Menalar dan Menakar Kemiskinan
Mulyadi Sumarto ;
Dosen dan Peneliti Senior
di Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM
|
KOMPAS, 24
Februari 2016
Kemiskinan sulit
dipisahkan dari perkembangan kehidupan masyarakat.
Orang miskin bisa dijumpai
di mana saja, termasuk di negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia,
dan negara-negara Eropa, tetapi kemiskinan kronis yang bersifat
multidimensional sebagaimana yang diulas Kompas (18-21/1/2016) lebih banyak
ditemukan di negara berkembang. Pada saat negara berkembang sedang mengalami
penjajahan yang sarat masalah kemiskinan pada abad ke-17, negara maju telah
berupaya menanggulangi kemiskinan sehingga masalah itu kini telah
dilewatinya.
Namun, ini bukan
berarti bahwa semua program penanggulangan kemiskinan (PPK) berhasil. Sejarah
realisasi PPK menunjukkan bahwa sebagian dari mereka gagal. Berbagai PPK yang
diselenggarakan di kawasan Afrika, Amerika Latin, Asia, dan bekas negara
sosialis di Eropa timur gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Usia PPK di Indonesia
relatif masih muda dibandingkan dengan pelaksanaan PPK di negara maju.
Apa masalah yang
dihadapi PPK di Indonesia? Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk
menyelesaikan masalah itu?
Di negara berkembang
Realisasi PPK di negara
berkembang tidak otonom. Ia melibatkan lembaga global, seperti UNDP, WHO,
Unicef, UNESCO, Bank Dunia, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat
internasional. Di antara lembaga itu, Bank Dunia paling kuat keterlibatannya.
Negara berkembang yang
pernah menghadapi krisis ekonomi sehingga meminjam bantuan asing ke Bank
Dunia untuk menyelesaikan krisis itu, seperti Banglades, Bolivia, Ekuador,
Ghana, Hongaria, Kamboja, Meksiko, Nigeria, Peru, Filipina, dan Uganda, wajib
menjalani PPK yang dianjurkan Bank Dunia. Pengelolaan PPK itu berada di bawah
payung program pencocokan struktur sebagai syarat yang harus dilakukan untuk
meminjam bantuan asing dari Bank Dunia.
Namun, PPK gagal
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk memperbaikinya, Bank Dunia
memperkenalkan konsep baru yang ia sebut sebagai poverty reduction strategy
paper. Ternyata itu pun menghadapi masalah serupa. Sebagian dari faktor yang
menyebabkan kegagalan itu adalah kelemahan metode PPK, akurasi data,
kesalahan sasaran, dan korupsi.
PPK di Indonesia
mengalami perkembangan yang cukup berarti sejak pemerintahan Presiden
Soeharto. Selama pemerintahan Soeharto, PPK dilaksanakan melalui program
pembangunan desa. Soeharto tumbang, PPK diselenggarakan dengan distribusi
perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan usaha mikro.
Sama dengan di negara
berkembang lainnya, PPK di Indonesia juga tidak otonom. Ia tidak bisa
melepaskan diri dari keterlibatan lembaga global, termasuk Bank Dunia,
melalui program pencocokan struktur yang diwajibkannya ketika Indonesia
menghadapi krisis ekonomi 1998.
Sekarang, PPK di
Indonesia menghadapi tiga masalah serius. Pertama, konsep PPK bersifat
parsial.Dalam jangka waktu satu atau dua dekade ke depan, Indonesia
diperkirakan menjadi salah satu negara industri terbesar di dunia.
Dalam situasi seperti
ini, Pemerintah Indonesia seharusnya telah merancang model rezim
kesejahteraan yang akan diadopsi. Kalau itu sudah dilakukan, fokus dan
pendekatan PPK perlu disesuaikan denganpilihan rezim tersebut. Meski demikian,
desain PPK bersifat utuh, tetapi sayangnya hal itu belum dilakukan.
Kedua, metode
pelaksanaan PPK yang mencakup indikator kemiskinan, data kemiskinan, dan
sistem pemilihan penerima PPK kurang akurat. Bank Dunia telah
merekomendasikan indikator kemiskinan berupa indeks garis kemiskinan sebesar
2 dollar AS per kapita per hari. Pada saat yang sama telah dikembangkan
indikator kesejahteraan yang bersifat multidimensi, yaitu dimensi ekonomi,
sosial, dan politik.
Kualitas hidup
Salah satu contoh indikator
ini adalah kualitas hidup yang dikembangkan berdasarkan pemikiran ekonom
besar Amartya Sen. Indonesia menggunakan indeks garis kemiskinan hanya
sebesar 1 dollar AS dan menggunakan indikator kesejahteraan berdimensi
tunggal: ekonomi.
Pilihan menggunakan 1
dollar AS sebagai indeks garis kemiskinan sebenarnya sangat problematik
karena dua alasan, yaitu nilai uang tersebut belum tentu mampu
mencukupikebutuhan pokok dan Filipina yang dianggap lebih miskin daripada
Indonesia menggunakan indeks 2 dollar AS. Artinya, 1 dollar AS terlalu kecil
digunakan sebagai indeks garis kemiskinan.
Namun, ini bukan
berarti bahwa Pemerintah Indonesia dengan sendirinya akan bersedia menerima
usulan untuk meningkatkan indeks garis kemiskinan menjadi 2 dollar AS karena,
dengan begitu, angka kemiskinan akan meningkat. Ini juga berlaku pada
indikator kesejahteraan.
Apabila Pemerintah
Indonesia menggunakan indikator kesejahteraan multidimensi yang mencakup isu
keamanan dan partisipasi politik, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia
akan turun karena di level global, Indonesia masih dianggap menghadapi
masalah serius dalam keamanan dan partisipasi politik.
Peningkatan angka
kemiskinan dan penurunan tingkat kesejahteraan ini akan membawa pada
penilaian bahwa PPK di Indonesia gagal. Pemerintah tidak suka dengan label
gagal walaupun itu yang seharusnya dipilihnya.
Indikator berdimensi
tunggal di Indonesia digunakan untuk mengumpulkan data rumah kemiskinan guna
mendistribusikan perlindungan sosial kepada rumah tangga miskin. Namun, data
tersebut kurang akurat sehingga isu targeting menjadi masalah yang rumit.
Bank Dunia yang telah mendampingi pelaksanaan program perlindungan sosial di
Indonesia selama beberapa tahun menyatakan bahwa skor targeting program beras
untuk rakyat miskin adalah 13 dari nilai skor tertinggi 100, sementara skor
program bantuan langsung tunai adalah 24.
Ketiga, moralitas
elite politik dan birokrat masih memprihatinkan. Salah satu wujud masalah
imoralitas ini, misalnya, adalah korupsi dana PPK. Secara filosofis, salah
satu komitmen moral tertinggi manusia adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, tetapi para elite pembuat kebijakan malah merampas kesejahteraan
mereka melalui korupsi dana PPK. Korupsi dana PPK ini belum terungkap secara
tuntas. Kasus korupsi dana bantuan sosial di Medan hanya salah satu contoh
kecil dari fenomena gunung es korupsi dana PPK di Indonesia.
Dalam kondisi seperti
ini, pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk melakukan
reformasi PPK tidak bisa dielakkan lagi. Ini agenda jangka panjang yang tidak
bisa diselesaikan oleh pemerintahan sekarang. Namun, minimal yang bisa
dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah membangun landasan
mendasar untuk menyelesaikan ketiga masalah tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar