Teror Legislasi untuk KPK
Adnan Topan Husodo ;
Koordinator ICW
|
KOMPAS, 22
Februari 2016
Boleh jadi KPK adalah
satu-satunya lembaga negara yang paling dibenci oleh rezim politik mana pun
yang tengah berkuasa. Selain rutinitas kasus kriminalisasi yang dihadapi
orang-orang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini juga kerap
digugat dasar hukumnya di Mahkamah Konstitusi. Belum lagi upaya bertingkat
dan bertahap untuk menggerus secara perlahan dasar legalitasnya melalui
revisi UU KPK. Upaya menempatkan KPK pada posisi mandul, sehingga tak bisa
berbuat banyak untuk memberantas korupsi, sebenarnya juga sejarah dari
lembaga-lembaga anti korupsi yang pernah hadir di republik ini.
Upaya meneror KPK
melalui politik legislasi merupakan konsekuensi logis dari sepak terjang KPK
dalam memberantas korupsi, khususnya pada aspek penindakan. Tak sedikit
pejabat publik, elite politik, pengusaha, dan birokrat yang harus menyatakan
selamat tinggal pada karier dan masa depan mereka karena tertangkap tangan
oleh KPK.
Sayangnya, meski upaya
operasi tangkap tangan (OTT) ataupun kerja-kerja pengungkapan kasus korupsi
melalui mekanisme yang konvensional, yakni case building, telah dilakukan
sedemikian sering, belum cukup bagi pejabat publik dan kelompok yang rentan
menyalahgunakan wewenang untuk berhenti korupsi. Barangkali, sudah terbangun
persepsi umum bahwa yang ditangkap KPK adalah orang yang tengah sial belaka.
Praktik baik internasional
Pada dasarnya,
mengubah peraturan atau dasar hukum bukan hal tabu. Bahkan, dasar hukum
setingkat konstitusi pun bisa diperbaiki/direvisi jika ada kehendak mayoritas
warga. Hanya saja, dalam konteks pemberantasan korupsi, pelajaran dari negara
lain yang sukses memberantas korupsi, seperti di Singapura dengan Corrupt Practices Investigation Bureau
(CPIB)-nya, agenda legislasi bidang anti korupsi hanya bertujuan memperkuat
dan memperbaiki sistem anti korupsinya. Dalam catatan Jon ST Quah (1995;
2001), UU Anti Korupsi di Singapura telah diubah empat kali dengan tujuan penguatan.
Ada beberapa butir
penting dari agenda penguatan CPIB Singapura. Pertama, investigator CPIB
diberi wewenang menjadikan informasi atas asal-usul kekayaan tersangka yang
tak dapat dijelaskan dari mana sumbernya sebagai bukti untuk menyeret
seseorang dalam proses hukum lebih lanjut.
Kedua, CPIB juga
diberi wewenang menangani perkara korupsi sektor swasta, bukan semata korupsi
yang melibatkan pejabat publik atau penyelenggara negara. Butir ini sangat
penting karena pemahaman korupsi di Indonesia masih berkutat pada korupsi
sektor publik, sementara negara-negara lain yang berhasil memerangi korupsi
telah memasukkan sektor swasta dalam regulasi anti korupsi mereka.
Ketiga, pelajaran
penting lainnya dari keberhasilan membentuk komisi anti korupsi yang kuat
juga karena adanya kepemimpinan politik yang kuat, yakni pejabat publik
tertingginya selalu melindungi komisi anti korupsinya dari upaya pelemahan.
Di Singapura, sejarah pemberantasan korupsi mereka dimulai oleh partai yang
baru berkuasa, yakni People's Action
Party (PAP) pada 1959 sebagai bagian dari kampanye politik mereka.
Kampanye terkenal mereka tentang korupsi adalah "a high risk, low reward".
Terakhir, komisi anti
korupsi hanya akan mampu melawan korupsi jika lembaga ini steril dari campur
tangan dan pengaruh penegak hukum lain. Ini artinya, tidak ada dalam praktik
internasional di mana komisi independen anti korupsi yang jajaran pegawainya
diambil dari kepolisian sebagai misal. Hal ini untuk menjaga posisi komisi
dari berbagai macam kemungkinan pengaruh buruk, atau keraguan dan hambatan
dalam memberantas korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum lainnya.
Dalil yang absurd
Dengan melihat
berbagai contoh praktik baik internasional dalam memberantas korupsi, apakah
Indonesia melalui semangat revisi UU KPK yang tengah diusahakan sebenarnya
menuju, berkiblat, atau terinspirasi oleh kisah sukses negara lain dalam
melawan korupsi, ataukah sebenarnya dalil penguatan yang diwacanakan hanyalah
ilusi belaka? Setidaknya, ada beberapa isu besar dari rencana revisi UU KPK
yang menjadi alasan paling fundamental dari kalangan yang menyokong revisi UU
KPK.
Pertama, kontrol yang
lebih kuat pada KPK melalui pembentukan Dewan Pengawas. Bukan hanya memiliki
wewenang melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK, Dewan Pengawas punya hak
veto untuk menyetujui atau tidak penyadapan dan penyitaan. Dari dasar ini,
kita perlu bertanya: apakah selama ini KPK telah melakukan penyadapan yang
sembrono, membabi buta, dan mengancam hak privasi orang? Sejauh ini, tak ada
argumentasi faktual yang diajukan DPR untuk memberikan justifikasi logis atas
keberadaan Dewan Pengawas. Untuk menunjuk satu bentuk penyimpangan dari
penyadapan yang dilakukan KPK pun mereka tak memiliki bukti yang valid.
Sementara itu,
mekanisme kontrol terhadap KPK sebenarnya sudah cukup memadai. Selain DPR
sebagai lembaga politik yang mengawasi, KPK juga diawasi media, dikontrol
publik, dan memiliki mekanisme internal yang bisa diberdayakan maksimal untuk
fungsi pencegahan internal KPK dari kemungkinan pelanggaran kode etik maupun
pidana. Kasus yang terkait dengan bocornya sprindik kasus tertentu maupun
syahwat politik untuk maju sebagai calon presiden/wakil presiden dari
pimpinan KPK yang masih aktif, hal itu bisa diselesaikan melalui mekanisme
pembentukan Komite Etik ataupun memaksimalkan fungsi Tim Penasihat KPK yang
dalam praktiknya tidak pernah berjalan efektif. Sayangnya, DPR tak pernah
memberikan kritik yang cukup atas realitas Tim Penasihat KPK yang tidak
pernah berjalan maksimal sebagaimana dimandatkan UU.
Kedua, penyadapan oleh
KPK hanya bisa dilakukan saat penyidikan kasus korupsi telah dimulai.
Kembali, pengaturan mengenai penyadapan masuk sebagai isu yang vital bagi
DPR. Pembatasan penyadapan KPK sejak tahap penyidikan sebenarnya kata lain
dari larangan halus melakukan penyadapan. Akan sangat mustahil KPK melakukan
OTT jika proses itu baru bisa dilakukan sejak kasus masuk ke tahap
penyidikan, bukan penyelidikan. Jika memang DPR hendak mengatur soal ini,
tentu DPR perlu merujuk kembali pada putusan Mahkamah Konstitusi yang
memerintahkan adanya pengaturan khusus atau UU tersendiri mengenai penyadapan
sehingga mekanisme checks and balances penyadapan akan meliputi semua
institusi negara yang berwenang melakukannya, bukan hanya KPK.
Ketiga, KPK dilarang
merekrut penyelidik dan penyidik sendiri karena-menurut draf yang
ada-penyelidik dan penyidik hanya bisa berasal dari kepolisian. Dengan
monopoli penyelidik dan penyidik dari kepolisian, bisa dipastikan KPK akan
mandul dan lumpuh menangani korupsi yang melibatkan elite kepolisian. Konsep
lain yang cukup membahayakan posisi KPK adalah wewenang surat penghentian
penyidikan (SP3). Dalam praktiknya, KPK menggunakan standar yang lebih tinggi
dalam menangani perkara korupsi, sejak dalam tahap penyelidikan. Hal inilah
yang menjadikan 100 persen conviction rate KPK tetap terjaga. Dengan berbagai
alasan di atas, tak ada manfaat lebih bagi KPK untuk lebih bertaji melawan
korupsi melalui mekanisme revisi UU KPK yang materialnya justru hendak
menjerumuskan KPK ke jurang kehancuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar