Darurat Ketimpangan Ekonomi
Mohamad Sohibul Iman ; Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
|
KOMPAS, 16
Februari 2016
Di suatu pagi tahun
1921, Sukarno muda-yang saat itu masih kuliah-tiba-tiba ingin berkeliling
naik sepeda menyusuri daerah selatan Kota Bandung. Dalam perjalanannya,
Proklamator itu bertemu dengan seorang petani.
Terjadilah dialog
antara keduanya, seperti tertuang dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat-nya Cindy Adams.
"Siapa pemilik
tanah ini?" tanya Bung Karno. "Saya Tuan," jawab petani.
"Apakah kau miliki ini bersama-sama dengan orang lain?" "Tidak
Tuan. Saya memilikinya sendiri." "Apakah kau membelinya?"
"Tidak Tuan, saya dapatkan dari warisan orang- tua." "Hasil
pertanianmu untuk siapa?" "Untuk saya Tuan."
"Apakah cukup
untuk kebutuhanmu?" Dengan mengangkat bahu sebagai tanda kecewa, sang
petani menjawab, "Bagaimana mungkin sawah yang begini sempit lahannya
bisa mencukupi kebutuhan istri dan empat orang anak?" Di akhir dialog,
Bung Karno menanyakan siapa namanya, kemudian dijawab, "Marhaen!"
Sejak saat itulah Bung Karno menjadikan Marhaenisme sebagai ideologi
perjuangannya.
Cerita tentang Marhaen
ternyata masih relevan dengan kondisi kekinian. Jika saja Bung Karno masih
hidup, mungkin wajahnya murung meratapi nasib rakyatnya yang masih dalam
kubangan kemiskinan meski sudah 70 tahun merdeka. Yang cukup menyedihkan,
ketimpangan ekonomi justru kian menjadi-jadi.
Coba kita lihat
bagaimana indeks ketimpangan distribusi pendapatan melaju pesat. Di tahun
2000, rasio gini kita masih di angka 0,30, tetapi pada 2014 sudah menembus
0,41. Di daerah perkotaan, rasio gini bahkan mencapai 0,47. Secara khusus
Bank Dunia pada 2015 mencatat laju peningkatan ketimpangan ekonomi di
Indonesia termasuk paling tinggi di Asia Timur.
Dalam hal distribusi
aset lebih memprihatinkan. Rasio gini penguasaan lahan mencapai angka 0,72.
Angka ini lebih tinggi daripada rasio gini pendapatan. Badan Pertanahan
Nasional bahkan mencatat, 56 persen aset berupa tanah, properti, dan
perkebunan hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 persen penduduk. Ironis!
Agenda nasional
Mengatasi darurat
ketimpangan ekonomi harus jadi agenda nasional. Pemerintah dan seluruh elite
negeri ini tidak boleh menutup mata. Ketimpangan ekonomi yang kronis akan
jadi faktor pendorong revolusi sosial, politik, dan krisis ekonomi.
Kita harus belajar
dari krisis Musim Semi Arab di Timur Tengah dan krisis keuangan global 2008.
Kedua peristiwa itu contoh gagalnya negara-negara mengatasi ketimpangan
ekonomi.
Ketimpangan ekonomi
juga pemicu meledaknya krisis keuangan global terburuk dalam sejarah
perekonomian dunia pasca depresi besar 1930. Adalah Raghuram Rajan dari
Universitas Chicago dan mantan Kepala Ekonom IMF yang pertama kali
mengutarakan analisis tajamnya bahwa krisis keuangan global 2008 dipicu
tingginya ketimpangan ekonomi di AS. Ketimpangan ini mendorong Pemerintah AS
bersama Kongres, Bank Sentral AS, lembaga rating, dan bankir investasi secara
gegabah berbondong-bondong menawarkan skema investasi properti berupa subprime mortgage, yang ternyata jadi
bom waktu jatuhnya pasar keuangan AS dan negara maju lainnya.
Senada dengan Rajan,
Joseph Stiglitz, ekonom peraih Nobel Ekonomi dari Universitas Columbia,
menggarisbawahi bahwa ketimpangan ekonomi tak hanya merusak sistem keuangan
AS dan negara maju, juga melumpuhkan institusi-institusi demokrasi, seperti
partai politik, legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Darurat ketimpangan
ekonomi menyebabkan demokrasi dibajak oleh kaum oligarki. Mereka akan membuat
kebijakan yang hanya menguntungkan dan melanggengkan kekuasaan serta
kepentingan ekonomi mereka dan kroni-kroninya. Selain itu, tingginya
ketimpangan ekonomi akan menyebabkan masyarakat mengalami ketidakpercayaan
baik secara vertikal maupun horizontal. Ada kecemburuan antarsesama dan
kemarahan kepada elitenya karena telah menyuguhkan dunia yang timpang. Di
saat yang sama, masyarakat yang terbelah akan mengancam kohesi sosial dan
menghancurkan sendi-sendi bangunan kepercayaan sebuah negara-bangsa. Sebab,
darurat ketimpangan akan menciptakan darurat rasa ketidakadilan.
Transformasi struktural
Ketimpangan ekonomi
yang terjadi di republik ini adalah masalah struktural. Ini buah dari
kebijakan negara yang salah arah. Perlu ada transformasi struktural untuk
memperbaikinya.
Transformasi
struktural adalah kebijakan keberpihakan dari negara untuk menciptakan
struktur perekonomian yang memberikan rasa keadilan dan kesetaraan. Keadilan
dan kesetaraan tersebut tecermin dari empat hal: distribusi pendapatan,
kekayaan/aset, kesempatan, dan kewilayahan yang berkeadilan.
Siapa yang harus
memulai terlebih dulu? Pemerintah!
Kebijakan redistribusi
aset seperti reforma agraria harus tegas memihak kepentingan publik, terutama
kalangan rumah tangga petani yang termarjinalkan. Pemerintah harus berani
memberikan batasan penguasaan aset dan sumber daya perekonomian nasional.
Sangat tidak bijak jika para pemodal mengeksploitasi aset-aset republik ini
demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang semu. Tidak ada guna pertumbuhan yang
tinggi jika yang menikmati kue perekonomian nasional hanya kalangan the haves dan meninggalkan kelompok
the have nots.
Dari sisi kebijakan
industrial, pemerintah harus menyadari bahwa kita telah mengalami
deindustrialisasi prematur. Struktur ekonomi terlalu cepat masuk sektor
non-tradable atau jasa. Sementara struktur industri manufaktur kita mengalami
penurunan baik secara produktivitas, daya saing maupun nilai tambah. Perlu
ada upaya melakukan pendalaman struktur industri kita. Indonesia sudah
saatnya jadi pusat mata rantai ekonomi global.
Dari sisi kebijakan
fiskal dan moneter, harus dibuat semacam big push policy yang bisa
menggerakkan sektor-sektor informal produktif dari masyarakat menengah-bawah
agar terakselerasi kemampuannya dan bisa naik kelas. Desain sistem insentif
lembaga keuangan harus berpihak pada mayoritas masyarakat menengah-bawah yang
justru kurang tersentuh. Sekitar 60 persen masyarakat kita bekerja di sektor
informal. Karena itu, transformasi struktural harus mampu mengubah
informalitas ekonomi jadi formalitas ekonomi. Pemerintah harus lebih
mengutamakan investasi pada sisi intangible asset dibandingkan tangible
asset. Kebijakan anggaran pemerintah harus berorientasi pembangunan jangka
panjang dengan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Transformasi
struktural juga harus bisa mengubah perekonomian berbiaya mahal jadi efisien.
Dengan begitu, negara akan mampu menciptakan ekosistem perekonomian nasional
yang bisa menciptakan daya inovasi dan melahirkan apa yang disebut grassroots innovator.
Transformasi
struktural juga diharapkan mampu membangun perekonomian yang tidak hanya di
kota, tetapi juga mampu menstimulus pertumbuhan dari pinggiran, seperti daerah
pedesaan dan sumber daya maritim kita.
Penulis yakin,
kepemimpinan yang tegas dengan visi yang jelas akan mampu mendobrak kusutnya
darurat ketimpangan ekonomi ini. Dibutuhkan nyali yang kuat dan nurani yang
bersih untuk menjalaninya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar