Ancaman Militerisasi Laut Tiongkok Selatan
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 18
Februari 2016
Kolonialisasi maritim
Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang dijadikan acuan di harian ini dalam
mengamati kebangkitan Tiongkok (Kompas, 17/1 dan 16/12/2015) mungkin bisa
digambarkan sesuai pernyataan yang pernah disampaikan Menteri Luar Negeri Ali
Alatas tentang situasi LTS pada tahun 1995 yang menyebutkan, "the repetition of an untruth will
eventually make it appear as truth."
Dan kolonisasi maritim
Tiongkok diwujudkan secara tegas dan jelas ketika menggelar rudal
darat-ke-udara jenis HQ-9, yang disebut sebagai hongqi (bendera merah), di
Pulau Woody, yang disebut Tiongkok sebagai Yongxin. Pulau yang terletak di
Kepulauan Paracel ini memiliki klaim tumpang tindih kedaulatan. Selain
Tiongkok dan Taiwan, juga diklaim Vietnam.
Rudal HQ-9 adalah
rudal jenis baru ukuran menengah jarak jauh (mencapai sekitar 200 kilometer)
dan memiliki teknologi radar pelacak aktif. Banyak pertanyaan yang muncul
dengan niatan digelarnya rudal HQ-9 ini menjelang berakhirnya pertemuan
puncak ASEAN-Amerika Serikat di Sunnyland, California. Anehnya, pernyataan
bersama KTT ASEAN-AS tidak menyinggung sama sekali tentang LTS, hanya mengacu
pada masalah keamanan maritim.
Ada beberapa indikasi
yang bisa menjelaskan kehadiran rudal HQ-9 dan beberapa helikopter militer
Tiongkok di Kepulauan Paracel. Pertama, sebagai reaksi atas operasi patroli
Angkatan Laut AS atas nama kebebasan navigasi di Pulau Triton, 160 km dari
Pulau Woody, bulan lalu. Kedua, tindakan unilateral militer Tiongkok, Tentara
Pembebasan Rakyat (TPR) yang baru reorganisasi, sebagai uji kesiapan
menggelar rudal sebanyak dua baterai (masing-masing 6 tabung peluncur),
sekaligus menguji reaksi negara-negara di sekitar LTS.
Dan ketiga, kehadiran
rudal HQ-9 sebagai pengganti utama sistem persenjataan Tiongkok di Kepulauan
Paracel, karena penempatan pesawat tempur TPR-Udara jenis J-11 di Pulau Woody
pada bulan November lalu menghadapi persoalan. Isu utama pesawat tempur di
pulau kecil dalam waktu lama adalah ancaman karat dari air dan udara laut,
yang bisa mengganggu operasi pesawat tempur.
Asumsi kehadiran rudal
HQ-9 adalah bentuk konkret Tiongkok menggelar kolonialisasi maritim sebagai
warisan sejarah sejak masa dinasti Yuan (1271-1368) kekaisaran Mongol. Pada
masa kejayaan Kubilai Khan, kekaisaran Mongol menganggap kolonialisasi
maritim memiliki peluang membangun kekuatan relatif kecil bersenjata lengkap
dan tertata secara baik untuk menguasai daratan maupun lautan. Konsep ini
baru terwujud pada dinasti Ming (1368-1644) yang menggelar ekspedisi maritim
di luar lingkup pengaruh daratan Tiongkok.
Perubahan tata kelola
geopolitik di LTS mengisyaratkan bahwa upaya pembentukan tata perilaku (code
of conduct) menjadi usang. Terlihat dari semakin agresifnya Tiongkok
membangun "pulau palsu" serta militerisasi wilayah LTS menjadi
suatu kenyataan. Bagi Indonesia dan ASEAN, perangkat keras militer RRT di
wilayah laut LTS adalah ancaman langsung bagi stabilitas dan perdamaian
kawasan.
Perilaku asertif
Tiongkok yang tidak hanya bersifat diplomasi, tetapi juga menggunakan
kekuatan militer, menyulitkan ASEAN dan Indonesia mencari resolusi damai yang
memadai. Hal ini juga menggoyahkan keseimbangan kepentingan nasional dan
regional Asia Tenggara. Militerisasi kawasan LTS akan mengubah keseluruhan
asumsi pengendalian hubungan negara besar dengan ASEAN, yang membahayakan
upaya pertumbuhan pembangunan bagi kesejahteraan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar