Problematika Blokir Internet
Wahyudi Djafar ;
Peneliti Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (Elsam) Jakarta
|
KOMPAS, 26
Februari 2016
Dalam beberapa waktu
terakhir, isu mengenai pemblokiran konten internet kembali menyeruak ke
publik. Keriuhan ini terutama pasca penutupan sejumlah situs yang kontennya
dinilai mengandung muatan radikalisme/terorisme, serta rencana Kementerian
Komunikasi dan Informatika untuk menutup beberapa layanan media sosial,
termasuk layanan video, karena dinilai tidak bersih dari muatan pornografi.
Tindakan pemblokiran
konten internet memang selalu menuai pro dan kontra. Pihak yang mendukung
sering kali mengedepankan alasan moralitas, agama, dan keamanan nasional.
Adapun yang menolak lebih menekankan argumentasi lemahnya formulasi hukum
yang ada, serta praktik pemblokiran yang secara teknis telah cacat di awal
karena dampaknya yang lebih luas daripada sasaran yang hendak dituju.
Maksud dan cakupan
Merujuk pada laporan
Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat (2012),
disebutkan bahwa pemblokiran adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah
konten tertentu mencapai pengguna akhir. Tindakan ini meliputi pencegahan
pengguna dalam mengakses laman, internet
protocol (IP), alamat, ekstensi nama domain, penutupan laman dari server
yang mereka tempati, teknologi filter untuk membuang halaman dengan kata
kunci tertentu, atau mengeblok suatu konten agar tidak bisa muncul.
Secara umum dalam
praktiknya di dunia, menurut Faris dan Villeneuve (2008), setidaknya dikenal
empat dimensi dalam pemblokiran konten. Pertama, dimensi politik yang berkait
erat dengan kepentingan politik/pemerintah suatu negara. Kedua, dimensi
sosial yang biasanya bersinggungan dengan moralitas dan agama. Ketiga,
dimensi keamanan/konflik yang menitikberatkan pada kepentingan penegakan
hukum dan keamanan. Keempat, dimensi ekonomi yang menonjolkan kepentingan
bisnis.
Pemblokiran konten
sendiri sesungguhnya merupakan salah satu metode pengaturan internet dengan
memanfaatkan arsitektur teknologi. Metode ini dibuat agar konten-konten
"terlarang" tak dapat diakses publik.
Deibert dan Villeneuve (2004) menjelaskan, istilah
blokir pada dasarnya membicarakan teknik kontrol terhadap akses informasi di
internet, yang dalam pelaksanannya dibagi menjadi teknik alamat dan teknik
analisis isi. Teknik alamat banyak dipraktikkan di negara otoritarian, dengan
cara pemblokiran di level gateway internasional, melalui pembatasan akses
dari dalam negeri terhadap laman yang dianggap ilegal. Sementara teknik analisis
isi menekankan pada teknik mengontrol akses ke informasi dengan berbasis pada
konten, seperti dimasukkannya kata kunci tertentu di laman situs atau alamat
URL.
Secara detail, dalam
praktiknya sampai dengan hari ini, Murdoch dan Anderson (2008) mengidentifikasi
sedikitnya ada 10 metode dalam pemblokiran internet, termasuk di dalamnya
dengan cara taktik teknologi ataupun rekayasa sosial, seperti warung internet
tanpa sekat.
Aturan di Indonesia
Dalam banyak kasus,
pembatasan dan sensor konten internet telah dilakukan negara tanpa dasar
hukum. Atau, meski berdasarkan hukum, tetapi aturannya terlalu luas dan
ambigu sehingga bertentangan dengan prinsip prediktabilitas dan keterbukaan.
Situasi seperti ini juga dialami Indonesia yang tidak memiliki prosedur yang
jelas dan tetap untuk melakukan pemblokiran konten internet.
Setidaknya terdapat
tiga peraturan perundang-undangan kita yang materinya mengatur mengenai
konten internet. Pertama, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), khususnya aturan mengenai konten yang dilarang
(kesusilaan, perjudian, penghinaan, pemerasan, kabar bohong, penyebaran
kebencian, dan ancaman kekerasan). Kedua, UU 44/2008 tentang Pornografi, yang
memberikan wewenang bagi pemerintah (termasuk pemerintah daerah) untuk
melakukan pemblokiran konten pornografi di internet. Ketiga, UU 28/2014
tentang Hak Cipta, yang memberikan otoritas bagi pemerintah untuk memblokir
laman yang melanggar hak cipta.
Masalahnya, ketentuan
UU ITE dan UU Pornografi tidak mengatur lebih jauh prosedur dilakukannya
pemblokiran, termasuk mekanisme komplain dan pemulihannya. Sementara UU Hak
Cipta menyebutkan, setiap pemblokiran yang akan dilakukan, prosedurnya harus
melalui penetapan pengadilan.
Merespons kekosongan
aturan mengenai prosedur pemblokiran, Kementerian Kominfo kemudian
mengeluarkan Peraturan Menteri Kominfo No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan
Situs-situs Internet Bermuatan Negatif. Permen ini mewajibkan seluruh
penyedia layanan internet (ISP) di Indonesia untuk memblokir konten yang
masuk daftar hitam Trust + (positive), sebuah database yang dikelola Kominfo.
Selain mengacu pada database Trust +, ISP dan masyarakat juga secara mandiri
diberikan ruang untuk melakukan pemblokiran. Tegasnya, secara prosedural, aturan
di dalam Permen No 19/2014 berbeda dengan UU Hak Cipta sehingga ada
ketidakpastian hukum dalam prosedur pemblokiran konten internet di Indonesia.
Keluarnya Permen
19/2014 itu sendiri telah menuai banyak polemik karena dinilai tidak mampu
menjawab persoalan kesewenang-wenangan dalam pemblokiran konten internet.
Selain implementasinya yang sering kali bermasalah dan tidak menyediakan
mekanisme yang transparan dan akuntabel, bentuk aturannya sendiri dinilai
tidak legitimate. Pemblokiran konten merupakan bagian dari pembatasan hak
(hak atas informasi, berpendapat, dan ekspresi), oleh karena itu berdasar
Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 dan hukum internasional hak asasi manusia,
ketentuan pembatasnya-termasuk prosedurnya-mesti diatur dalam format
undang-undang.
Perbaiki mekanisme
Selain mengedepankan
pendidikan publik dalam pemanfaatan teknologi internet, ruang untuk
memperbaiki pengaturan mengenai pemblokiran konten sebenarnya saat ini
terbuka luas, bersamaan dengan proses amendemen UU ITE yang tengah dibahas
bersama antara DPR dan pemerintah. Semestinya, kesempatan ini bisa digunakan
untuk menambahkan satu bab khusus dalam UU ITE tentang penanganan konten
internet.
Bab tersebut materinya
dapat mengatur mengenai: (i) jenis/kategori konten yang dapat diblokir; (ii)
prosedur dilakukannya pemblokiran yang sejalan dengan prinsip pembatasan hak
asasi manusia; (iii) badan independen yang diberikan wewenang untuk melakukan
sehingga memastikan adanya due process of law; serta (iv) pemulihan yang
disediakan jika terjadi kesalahan.
Dengan bersandar pada
alasan ketertiban umum, moral/kesehatan publik, keamanan nasional, serta hak
dan reputasi orang lain, pemblokiran konten internet dapat dilakukan. Namun,
prosesnya harus sepenuhnya mengacu pada prinsip pembatasan hak, yakni: diatur
oleh hukum, untuk tujuan yang sah, dan dilakukan secara proporsional.
Prinsip ini
dimaksudkan untuk memastikan tak dilanggarnya hak asasi warga negara. Bangsa
ini tentunya tidak ingin kembali jadi bangsa tertutup, yang secara ketat dan
sewenang-wenang mengatur informasi yang dapat diakses oleh warganya. Internet
sendiri bukanlah suatu instrumen kejahatan yang harus dikhawatirkan,
melainkan sarana yang melahirkan banyak inovasi dan kesempatan. Oleh karena
itu, negara harus menyiapkan formulasi regulasi yang tepat untuk mengatur
pemanfaatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar