Kapal Ilegal dan Hubungan Bilateral
Arif Havas Oegroseno ;
Deputi Menko Maritim dan Sumber
Daya
Bidang Kedaulatan Maritim
|
KOMPAS, 23
Februari 2016
Langkah pemerintah
menangani ratusan kapal ikan buatan luar negeri yang diduga melakukan penangkapan
ikan secara ilegal (illegal, unreported and unregulated fishing/IUUF) di
perairan Indonesia, banyak mendapat reaksi berbagai pihak dan sorotan di
media.
Dalam sejumlah
pernyataan, Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum nakhoda Silver Sea 2, kapal
berbendera Thailand yang ikut ditahan, menyatakan, ia telah mencoba berbicara
dengan berbagai pihak terkait kasus itu. Ia juga merasa perlu membela
Thailand agar Thailand tidak melakukan retaliasi. Dari pernyataan tersebut,
tertangkap adanya kesan menyalahkan kebijakan tegas pemerintah menyangkut
IUUF dengan alasan hal ini mengganggu hubungan bilateral.
Di Indonesia, terdapat
pandangan bahwa IUUF adalah urusan bilateral sehingga Indonesia harus berhati
hati dengan negara-negara mitra karena bisa saja mereka melakukan retaliasi
dan kebijakan tegas yang dapat melukai hati mereka. Karena dinilai persoalan
bilateral, penyelesaian yang benar adalah mencari solusi saling menguntungkan
(win-win solution), upaya
diplomasi, atau kebijakan lain yang tidak merugikan pelaku IUUF di wilayah
kedaulatan Indonesia. Tanpa harus memakai kalimat yang drastis, seperti "mari kita gadaikan kedaulatan dengan
toleransi terhadap pencuri".
Kejahatan terorganisasi lintas negara
Pandangan di atas
salah secara fundamental karena beberapa hal yang sangat mendasar.
Pertama, Konstitusi
Kelautan dunia, the United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982, secara jelas menyatakan bahwa
salah satu tujuan utama konstitusi itu adalah konservasi kehidupan alam laut
serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Adalah kewajiban hukum
negara pihak untuk melestarikan kehidupan laut baik yang berada dalam zona
maritimnya sendiri maupun zona maritim
di luar wilayah kedaulatan dan hak berdaulatnya.
Kedua, dunia telah
mengesahkan The United Nations Fish
Stock Agreement 1995 yang menetapkan 12 prinsip dalam pengelolaan
perikanan yang bertanggung jawab dan berkesinambungan karena khawatir akan
insiden IUUF yang merusak alam dan mengancam keamanan pangan. Negara-negara
pihak wajib melaksanakan kewajiban hukum konvensi ini.
Ketiga, negara-negara
anggota Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah memiliki Kerangka Tata
Aturan Perikanan yang Bertanggung Jawab serta Rencana Aksi Dunia Melawan IUU
Fishing. FAO mengakui bahwa kegiatan IUUF adalah ancaman dunia yang berdampak
kepada keamanan pangan nasional, regional, dan global, serta kerusakan
lingkungan yang tidak dapat diperbaiki kembali.
Keempat, FAO juga
telah menerima Perjanjian Langkah-langkah Negara Pelabuhan dalam Melawan IUUF
2009. Perjanjian ini menjadi dasar
bagi negara-negara untuk menolak kapal IUUF melakukan operasi di
pelabuhannya. Kelima, dunia juga telah membagi 91 persen perairan bumi dalam
wilayah pengelolaan perikanan oleh sekitar 17 organisasi regional. Indonesia
menjadi bagian dari dua organisasi di Samudra Hindia dan Pasifik. Jadi, kewajiban internasional melawan IUUF
pun telah diperkuat pada tingkat regional, termasuk kawasan Samudra Hindia,
lokasi penangkapan Silver Sea 2, dan di Samudra Pasifik.
Keenam, salah satu
organisasi regional di Afrika Barat telah meminta Peradilan Hukum Laut
Internasional PBB (ITLOS) di Hamburg agar negara bendera bertanggung jawab
atas kapal-kapal IUUF yang berlayar dengan benderanya. Para hakim ITLOS
secara aklamasi menyatakan bahwa negara bendera tidak hanya responsible atau bertanggung
jawab, tetapi juga liable atau dapat dikenai tanggung jawab ganti rugi
keuangan dalam kegiatan IUUF. Artinya, negara bendera kapal IUUF justru dapat
diseret ke pengadilan internasional.
Ketujuh, IUUF kini
telah masuk radar PBB sebagai suatu tindakan kriminal transnasional atau transnational organized crime karena
tindakan IUUF memenuhi persyaratan dasarnya, yaitu tindakan kriminal yang
melampaui batas negara, melibatkan orang dan jaringan lebih dari satu negara,
bertindak seperti bisnis biasa, dan mencari keuntungan. IUUF juga telah
terlibat dalam kegiatan non-perikanan yang memanfaatkan kelemahan aparat
hukum setempat, yaitu perbudakan, penyelundupan dan perdagangan orang,
penyelundupan narkoba, senjata dan barang-barang lainnya, serta melakukan tindakan
korupsi.
Dalam studi bersama
antara Pusat Riset Anti Korupsi U4, TI, dan CMI tentang kaitan IUUF dan
korupsi di Afrika, terlihat di Afrika terdapat bukti bahwa pelaku IUUF
menyuap penegak hukum di lapangan, penuntut umum, dan bahkan hakim guna membebaskan
kapal, kapten, dan para pelaku IUUF. Studi ini juga memperlihatkan modus lain
yang dilakukan dalam membela IUUF, yaitu membawanya dalam suatu persoalan
bilateral.
Kedutaan asing yang
berada di negara korban IUUF di Afrika melakukan tekanan politik secara
langsung atau melalui kontak-kontak politik tingkat tinggi guna membebaskan
kapal IUUF. Disebutkan, kedutaan dari
negara Asia sering melakukan teknik-teknik tekanan seperti ini. Dari
pengalaman ini terlihat, selain ada istilah "state sponsored terrorism", ternyata juga terdapat
kondisi "state sponsored illegal
fishing", yakni perwakilan negara pelaku IUUF sama sekali tak
menghiraukan kewajiban hukum internasionalnya, tetapi justru membela pelaku
IUUF.
Kedelapan, pasar
perikanan dunia telah bereaksi dengan tegas. AS dan Uni Eropa (UE) yang
menyerap lebih dari 60 persen pangsa pasar dunia telah menyusun kebijakan
yang akan menghukum pelaku IUUF dengan tidak membeli ikan hasil IUUF ataupun
yang dikelola para budak atau pekerja yang diperlakukan seperti budak.
UE tercatat tengah
memberikan kartu kuning kepada sejumlah negara, termasuk Thailand, dan sesuai
praktik UE hal ini dapat kembali menjadi kartu hijau atau justru menjadi
kartu merah. Tentunya, UE melihat
berbagai kasus IUUF di semua wilayah dunia termasuk di Indonesia melalui
berbagai pemberitaan sebagai faktor penting dalam menentukan kebijakan
internal mereka dalam melawan IUUF. Negara yang salah langkah akan gigit jari
karena UE importir terbesar di dunia dengan nilai 52 miliar euro (Rp 790
triliun). Bagi Indonesia, pemberian kartu merah bagi pelaku IUUF akan
menguntungkan akses ekspor perikanan Indonesia ke UE.
Bukan urusan bilateral
Dengan sejumlah aturan
global tentang IUUF dan langkah berbagai organisasi internasional dan
regional serta ancaman IUUF terhadap keamanan pangan, lingkungan hidup dan
ketentuan-ketentuan hukum pidana internasional, jelas bahwa IUUF bukan urusan
hubungan bilateral. Bahkan, dalam
kesepakatan ASEAN yang tecermin dalam dokumen-dokumen cetak biru di bidang
politik dan ekonomi, semua negara ASEAN sepakat pentingnya menangani IUUF di
dalam suatu Komunitas ASEAN.
IUUF adalah masalah
global dan merupakan pelanggaran hukum internasional. Tanggung jawab kapal,
kapten, awak, dan negara bendera tak dapat hanya dilihat dari pelanggaran
kedaulatan, hak berdaulat, dan hukum nasional suatu negara, tetapi juga
pelanggaran Konstitusi Kelautan Dunia UNCLOS 1982 dan konvensi-konvensi PBB
lainnya. Negara-negara bendera kapal
IUUF harus bertanggung jawab dalam melaksanakan UNCLOS 1982, konvensi terkait
lainnya, dan kesepakatan organisasi global.
Mereka tidak dapat
dibiarkan berlindung di balik mantra "demi hubungan bilateral yang
baik". Sebagai analogi, akan sangat aneh apabila suatu negara meminta
warga negaranya dibebaskan dari segala tuduhan pelanggaran hukum pidana
internasional di wilayah negara lain agar hubungan bilateral kedua negara
tetap berlangsung baik. Justru sebaliknya, apabila negara bendera IUUF ingin
menjaga hubungan bilateral yang baik, mereka harus melaksanakan kewajiban
hukum internasional yang ada agar mencegah warga mereka melakukan IUUF di
wilayah negara lain, dan apabila mau dan mampu, harus menindak warga mereka
yang melakukan IUUF di wilayah perairan mana pun di dunia.
Indonesia perlu dengan
tegas menyampaikan ini kepada mitra yang masih saja menggunakan argumentasi
hubungan bilateral agar mereka diperbolehkan mencuri ikan di wilayah
kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dengan berbagai alasan teknis yang
seolah sahih tetapi bertentangan dengan UNCLOS 1982. Indonesia juga perlu
menyampaikan informasi kasus-kasus IUUF yang telah dan sedang dialami kepada
lingkaran pasar ikan dunia di AS, UE, dan Jepang. Dalam berbagai pasar dunia
yang masih saja bersedia mengonsumsi ikan hasil IUUF, Indonesia perlu bekerja
keras mengubah pola pikir pasar agar hanya mengonsumsi ikan non-IUUF dan
non-slavery. Pasar-pasar dunia
tentunya perlu pasokan informasi terbuka dan tertutup tentang upaya melawan
IUUF sehingga mereka dapat melaksanakan UNCLOS 1982 dengan pelarangan impor
ikan hasil IUUF. Langkah ini adalah
benar dan sama sekali tak bertentangan dengan prinsip WTO dan GATT.
Sesungguhnya, kebijakan tegas Indonesia
melawan IUUF yang kini diperkuat oleh Satgas 115 juga telah menciptakan
kepemimpinan Indonesia di bidang diplomasi ekonomi (akses pasar ke UE, AS,
dan Jepang), diplomasi maritim tingkat regional (melaksanakan cetak biru
ASEAN yang melawan IUUF dan melaksanakan kewajiban organisasi regional
perikanan), diplomasi maritim tingkat global (melaksanakan kewajiban instrumen
global dan aktif dalam melawan IUUF di FAO dan IMO, melalui keanggotaan Global Record of Fishing Vessels),
serta menunjukkan kemampuan maritime security capability Indonesia. Penangkapan Silver Sea 2 oleh KRI Teuku
Umar di Samudra Hindia di lokasi 80 mil laut dari Pulau Weh sebenarnya telah
masuk kategori blue-water navy yang
tak semua negara ASEAN memiliki.
Tak ada jalan lain, kecuali melanjutkan
kebijakan tegas ini dan negara-negara mitra yang keberatan atau mungkin para
pendukungnya perlu diingatkan dengan bijak dan lugas akan kewajiban hukum
internasional mereka untuk tak jadi pendukung IUUF di wilayah perairan mana
pun di dunia. IUUF adalah common enemy
of mankind. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar