Media dan Konspirasi
Irwanto ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS, 27
Februari 2016
Sungguh menarik
mengamati tren pemberitaan di media dan kaitannya dengan gejolak masyarakat. Bukan
saat ini saja, sudah lama media di negeri ini dimiliki oleh politisi dan
dijadikan bagian dari kiprah politik pemiliknya. Akibatnya, banyak sekali
kepentingan publik yang tidak terkait dengan urusan politik jadi dirugikan.
Provokasi media?
Ada dua contoh dalam tulisan ini. Pertama,
kasus JIS (April 2014) yang berkaitan dengan kejahatan pedofilia. Sebelum
kasus itu terungkap, partai yang berkuasa dirundung berbagai peristiwa
memalukan yang berpotensi merambah istana. Kasus JIS dan kekerasan seksual
adalah isu sempurna untuk mengalihkan perhatian publik dari skandal politik.
Apalagi, pada 5 Mei 2014 terungkap kasus kekerasan seksual di Sukabumi
terhadap 110 anak. Semakin sempurnalah kesempatan melencengkan persoalan.
Media yang membuat
berita provokatif tentang JIS dan Sukabumi ditanggapi secara emosional oleh
publik. Semua kemarahan dan frustrasi publik karena merasa dikhianati partai
politik yang pernah memberikan harapan tertumpah ruah pada institusi
"asing" yang dianggap mewakili komunitas kelas atas. Sebaliknya,
kasus Sukabumi luput dari perhatian.
Tanggal 8 Mei 2014,
Presiden menyelenggarakan rapat kabinet terbatas dengan mengundang aktivis
dan ahli perlindungan anak sekaligus mengesahkan Gerakan Nasional Anti
Kekerasan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA). Maka pimpinan nasional muncul
sebagai figur "pemimpin yang peduli" dan menarik simpati publik.
Contoh berikutnya
adalah hebohnya kasus ketua DPR dan Freeport akhir tahun lalu. Kasus ini
membuat publik merasa muak dengan politik dalam negeri. Saat seru-serunya
perhatian publik pada kasus tersebut, muncul pemberitaan tentang penyebab
terbunuhnya mahasiswa Universitas Indonesia yang diduga karena hubungan
asmara lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT). Isu makin mencuat
ketika ada lagi berita pembunuhan wanita bernuansa LGBT.
Kasus pembunuhan
seperti ini sudah berulang kali menjadi berita, tetapi tidak pernah
ditanggapi media sehebat ini dan memunculkan gerakan anti LGBT yang
dikonstruksikan sebagai kekuatan internasional untuk menghancurkan bangsa
Indonesia. Apa pun motif di balik pemberitaan itu, tujuan mereka tercapai.
Untuk kesekian kalinya media berhasil mengaduk-aduk emosi masyarakat dan
nyaris menciptakan ketegangan yang dapat berujung pelanggaran HAM.
Tentu saja
menghubung-hubungkan peristiwa seperti di atas perlu dukungan fakta lebih
dalam untuk membuktikan benar tidaknya ada rekayasa media untuk pembelokan
perhatian publik. Namun, hal ini bukan mustahil terjadi.
Pelengkap penderita
Masyarakat Indonesia
sudah lama sekali hidup bersama fenomena LGBT tanpa masalah, bahkan mau
mengeluarkan uang untuk menikmatinya. Lebih dari 40 persen industri enter(info)tainment memanfaatkan
fenomena itu untuk mengeruk keuntungan. Tipisnya batasan jenis kelamin dalam
gaya hidup dan fashion juga masih kita nikmati sampai hari ini.
Pengaruh mereka dalam
budaya tradisional baik dalam seni pertunjukan (ludruk, warok) maupun
komunitas adat (Bissu di Sulawesi Selatan) tidak pernah ada masalah dan
bahkan diapresiasi. Selama ini, fenomena LBGT dalam kehidupan masyarakat
tidak menimbulkan gejolak berarti. Mengapa tiba-tiba persoalan ini
dipertanyakan dan didorong ke ranah moral dan agama?
Jika LGBT hanya
didorong masuk ke dalam perdebatan moral, persoalan HAM akan muncul dan mudah
diselesaikan. Namun, jika basis moralnya adalah agama, maka pertimbangan
substansi menjadi pertimbangan terakhir. Kita ingat betapa Galileo Galilei
(1564-1642) dihukum dan dikucilkan Gereja Katolik karena membela pandangan
heliosentrisme Copernicus (1473-1543). Galileo melalui pengamatan dan
perhitungan matematikanya menyatakan bahwa Bumi-lah yang berputar
mengelilingi Matahari, bukan sebaliknya seperti dipercaya dalam Alkitab. Jika
Gereja Katolik menerima pandangan Copernicus dan Galieo, dikhawatirkan umat
bisa habis. Jadi inilah alasannya, bukan persoalan benar atau salah empirik.
Demikian juga
persoalan LGBT. Perdebatan empirik tak akan pernah ada ujungnya karena
masing-masing kubu akan mencari bukti-bukti empirik pendukung. Jika ujungnya
adalah agama, seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini, maka kepentingan umat
menjadi lebih menonjol.
Manuver merugikan
Jika asumsi saya cukup
meyakinkan pembaca, saya sangat menyesalkan manuver ini. Dalam setahun
terakhir, tokoh-tokoh masyarakat melemparkan teori konspirasi penghancuran
bangsa oleh kekuatan asing yang dikemas bukan untuk penyelamatan bangsa,
tetapi untuk tujuan-tujuan pragmatis. Penggalangan opini untuk pendongkrakan
citra politik, keluar dari kemelut politik yang memalukan, rating program,
dan lain-lain. Semua ini mempunyai dampak buruk luar biasa.
Teori konspirasi pada
hakikatnya menyatakan bahwa ada kekuatan-kekuatan eksternal yang sulit
diketahui aktor-aktornya secara pasti, yang bekerja sama untuk menghancurkan
bangsa Indonesia melalui narkotika, terorisme, dan gaya hidup LGBT. Ada tiga
dampak buruk dari manuver ini.
Pertama, bangsa
Indonesia dikonstruksikan sebagai bangsa lemah yang mudah dipengaruhi
berbagai kekuatan jahat dari luar. Misalnya, karena Mahkamah Agung AS
mengesahkan perkawinan sejenis, keputusan itu seolah-olah akan berdampak
katastropik pada kehidupan perkawinan di Indonesia. Jauh panggang dari api.
Kedua, dalam teori
konspirasi, kekuatan ataupun pihak yang bermotif jahat dan berhasrat
menghancurkan bangsa ada di "luar" negara ini. Akibatnya, publik
sulit untuk diajak melakukan due diligent merefleksikan faktor-faktor
intern-domestik yang merongrong bangsa. Korupnya sektor hukum, agama,
pendidikan, dan politik adalah pembunuh utama bangsa.
Sejarah panjang
Dalam hal narkotika,
sejarah mencatat bahwa masalah narkotika sudah dialami negeri ini sejak
ditulis Empu Prapanca di Negerakertagama (tahun 689), zaman kolonialisme dan
perang candu, lalu zaman hippies tahun 1970-an (Musto, 1999). Bahwa ada unsur
budaya global perlu diakui, tetapi seharusnya diakui juga unsur organized
crime lokal, kebutuhan lokal, serta bahan lokal yang juga berkontribusi.
Kematian terkait
narkoba bukan hanya karena konsumsi, tetapi juga karena kurangnya kemauan
politik dan investasi publik pada program rehabilitasi. Sama halnya dengan
terorisme, keadilan sosial masih menjadi pekerjaan rumah besar, tak perlu
dikaitkan dengan elemen impor.
Ketiga, teori konspirasi menciptakan
ketakutan dan fobia terhadap segala sesuatu yang asing. Kedua hal itu akan
mendorong masyarakat melakukan tindakan diskriminasi, pengucilan, bahkan
kekerasan terhadap ekspresi yang berbeda. Ini pernah terjadi pada perempuan
berhijab pada 1986-1987-an di Indonesia.
Untuk mendorong bangsa
ini ke masa depan dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain, kita harus mampu
menyikapi manuver-manuver politik lewat media yang membodohkan masyarakat.
Media yang tidak dikuasai kekuatan politik harus bahu-membahu dengan
masyarakat mengembangkan optimisme, sikap kritis, dan empati dalam membangun
lingkungan yang mendukung perkembangan manusia dengan keberagaman mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar