Arah Pengampunan Pajak
Yustinus Prastowo ;
Direktur Eksekutif
Center for Indonesia Taxation
Analysis (CITA), Jakarta
|
KOMPAS, 26
Februari 2016
Setelah Presiden Joko
Widodo dan pimpinan DPR menyepakati penundaan pembahasan revisi Undang-Undang
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, kini giliran Rancangan Undang-Undang
Pengampunan Pajak menuai kontroversi. Muncul sinyalemen bahwa DPR akan
menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan
konsekuensi pengesahannya pun molor dari rencana awal.
Alasan yang
dikemukakan cukup beragam, mulai dari perlunya sosialisasi, belum mendesak,
kesiapan pemerintah, hingga aspek keadilan. Tanpa mengurangi pentingnya pro
dan kontra terkait ide pengampunan pajak, tulisan ini ingin meletakkan
diskursus pengampunan pajak dalam konteks reformasi perpajakan yang lebih
luas. Keengganan masuk ke lapis problematik terdalam berpotensi mengaburkan
tantangan yang sesungguhnya.
Kondisi perpajakan Indonesia
Kondisi perpajakan
Indonesia masih jauh dari memuaskan. Meski kontribusi penerimaan pajak
terhadap pendapatan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) mencapai 70 persen, belum tampak perhatian yang memadai terhadap
pentingnya reformasi perpajakan yang komprehensif dan substansial. Bahkan,
reformasi perpajakan terkesan mandek tanpa kemajuan berarti.
Belum optimalnya
penerimaan pajak, yang salah satunya tecermin dari stagnasi rasio penerimaan
pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) di kisaran 10-11 persen,
semakin ironis jika dihadapkan pada hamparan data yang mencengangkan.
McKinsey & Company pernah melansir data, setidaknya terdapat 300 miliar
dollar AS aset warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri. Temuan
hampir sama diperoleh Tax Justice
Network (2010) yang mencatat sekitar 330 miliar dollar AS aset milik
warga negara Indonesia ditempatkan di negara-negara suaka pajak (tax haven).
Dan belum lama,
Perkumpulan Prakarsa merilis hasil riset yang menunjukkan aliran dana haram
ke luar negeri pada kurun waktu 2010-2014 mencapai Rp 914 triliun. Tak
sekadar menggurita, kekayaan itu juga terakumulasi pada segelintir orang.
Bank Dunia dalam laporan terbarunya menyatakan, 1 persen orang terkaya
menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Pada akhir 2015, simpanan di atas Rp
2 miliar mencapai Rp 2.428 triliun atau 54,28 persen dari total simpanan dan
hanya dimiliki 0,13 persen atau 231.572 rekening, demikian laporan Lembaga
Penjamin Simpanan.
Timbunan data yang
menakjubkan ini sekaligus menyingkap tabir potensi pajak yang sangat luar
biasa. Data penerimaan pajak 2015 menunjukkan bahwa setoran wajib pajak orang
pribadi nonkaryawan hanya Rp 9 triliun, jauh di bawah setoran pajak
penghasilan (PPh) karyawan yang mencapai Rp 105 triliun. Hal ini jelas
menyimpang dari prinsip kemampuan dalam membayar pajak (ability to pay) yang
menjadi roh Undang-Undang Perpajakan bahwa yang memiliki kemampuan lebih
tinggi wajib membayar pajak lebih besar.
Di hadapan fakta dan
konteks seperti itulah, gagasan pengampunan pajak lahir. Selama ini, Direktorat
Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengalami kesulitan untuk memungut pajak karena
berbagai kendala, mulai dari keterbatasan kapasitas; praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN); regulasi yang tertinggal; koordinasi dan dukungan
kelembagaan yang buruk; kecanggihan praktik penghindaran pajak; dan praktik
beking yang melanggengkan para wajib pajak yang tak pernah tersentuh.
Kecurigaan bahwa pengampunan ini hanya akan menguntungkan kelompok kaya
memang beralasan meski tak sepenuhnya tepat.
Secara umum, tingkat
kepatuhan pajak kita masih sangat rendah. Jumlah wajib pajak terdaftar sangat
sedikit, baru sekitar 28 juta atau 11 persen dari jumlah penduduk, dari
potensi wajib pajak orang pribadi sekitar 60 juta. Dari jumlah itu, 8,9 juta
yang menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak dan hanya 900.000 wajib pajak yang status SPT-nya
kurang bayar.
Di sisi lain, porsi
sektor informal juga masih cukup tinggi, mencapai 18 persen dari Produk
Domestik Bruto (Schneider:2010) dan memiliki potensi pajak tidak kurang 1
persen dari PDB atau sekitar Rp 100 triliun. Taksiran potensi ini jauh di
atas setoran riil pajak usaha kecil dan menengah sebesar Rp 2 triliun
setahun.
"Amnestia", bukan amnesia
Pengampunan pajak
dirancang untuk merengkuh beberapa tujuan sekaligus. Pertama, meningkatkan
penerimaan pajak dalam jangka pendek, khususnya untuk mengamankan APBN 2016.
Tanpa tambahan penerimaan pajak, pemerintah terpaksa harus berutang lagi atau
memangkas belanja-dua pil pahit yang sebaiknya tidak ditelan. Dengan tarif
tebusan 2 persen, diperkirakan akan ada tambahan penerimaan pajak Rp 60
triliun, belum ditambah potensi dari restitusi dan sengketa pajak yang
dicabut karena pengampunan.
Kedua, repatriasi
sekitar Rp 500 triliun dana yang diparkir di luar negeri akan mengurangi
dahaga likuiditas yang amat dibutuhkan untuk mengungkit perekonomian nasional
melalui penurunan suku bunga, meningkatnya investasi, dan terbukanya lapangan
kerja baru. Ketiga, deklarasi aset dan integrasi sektor informal ke dalam
sistem perekonomian nasional akan memperluas basis pajak secara signifikan.
Pada gilirannya, ini akan menjadi tambahan penerimaan pajak pada masa
mendatang. Dan keempat, kepatuhan
pajak diharapkan meningkat secara alamiah karena partisipasi yang semakin
luas.
Optimisme yang
membuncah tersebut bukannya tanpa catatan. Pemerintah dan DPR harus awas pada
peringatan Dana Moneter Internasional (2008) bahwa keberhasilan pengampunan
pajak lebih sebagai anomali ketimbang norma. Bahkan, catatan sejarah
menunjukkan, di negara berkembang kepatuhan pajak pasca pengampunan justru
menurun karena tidak disertai pengembangan sistem perpajakan yang lebih baik
(Luitel & Sobel:2005).
Keberhasilan Italia
dan Afrika Selatan dalam menerapkan pengampunan pajak layak dicermati dengan
saksama. Italia berhasil melakukan repatriasi dan mengintegrasikan sektor
informal ke dalam sistem perpajakan karena didahului dengan pembentukan basis
data yang kuat. Afrika Selatan menjadi contoh terbaik keberhasilan pemberian
pengampunan di antara negara berkembang karena dapat menjamin kesinambungan
reformasi pajak dan stabilitas politik berkat jaminan kepemimpinan Nelson
Mandela.
Kita tentu saja
memiliki peluang yang cukup besar agar pengampunan pajak ini berhasil. Angin
sejarah agaknya berpihak karena pada 2018 kita akan memasuki era baru
keterbukaan pajak yang ditopang Automatic
Exchange of Information (AEoI). Inisiatif global ini dapat menjadi
insentif bagi para wajib pajak agar berpartisipasi dalam pengampunan pajak
sebelum harta yang disembunyikan diburu dan ditelanjangi. Di lain pihak, para
pelaku usaha sektor informal juga wajib ikut serta agar terhindar dari
pengenaan sanksi perpajakan yang memberatkan pada masa mendatang. Karena
pengampunan pajak hanya diberikan satu kali dalam satu generasi, celah harapan
bahwa pengampunan akan diberikan lagi harus ditutup. Kita diimpit pisau
dilema: peluang menarik dana yang selama ini justru dinikmati negara lain
dengan risiko mendistorsi rasa keadilan atau konsisten memeluk prinsip
keadilan dengan konsekuensi sistem perpajakan akan jalan di tempat.
Saat ini kita berada
pada titik yang memaksa kita harus melangkah ke depan. Terlalu mahal ongkos
yang harus dikeluarkan apabila program ini tertunda atau dibatalkan.
Ekspektasi publik sudah telanjur besar seiring keyakinan pemerintah
menerapkan program ini dalam waktu dekat. Jika program ini batal
dilaksanakan, kita akan berada pada titik nadir kepercayaan terhadap sistem
perpajakan. Bahkan, tak terhindarkan pemungutan pajak yang semakin agresif
dengan penegakan hukum yang keras akan ditempuh, termasuk pembiaran terhadap
mereka yang selama ini tak tersentuh hukum.
Meski demikian,
langkah maju ini tak boleh mencuri kewaspadaan kita. Tanpa upaya
sungguh-sungguh mereformasi sistem perpajakan dalam satu tarikan
napas-perubahan UU Perpajakan yang meneguhkan prinsip keadilan dan kepastian
hukum, formula redistribusi uang pajak yang adil, pengembangan sistem
administrasi yang terintegrasi, akses yang lebih luas ke data perbankan,
integrasi nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP),
dukungan kelembagaan yang kuat, dan pembentukan Badan Penerimaan Perpajakan
yang kuat, kredibel, dan profesional-dapat dipastikan program pengampunan
pajak memang hanya merupakan pengampuan.
Jika tugas sejarah
adalah mencegah "amnestia" menjadi "amnesia", di situlah
kemendesakan hadirnya para negarawan yang visioner, bukan pemburu rente atau
penumpang gelap perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar