Koran Membunuh Koran?
Sahala Tua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad;
Mantan Wartawan (1978–2002
|
KORAN SINDO, 11
Februari 2016
Dalam rangka
memperingati Hari Pers Nasional, saya teringat sebuah judul; ”Koran Membunuh
Koran”. Judul tajuk KORAN SINDO edisi Rabu, 16/12/2015 ini sangat provokatif.
Rupanya editorial
tersebut merupakan ulasan terhadap berita halaman muka KORAN SINDO sehari
sebelumnya yang berjudul, ”Alibaba Akuisisi Media Hong Kong”. Berita tersebut
sungguh mengejutkan dan mengherankan, tetapi sekaligus menggembirakan kita di
Indonesia.
Mengejutkan dan
mengherankan, bahkan terkesan kontradiktif, mungkin ada pula yang menyebutnya
kebodohan karena pada saat banyak media massa cetak kelas raksasa yang telah
berusia lebih dari 100 tahun di Amerika Serikat dan Eropa Barat mati satu
demi satu, ada pengusaha Tiongkok yang membeli sebuah koran harian dengan
harga yang sangat fantastis.
Seperti kerap
diberitakan, sudah cukup banyak media massa cetak besar, berkelas
internasional, dan berusia sangat tua di negara-negara industri maju (bukan
di Asia) bangkrut total gara-gara kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) yang sangat canggih. Sebagian media massa tersohor itu
bermetamorfosis menjadi media digital atau dalam jaringan (daring).
Dalam berita langsung
KORAN SINDO itu diungkapkan, Jack Ma, pendiri dan Direktur Utama Alibaba,
mengakuisisi (membeli) kontan koran ternama berbahasa Inggris yang berpangkalan
di Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), seharga 2.060.600.000 dolar
HongKong. Ini setara dengan 266 juta dolar AS atau kurang-lebih Rp3,75
triliun.
Bayangkan! Koran
internasional yang terbit sejak tahun 1903 itu satu induk perusahaan (holding company) dengan
majalah-majalah internasional tersohor, Esquire, Elle, Cosmopolitan, dan
Harpers Bazaar. Sayang, dalam berita bagus itu tak ada kutipan ucapan Jack Ma
sehingga kita tak mengetahui ada apa dibalik kenekatannya tersebut. Sebagai
pengusaha senior kaliber internasional pastilah ia melakukan hal itu dengan
penuh perhitungan bisnis.
Berita itu membesarkan
hati kita karena peristiwa yang terkesan sensasional itu dapat meyakinkan
para pengusaha media massa cetak di tanah air, rupanya bisnis media
konvensional ini masih prospektif. Memang dalam pertemuan tahunan para
pengusaha media massa cetak Asia selama ini juga selalu terungkap, tiras
media cetak di berbagai negara industri maju, terutama Jepang dan Korea
Selatan justru meningkat.
Rupanya serbuan TIK
canggih tak mematikan minat warga masyarakat negaranegara maju di Asia untuk
membaca media massa cetak. Di Indonesia beberapa media massa cetak yang sudah
tua bangkrut total. Contohnya koran harian sore yang dahulu sangat terkenal,
Sinar Harapan Jakarta, yang berhenti terbit sejak 1 Januari lalu. Ada pula
sebagian media cetak konvensional beralih kemedia daring.
Sebagian media massa
cetak besar mengalami penurunan tiras yang sangat berarti. Akan tetapi
terjadi pula sebaliknya, beberapa koran harian yang berusia relatif muda
(yang tergabung dalam kelompok perusahaan media ternama) justru tirasnya
naik. Mungkin karena harga korannya sangat murah (hanya Rp2.000-
Rp3.000/eksemplar). Korankoran murah namun berkualitas bagus itu ternyata
menggeser (merebut) pasar koran-koran besar yang sudah tua, terutama di pasar
eceran.
Pengamatan kita
sehari-hari ini membantah anggapan banyak orang selama ini bahwa media
daring, koran, tabloid, dan majalah elektronik telah membunuh media massa
cetak konvensional. Ada pula satu fakta menarik. Ini aneh namun nyata.
Majalah berita mingguan daring Detik Jakarta ternyata beberapa waktu lalu
mati juga. Entah mengapa. Ini membuktikan, media (majalah) daring ternyata
bisa mati pula.
Padahal ia bernaung di
bawah kelompok perusahaan Trans milik Chairul Tanjung (pengusaha kaya-raya,
masuk 10 besar terkaya di Indonesia). Terbukti majalah daring Detik tak mampu
menggeser, apalagi membunuh majalah berita mingguan cetak konvensional, yakni
Tempo, Gatra, dan beberapa majalah berita lainnya. Di bagian akhir ulasannya,
penulis tajuk koran ini menulis begini, ”Lalu, apakah benar-benar media
digital membunuh koran di Indonesia?
Tidak. Yang membunuh
koran adalah koran itu sendiri. Tentu koran harus belajar pada peristiwa 1900
dan 1940 ketika diserang radio dan televisi. Apa yang membuat koran tetap
eksis saat itu harus dicontoh oleh koran saat ini. Salah satunya adalah
bagaimana melakukan perubahan gaya pemberitaan dan tampilan. Jika memang
eranya digital, tentu artikel dan tampilan juga harus menyelaraskan dengan
ciri media digital.
Sudah banyak media
cetak yang mengubah tampilan dari print ke digital. Namun apakah sekadar itu,
lalu koran akan tetap eksis di era digital? Tentu tidak. Pola pikir para
pekerja media konvensional juga harus digital pula. Jadi, bukan media digital
yang membunuh koran, namun koran itu sendiri, karena tidak mau menyesuaikan
dengan kelebihan digital.”
Jurnalisme Mutilasi
Media daring terkenal
dengan kecepatannya, hampir sama cepatnya dengan radio dan televisi siaran
yang bersiaran langsung. Aktualitas menjadi nilai berita terpenting dalam
media daring. Oleh karenanya, berita-beritanya sering sekali jauh dari
lengkap dan utuh. Atas nama kecepatan (aktualitas) wartawan media daring
sering sekali tidak memverifikasi atau mengecek kebenaran suatu fakta yang diterima
atau diinderanya.
Fakta sebuah peristiwa
mereka beritakan sepotong-sepotong. Bahkan hasil sebuah wawancara dengan
seorang narasumber (ahli, misalnya) pun sengaja dibuat lima berita yang
disiarkan dalam waktu yang berbeda-beda. Ibarat berita pembunuhan sadistis
seseorang, misalnya dimutilasi, yang pertama diberitakan hanya kepalanya.
Beberapa waktu kemudian diberitakan tangannya.
Berita kemudian
tentang bagian dada dan perutnya. Berikutnya berita tentang kaki kirinya.
Terakhir berita tentang kaki kanannya. Ini namanya jurnalisme mutilasi. Media
daring tak mengenal periodisitas, juga tak punya tenggat waktu. Kalaupun ada,
setiap waktu adalah tenggat waktu. Inilah kekuatan dan sekaligus kelemahan
jurnalisme yang dianut media daring. Kita yakin tak semua pengakses media
daring membaca semua berita bersambung tersebut.
Akibatnya, pembaca
menyimpulkan sebuah peristiwa berdasarkan sepotong atau dua potong berita
yang baru dibacanya di media daring. Berita yang tak lengkap dan utuh menjadi
modal mereka dalam waktu singkat menentukan pendapat, sikap, bahkan keputusan
(tindakan). Akibatnya, mereka bisa salah menyimpulkan sebuah peristiwa atau
fakta. Mereka juga bisa salah menentukan pendapat atau sikap. Celakanya lagi
bila mereka salah mengambil tindakan.
Media cetak
konvensional mampu bertahan hidup, bahkan bisa lebih maju, hanya bila ia
sanggup mempertahankan ciri khas dan keunggulannya yakni eksklusivisme,
investigasi, kedalaman, komprehensif, independensi, keseimbangan, militansi,
dan tidak partisan. Para wartawan media cetak konvensional semestinya tidak
menerapkan jurnalisme kloning (saling berbagai berita yang telah siap hidang
atau saling menjiplak berita).
Mereka seharusnya
menjunjung tinggi eksklusivisme, berusaha keras menyajikan berita yang hanya
ada di medianya. Salah satu modal utama untuk ini adalah rajin dan berani
melakukan liputan penyelisikan (investigasi), termasuk penyamaran. Mereka
harus militan (gigih) dalam mengungkapkan berbagai fakta yang dibutuhkan
khalayak pembaca medianya. Kita akan tetap mencari, bahkan memburu, media
cetak konvensional bila ia konsisten menyajikan berita-berita yang
komprehensif (lengkap) dan mendalam.
Kita akan tetap
memercayai media cetak konvensional bila ia tidak bersikap partisan. Segenap
pengelola dan wartawannya mesti bersikap independen dan netral, terutama
dalam peliputan dan pemberitaan konflik (dalam arti luas termasuk persaingan
bisnis, persaingan dalam dunia olahraga, dan sebagainya).
Media harus bersikap
adil terhadap semua pihak yang berkonflik dengan memberi mereka ruang/ waktu
yang seimbang secara kuantitatif dan kualitatif. Dengan menerapkan jurnalisme
yang menerapkan berbagai prinsip pokok ini, kita sangat yakin, media cetak
konvensional tidak akan pernah mati. Media yang berbeda-beda jenis bukan
saling membunuh.
Semua jenis media
bersifat komplementer (saling melengkapi). Sejarah media di dunia dari dahulu
hingga kini telah membuktikan ini. Selamat
Hari Pers Nasional! Jayalah pers Indonesia! Terhormatlah profesi wartawan!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar