Pelacuran dan Ketidakadilan
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 13
Februari 2016
Masih terbayang dalam
ingatan dan terngiang di telinga ketika Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
menangis di sebuah acara televisi swasta saat menceritakan pengalamannya
bertemu dengan seorang pelacur tua.
Yang diceritakan oleh
Tri Rismaharini itu tidak hanya mengharukan, tetapi juga mengerikan. Alkisah
pada suatu hari wali kota yang sangat populis itu mengunjungi satu rumah
kumuh yang dihuni seorang perempuan tua. Saat bertemu dengan perempuan tua
itu, Risma kaget karena pengakuan si perempuan tua bahwa dirinya adalah
pelacur, penjual seks, di rumahnya yang kumuh itu.
Ya, seorang perempuan
yang sudah kendur bahkan renta, agak dekil, menjadi pelacur di rumahnya yang
reyot. Pertanyaannya, apa masih laku, siapa pelanggannya, dan mengapa sang
nenek melakukan itu. Risma menceritakan bahwa menurut sang nenek dirinya
masih cukup laku, pelanggannya adalah murid-murid SMP yang tidak jauh dari
rumah si nenek.
Ya, pelajar-pelajar
yang berumur sekitar 15 tahun itulah pelanggan yang biasanya datang ke rumah
si nenek saat jam istirahat, sekitar pukul 9 pagi. Bayarannya, sekali main
hanya Rp 1.000 (seribu rupiah). Sang nenek mengatakan pula bahwa hal itu
terpaksa dia lakukan karena butuh makan untuk bertahan hidup. Katanya, dia
hanya bisa hidup dengan melacur karena tak ada pekerjaan yang bisa dilakukan
atau pekerjaan yang diberikan oleh orang lain kepadanya.
Cerita Risma itu
mengingatkan dan memperingatkan kita bahwa kemiskinan bisa menyebabkan orang
melakukan hal-hal yang tidak pantas bahkan melawan hukum. Ibu tua yang
ditemui oleh Risma itulah contohnya. Dia terpaksa menjadi pelacur kumuh dan
murahan karena miskin, tetapi ingin tetap bertahan hidup.
Berdasarkan hasil
berbagai penelitian di Indonesia, sangat banyak perempuan melacurkan diri
karena ingin bertahan hidup dalam kemiskinan yang menderanya. Banyak juga
yang ingin menyekolahkan anak atau adiknya, ingin menghidupi dan mengobati
orang tuanya, dan sebagainya. Problem sosial yang muncul akibat kemiskinan
sangat beragam.
Sering diberitakan
banyaknya anak usia sekolah yang menjadi anak jalanan untuk mengais sedekah
sedapatnya. Ada juga anak yang bunuh diri karena selalu ditagih uang SPP oleh
gurunya setiap masuk kelas, sementara orang tuanya tidak mempunyai uang.
Tidak sedikit pula yang terpaksa mencuri atau merampok. Bahkan ada yang
membunuh karena tepergok saat mencuri. Itulah akibat kemiskinan.
Kalaulah kemiskinan
terjadi secara wajar, misalnya, karena tekanan situasi ekonomi dunia, mungkin
masih bisa dimaklumi. Masalahnya, kemiskinan di negara kita dikontribusikan
oleh ketidakadilan, misalnya, korupsi yang berkelanjutan dan masif, sementara
hukum dan keadilan tumpul. Koruptor-koruptor besar sering dihukum ringan,
sedangkan pencuri kambing atau pencopet dompet dihukum lebih berat.
Masih banyak terduga
atau tersangka koruptor bebas berkeliaran, bahkan berpidato untuk memberantas
korupsi. Selain penegakan hukum, ketidakadilan tampak juga dari kesenjangan
ekonomi antara kaya dan miskin. Indeks kesenjangan yang sering disebut gini
ratio kita sangat buruk. Indeks gini ratio kita sekarang ada di kisaran 0,43,
meningkat jauh dari era Orde Baru yang hanya 0,20, padahal Orde Baru
diidentifikasi sebagai rezim penuh KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Menurut para ahli,
hampir tidak ada negara yang bisa bertahan dari gempuran keruntuhan jika
indeks gini ratio mencapai 0,50. Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa
negara yang rontok ketika indeks gini ratio nya mendekati 0,450. Ini harus
kita tangani secara serius karena jumlah orang miskin di Indonesia meningkat
menjadi sekitar 29 juta jiwa.
Kemiskinan kita banyak
dikontribusikan oleh ketidakadilan, baik karena tidak tegaknya hukum maupun
karena kerakusan. Menurut fakta sejarah dan temuan para ahli, ketidakadilan
selalu mengancam eksistensi negara. Logikanya sederhana, jika rakyat selalu
diperlakukan tidak adil tanpa keberdayaan negara untuk menolongnya maka
lama-lama akan timbul disobedience
(pembangkangan), dan pembangkangan yang berkepanjangan bisa menimbulkan
disintegrasi.
Merefleksi cerita
Risma dan perkembangan keadaan sampai sekarang ini, saya tidak beranjak dari
pandangan bahwa basis nasionalisme saat ini adalah penegakan hukum dan
keadilan. Hal itu pun sudah saya kemukakan dalam orasi saat penganugerahan People of the Year (POTY) oleh Harian
Seputar Indonesia (KORAN SINDO) awal 2010.
Ketika itu saya
mengatakan, jika nasionalisme diartikan sebagai rasa cinta, rasa memiliki,
dan sikap ingin mempertahankan negara maka jika kita ingin menjaga
nasionalisme Indonesia saat ini adalah menegakkan hukum dan keadilan. Pada
masa revolusi sampai belasan tahun perjalanan kita bernegara, nasionalisme
kita ditunjukkan dengan sikap patriotik dan siap berperang melawan penjajahan
asing atau kaum separatis.
Pada waktu itu, negara
memfasilitasinya dengan persenjataan dan pembinaan tentara yang kuat dan berani
dengan dukungan rakyat yang juga ikut berperang menggunakan senjata apa
adanya hingga muncul senjata khas rakyat, bambu runcing. Tetapi percayalah,
basis nasionalisme kita saat ini haruslah bertumpu pada penegakan hukum dan
keadilan, bukan pada perang fisik dan senjata-senjata.
Musuh kita yang
dominan saat ini bukan serangan dari negara lain, bukan juga separatis,
melainkan ketidakadilan dan kerakusan di kalangan pejabat-pejabat kita
sendiri. Munculnya radikalisme, misalnya, bukan semata-mata karena ideologi,
melainkan karena menumpang pada fakta ketidakadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar