Dinamika HAM di Asia Tenggara
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 10
Februari 2016
Dalam lingkar
pemerhati hak asasi manusia (HAM), analisis yang beredar mengenai pemajuan
dan perlindungan HAM di Asia Tenggara terbilang cukup dinamis.
Sulit untuk memukul
rata apakah negara anggota ASEAN telah memajukan atau justru merendahkan
penghargaan terhadap HAM karena tiap negara berbeda kemajuan ekonomi, budaya,
sosial, dan sistem politiknya. Ada satu negara yang di satu isu lebih
progresif daripada negara lain, tetapi pada isu berbeda lebih buruk bila
dibandingkan dengan negara lain. Tidak mengherankan apabila sejumlah pihak,
terutama masyarakat Barat, menyebut praktik penghormatan HAM di ASEAN lamban,
rentan disalahgunakan, lemah, tercemar korupsi, dan sebagainya.
Kasus-kasus
pelanggaran HAM berat seperti ditahannya atau bahkan hilangnya tokohtokoh
pejuang HAM di sejumlah negara menambah catatan merah upaya pemajuan dan
perlindungan HAM di Asia Tenggara. Namun apa pun kondisinya, tidaklah pantas
kita sekadar mengkritik atau menyerah. Pada akhirnya kita perlu mencari jalan
untuk melakukan pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ini.
Keprihatinan seperti
disebut di atas sebenarnya juga bagian dari tantangan penegakan HAM di
negara-negara yang sudah maju sekalipun. Ada jalur diplomasi di ASEAN yang
patut kita cermati dan pergunakan dengan baik terkait upaya tersebut, yaitu
berdirinya ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) pada
2009. Komisi ini bergerak atas dasar mandat dan sejumlah aturan main yang
disetujui di level kepala negara.
Sejumlah negara
memutuskan untuk memilih komisioner AICHR secara terbuka, termasuk dengan
mengundang tokoh masyarakat sipil, contohnya Indonesia. Tugas utama komisi
ini adalah membangun mekanisme regional untuk mendorong pemajuan dan
perlindungan HAM di kawasan ASEAN. Selain itu, komisi tersebut juga bertugas
memberi masukan dan pendampingan bagi badanbadan ASEAN terkait pemenuhan
tanggung jawab HAM dan menjalin posisi bersama antarnegara ASEAN terkait HAM.
Sejak pendiriannya,
AICHR melakukan ragam upaya mendorong penghormatan pada HAM melalui rangkaian
dialog regional dalam beragam topik yang mengarah pada penguatan panduan
regional dalam pemajuan dan perlindungan HAM.
Misalnya praktik
penghormatan HAM dalam CSR di dunia bisnis, pencegahan dan perlindungan
masyarakat dari kejahatan trafficking , fasilitasi bagi kelompok masyarakat
berkebutuhan khusus, penghapusan kekerasan terhadap perempuan, proses hukum
yang adil dan berkemanusiaan bagi terpidana hukuman mati, dll. Upaya ini
masih muda usia. Usaha itu ditopang dengan lahirnya Deklarasi HAM ASEAN pada
2012 yang dilengkapi dengan pernyataan Phnom Penh tentang penerapan Deklarasi
HAM ASEAN tersebut.
Dalam kedua dokumen
itu dicanangkan pentingnya AICHR sebagai lembaga payung yang mendorong
pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Lewat deklarasi tersebut, semua pilar
komunitas ASEAN pada prinsipnya perlu memeriksa apakah kegiatan-kegiatan
mereka sejalan dengan penghormatan atas HAM. Arah yang dituju adalah
pembangunan sosial yang berkeadilan, menghormati martabat manusia dan
pemenuhan kualitas hidup yang lebih baik bagi para warga negara di kawasan
ASEAN.
Kebetulan tahun ini
saya dipercaya mengemban mandat sebagai wakil Indonesia alias komisioner
untuk Komisi Antar- Pemerintah ASEAN untuk HAM (AICHR) yang masa baktinya 3
tahun. Dalam kapasitas tersebut, saya punya kesempatan untuk melakukan
sejumlah pengamatan dan interaksi.
Pertama, terkait
strategi pemajuan HAM di kawasan ASEAN. Komentar-komentar yang keras
terdengar di luar lingkar ASEAN adalah bahwa cara-cara ASEAN terbilang
terlalu lamban dan kurang tegas. Sejumlah pihak menuding proses konsensus
sebagai penghambat pemajuan dan perlindungan HAM. Sebenarnya apa yang
terjadi? Apakah kelambanan itu sebuah kesengajaan atau demikian keadaan yang
ada?
Observasi saya
menyimpulkan bahwa konsensus yang kemudian banyak dituding menghambat
berbagai isu penting dalam penegakan HAM adalah bagian dari ketidakmerataan
yang hadir di dalam hubungan antarsesama negara anggota ASEAN. Pada minggu
lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Laos karena kebetulan tahun ini Laos
memegang posisi sebagai ketua ASEAN, jabatan yang secara rutin digilir oleh
10 negara anggota ASEAN.
Dalam lingkaran
pengamat yang membandingkan Laos dengan negaranegara anggota lain, keketuaan
Laos cenderung dipandang skeptis karena Laos lebih sering terkesan pasif
dalam lingkar pergaulan ASEAN. Untuk urusan politik, termasuk juga isu-isu
yang menyinggung HAM, Laos kerap disebut menghindar atau bahkan bungkam.
Tanpa niat untuk
merendahkan perjuangan HAM di negara ini dan kawasan, saya mendapatkan sisi
lain dari negara ini yang mendorong saya untuk berpikir bahwa para pembela di
Asia Tenggara harus bekerja lebih keras dibandingkan dengan rekan-rekan
mereka yang sudah maju di masyarakat Barat.
Dengan kata lain, saya
ingin mengatakan bahwa pendekatan untuk mengangkat HAM sebagai prinsip yang
universal di Asia Tenggara tidak bisa dilakukan dengan pendekatan seperti
yang dilakukan masyarakat Barat yang cenderung rasional dan sekuler, tetapi
harus dengan pendekatan Asia yang lebih mengutamakan ”rasa”. Oleh sebab itu,
kata lambat atau cepat menjadi relatif dalam konteks ini.
Di negara-negara
ASEAN, kita menemukan bahwa bila pemajuan HAM hanya diukur semata dari pembentukan
regulasi atau konvensi, penghargaan HAM belum sejati ditegakkan. Bayangkan
bahwa ragam regulasi, aturan, dan ketentuan bisa saja dibuat, tetapi
implementasinya bisa nol jika para penegak hukum dan masyarakatnya tidak
menghayati alasan dibuatnya regulasi, aturan, dan ketentuan tersebut.
Contohnya adalah Laos
yang akan dianggap penuh anomali bila menggunakan kerangka berpikir formal
sistem politik Barat. Secara formal, sistem demokrasi di Laos menganut sistem
satu politik sosialis-komunis, tetapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
di sana adalah umat Buddha yang taat.
Di satu sisi sebagian
dari penduduk di sana memang menyadari pentingnya kebebasan berpendapat,
tetapi sebagian besar yang lain melihat kebebasan berpendapat sebagai belum
menjadi bagian kultural. Bagi rata-rata orang di sana, harmoni dengan siapa
pun adalah hal yang harus dijaga.
Bahkan ketika orang
lain melanggar peraturan, mereka juga tidak ingin langsung menegur karena
harus ada saling pengertian akan kelemahan seseorang dan penegak hukum juga
tidak ingin menimbulkan trauma dari masyarakat karena suatu sanksi tertentu.
Di sisi lain, penegak hukum di Laos tidak segan memberikan teguran keras
kepada mereka yang terkesan memaksakan kehendaknya pada orang lain.
Tentu saja, kita bisa
mengartikan cerita di atas sebagai tindakan represif kaum berkuasa, tetapi
jika melihat keseharian mereka, mustahil ada kepatuhan yang masif tanpa ada
”izin” dari masyarakat setempat. Bukankah pada akhirnya suatu masyarakat juga
membutuhkan tatanan sosial meskipun HAM tetap dijunjung tinggi? Artinya bahwa
penegakan HAM berpulang pada pemahaman bersama di tataran pemerintah dan
masyarakatnya.
Pemahaman ini harus
organik; harus tumbuh dari dalam, tidak bisa sekadar dicangkok oleh pihak
asing. Jadi ketika bicara konsensus di ASEAN, saya lihat kita tidak bisa
sekadar mendesak terjadinya konsensus, tetapi perlu menggali cara-cara supaya
konsensus itu secara alamiah tumbuh di antara para komisioner di AICHR.
Alamiah di sini bukan berarti membiarkan tanpa usaha, tetapi justru
mengusahakan sebuah kebijakan yang urgensinya dapat dipahami oleh para
pemegang kuasa politik di negara masing-masing tanpa mereka merasa terancam.
Kedua, terkait dengan
upaya membangun komunitas ASEAN. Saat ini sudah ada konsensus dari pemimpin
di segala lapisan di semua negara ASEAN bahwa Komunitas ASEAN yang tunggal,
saling peduli, dan saling berbagi adalah impian bersama. Secara prinsip ini
adalah modalitas bagi pemajuan HAM di kawasan walaupun fakta internal, tiap
negara anggota memiliki perbedaan dan kontradiksi menyangkut beberapa isu
seperti masalah HAM dan kedaulatan.
Perbedaan ini yang
bisa jadi menyulitkan ASEAN dalam menghadapi kompetitor dari kawasan atau
negaranegara lain yang membawa ideologi ekonomi dan politiknya masing-masing.
Sebagai contoh, ASEAN sebagai komunitas ekonomi berada dalam kompetisi dengan
masyarakat Eropa/Amerika dan China yang saat ini berperan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi dunia.
Masingmasing mendorong
liberalisasi ekonomi sejauh-jauhnya, tetapi disertai perbedaan di mana
Eropa/Amerika mengaitkan ekonomi dengan masalah HAM dan demokrasi. Sementara
China memisahkannya dan lebih mendorong politik nonintervensi dalam pergaulan
politik internasional. Tiap kutub politik itu secara langsung dan tidak langsung
juga memperuncing perbedaan yang ada di antara negara-negara ASEAN.
Dalam konteks
tersebut, tidak mudah untuk merumuskan strategi penguatan HAM di ASEAN.
Insentif apa yang harus dirumuskan agar negara-negara anggota ASEAN dapat
menikmati hasil dari penghargaan HAM dan disinsentif apa yang harus diberikan
apabila ada negara yang melanggar? Eropa/ Amerika memberikan contoh bagaimana
pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan penghormatan HAM dapat membuat
penduduknya sejahtera.
Namun di sisi lain
kita juga melihat China dengan sistem politik terpimpinnya ternyata saat ini
pertumbuhan ekonominya menjadi idola bagi banyak pemimpin negara yang relatif
memiliki masalah sosial dan politik yang sama. Tiap strategi akan memiliki
implikasi secara langsung, terutama di wilayah ekonomi.
Saya sendiri belum
menemukan resep jitunya, tetapi saya yakin bahwa ini adalah pertanyaan yang
juga ada di benak para pemimpin negara dan para pembela HAM di setiap negara
anggota ASEAN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar