunga
deposito akan terdorong naik.
Padahal, suku bunga
deposito sedang diupayakan turun. Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga
acuan dari 7,5 persen menjadi 7,25 persen, serta berpotensi menurunkan lagi
dalam waktu dekat menjadi 7 persen. Sebab, inflasi rendah, rupiah menguat,
dan cadangan devisa aman di 102 miliar dollar AS.
Sudah saatnya
pemerintah merevisi asumsi ekonomi makro pada APBN 2016. Misalnya, penerimaan
pajak Rp 1.360 triliun yang tidak realistis mengulang kesalahan pada 2015.
Harga minyak dunia yang diproyeksikan 50 dollar AS per barrel juga tidak
masuk akal, saat harga sekarang 30 dollar AS. Sementara itu, tidakkah
pemerintah melihat peluang menurunkan harga eceran bahan bakar minyak jenis
premium?
Pertumbuhan ekonomi
rendah 4,79 persen yang kita capai pada 2015 antara lain disebabkan gairah
berbelanja ritel (mobil, rumah, barang-barang elektronik, dan sebagainya)
yang rendah. Jika harga premium dapat diturunkan, hal itu akan memberikan
ruang gerak kepada konsumen untuk ”lebih bersemangat” lagi berbelanja, yang
berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar