Minoritas yang Mengancam
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur Eksekutif Maarif Institute;
Sekretaris Majelis Hukum dan HAM
PP Muhammadiyah
|
KOMPAS, 13
Februari 2016
Aksi teror di kawasan
Thamrin, 14 Januari lalu, nyaris menggugurkan diskusi "15 Tahun Setelah
(Penerbitan) Sipil Islam" bersama Robert W Hefner di Maarif Institute.
Acaranya sudah digagas sejak Desember silam.
Bersama Center for Religious and Cross-Cultural
Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM) dan LBH Universalia, kami
bersepakat untuk mengundang Hefner berbicara mengenai tantangan dan wajah
terkini "sipil Islam" Indonesia setelah studinya mengenai wacana
tersebut terbit tahun 2000. Namun, beberapa jam sebelum diskusi, Hefner
mendapat kabar mengagetkan via e-mail dari Amerika.
Jakarta diguncang
ledakan bom disertai aksi teror bersenjata! Sempat terjadi diskusi kecil
antara Hefner dan penjemput (Zaenal Bagir dan Herta) di penginapannya.
Akhirnya, diskusi pun berlangsung setelah penulis buku Sipil Islam itu
memutuskan hadir dengan keyakinan situasi Ibu Kota masih kondusif. Hefner
pernah digelandang aparat keamanan pada masa Orde Baru karena berbicara pada
satu diskusi bertopik sensitif. Jadi, ia berpengalaman menghadapi situasi
buruk.
Islam Indonesia
Hefner mengakui bahwa
ia tidak membayangkan faktor gerakan keagamaan transnasional akan memberikan
pengaruh begitu besar terhadap konstelasi Islam Indonesia hari ini. Ini yang
luput dari kajian bukunya. Ia masih percaya bahwa modalitas sipil Islam
Indonesia dengan pluralismenya masih merupakan yang terbaik, bukan hanya di
antara negara berpenduduk Muslim, melainkan juga negara-negara Barat.
Islam Indonesia
berhasil membuktikan penghayatan dan ekspresi Islam sebagai sistem keyakinan
tidak tunggal, sarwa wajah dan multisuara. "Islam pada akhirnya muncul
sebagai sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar syahadat yang
menyusahkan," ungkap ahli sejarah Islam, Michael Laffan.
Menjadi beralasan
Hefner percaya diri untuk mengatakan bahwa Islam keadaban yang pluralis
merupakan tradisi yang lahir dan datang dalam beragam bentuk. Kualitas Islam
Indonesia bersumber dari pluralisme budaya yang mengagumkan. Sejak dekade
1990-an, Hefner melihat semacam "kesalahan" dalam studi politik
Islam di Barat dengan mengesampingkan pengalaman pembangunan nilai-nilai
sipil Islam di Indonesia yang selalu menautkan unsur-unsur tradisi Islam dan
nilai-nilai demokratik.
Kita pun menjadi
mafhum ketika Julie Chernov memaklumatkan bahwa masalah pembangunan politik
di dunia Muslim tidak berakar dari pandangan dunia Islam. Masalah utamanya
adalah perkara kesempatan dan keterlibatan dalam sistem politik negara.
Berdasarkan penelitiannya di Turki, Malaysia, dan Indonesia, ada korelasi
kuat antara partisipasi dan kapasitas negara dengan intensitas mobilisasi
kekerasan. Negara partisipatoris dengan kapasitas efektif akan memengaruhi
pilihan strategi mobilisasi damai melalui sistem politik. Tingkat kekerasan
akan turun (2011: 245). Masyarakat sipil yang sehat mensyaratkan negara yang
beradab, tegas Hefner (2001: 46).
Seperti diingatkan
Laffan, proses-proses yang membentuk konsensus mengenai unsur-unsur Islam
Indonesia digerakkan oleh intensitas hubungan Muslim Asia Tenggara-sebagai
representasi aktor transnasional-dengan sesama pengikut Islam di dalam negeri
dan luar negara (2015: xiv). Jadi, membicarakan wajah Islam Indonesia hari
ini dan esok tidak bisa diisolasi dari pengaruh bara konflik sektarianisme
dan transformasi ideologi teror NIIS, bahkan dinamika geopolitik global.
Islam yang kita kenal bahkan praktiknya merupakan produk dari proses silang
budaya, memakai bahasa Lombard.
Dalam konteks ini,
membicarakan respons generasi muda Muslim terhadap tantangan isu-isu krusial
sebangun dengan kepentingan memastikan Indonesia beradab sebagai masa depan
bangsa ini. Keterhubungan generasi muda dengan teknologi internet telah
menciptakan ruang transformasi radikal yang dengan cepat memicu interaksi,
kontraksi, benturan, hingga konflik. Ungkapan "yang muda, yang
radikal" dan "radikal dulu, teroris kemudian" menggambarkan
proses transformasi dalam labirin pencarian identitas. Narasi kepahlawanan
lebih mudah menyedot hasrat anak muda. Metode rekrutmen NIIS sangat
memperhatikan dimensi ini. Propaganda teror dikemas secara populer seakan
pelaku berakting sebagai aktor dalam film-film Hollywood.
Pendukung NIIS
Ya, benar survei Pew Research Project memperlihatkan
mayoritas masyarakat Indonesia (79 persen) tidak mendukung keberadaan NIIS.
Tingkat resistensi paling tinggi ditunjukkan Lebanon, Israel, Jordania, dan
Palestina. Namun, ada sekitar 4 persen penduduk Indonesia yang bersikap
sebaliknya. Artinya, diperkirakan kurang lebih 10 juta simpatisan dan
pendukung NIIS. Rendahnya dukungan warga Indonesia terhadap NIIS dikonfirmasi
oleh survei SMRC yang dirilis pasca teror di kawasan Thamrin.
Ada 95 persen
masyarakat yang mengetahui NIIS dan menyatakan tidak setuju kehadirannya di
Indonesia. Adapun yang memberikan dukungan 0,3 persen. Survei ini menyisakan
catatan penting. Meskipun jumlah simpatisan NIIS sangat minoritas, ada
indikasi kuat bahwa kalangan muda adalah basis utama pendukungnya; 4 persen
berusia 22-25 dan 5 persen berasal dari pelajar dan mahasiswa
(saifulmujani.com). Penulis menyebut kelompok kecil ini sebagai
"minoritas yang mengancam".
Kecenderungan
minoritas generasi muda bersimpati bahkan mendukung NIIS terkonfirmasi oleh
temuan lapangan Maarif Insitute dalam forum Jambore Pelajar SMA Se-Jawa,
Desember lalu. Saat ditanya mengenai dukungan dan keterlibatan aktif di NIIS,
tidak ada satu pun yang menjawab setuju. Mayoritas menolak. Namun, 7,14
persen menyatakan sikap kurang setuju. Kategori ini bersifat rawan karena
mencerminkan sikap mengambang.
Yang mengejutkan, ada
3,6 persen pelajar yang bersedia diajak berangkat berperang bersama NIIS di
Irak dan Suriah. Yang masih labil sebesar 8,16 persen. Sisanya mayoritas
(83,86 persen) tidak bersedia jika diajak berperang oleh gerakan teror
pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi tersebut.
Eksistensi minoritas
yang mengancam juga terpantul pada kesediaan sejumlah pelajar melakukan aksi
penyerangan terhadap kelompok-kelompok yang dituduh sesat. Angkanya mencapai
9,18 persen. Sikap keraguan menghantui 41,84 persen. Hanya 32,65 persen yang
bersuara menolak. Kelompok yang dibayangi keraguan akan dengan mudah beralih
menjadi pendukung kekerasan jika ada pemantik kuat. Pola kecenderungan
generasi muda rentan terlibat aksi kekerasan dikuatkan oleh sikap mayoritas
pelajar yang bersedia melakukan penyerangan terhadap pihak-pihak yang dinilai
melecehkan Islam. Mobilisasi kekerasan akan menjadi satu-satunya pilihan
ketika pemerintah gagal menjamin institusi negara tidak terseret kepentingan
sektoral dan sektarian.
Tengoklah kasus
pengusiran terhadap jamaah Ahmadiyah di Bangka Belitung dan nasib warga Syiah
yang masih telantar di Sidoarjo. Kelompok minoritas yang mengancam itu selalu
berlindung di balik fatwa takfiri Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
menjustifikasi sikap-sikap diskriminasinya. Yang terbaru vonis fatwa sesat
untuk Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Akan selalu ada implikasi
psikologis, sosial, dan politis dari kemunculan fatwa takfiri. Hendaknya MUI
lebih mawas diri untuk tidak gegabah mengeluarkan fatwa yang berpotensi
dijadikan amunisi melakukan penghakiman sepihak. Justifikasi kekerasan
bersandar pada fatwa. Ironi!
Membiarkan kelompok minoritas
yang mengancam tersebut leluasa tumbuh subur akan menggersangkan lahan
persemaian nilai-nilai kewargaan berbasis keragaman. Ceritanya akan suram
karena tunasnya adalah generasi muda. Mereka punya kesempatan bermetaformosis
menjadi mayoritas yang mengancam jika dominasi nilai-nilai keadaban publik
digantikan nilai-nilai tidak beradab; negara menjadi partisan dan
masyarakatnya mengagungkan nilai-nilai sektarianisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar