Kerja Wartawan Gawat Sekali
Eddy Koko ; Mantan Pemred Radio Sindotrijaya
|
KORAN SINDO, 10
Februari 2016
Bung Karno pun bicara
dengan lantang,”Saudara-saudara, saudara punya pekerjaan adalah gawat sekali.
Gawat!” Begitu diingatkan Presiden Sukarno kepada wartawan di Istana Bogor,
20 November 1965, yang terangkum dalam Buku Revolusi Belum Selesai.
Jadi, kerja wartawan
tidak main-main dan tidak untuk mainan. Jika Bung Karno mengingatkan bahwa
pekerjaan wartawan gawat, bahkan gawat sekali, menjadi wartawan tidaklah
sembarangan. Masih kata si Bung, taraf sesuatu bangsa itu dilihat dari mereka
punya persuratkabaran. Bung Karno mengatakan itu pada 1965. Sekarang dunia
persuratkabaran atau media makin maju.
Saking majunya sampai
banyak yang kebablasan. ”Kalau sudah masuk surat kabar, orang menilai, sudah
nyata benar. Sudah pasti benar. Jadi jangan main hantam kromo, asal menulis
atau menyiarkan. Inilah kegawatan pekerjaan saudara. Jadi jangan sampai
wartawan menerbitkan satu perkataan pun yang tidak berisi kebenaran,” tegas
Bung Karno. Kualitas suatu media tentu tidak luput dari kualitas wartawannya.
Menjadi wartawan bukan
asal bisa mencatat dan mengetik kemudian mengirim tulisannya ke redaksi.
Wartawan harus memiliki pemahaman terhadap setiap isu yang sedang berkembang
kemudian melakukan pendalaman atau investigasi. Wartawan harus paham bahwa
tulisannya dibaca masyarakat maka berita yang disampaikan harus bisa
dipertanggungjawabkan, berdasarkan fakta lapangan, berimbang, dan bersumber
dari pihak yang kompeten.
Masyarakat
mempercayakan kepada wartawan terhadap berita yang mereka perlukan. Ketika
banyak pihak menjadikan sebuah media sebagai rujukan dalam mengambil sikap,
itulah bentuk kepercayaan publik. Setiap zaman memang berbeda dari isi dan
caranya. Zaman baru pasti lebih modern sehingga relatif lebih lancar. Jika
dulu belum ada radio, televisi, internet kemudian menjadi ada sebagai sebuah
kemajuan zaman.
Tetapi, zaman dulu
tetap menjadi pelajaran mereka yang hidup pada masa kemudian. Begitu juga
praktiknya menjadi wartawan pada zaman di mana belum ada internet tetap
menjadi contoh generasi baru. Wartawan senior mungkin akan mengatakan,
wartawan sekarang enak karena berbagai fasilitas dan kemudahan ada di
manamana. Sementara dahulu, untuk mengirim berita ke redaksi diperlukan
perjuangan waktu dan kesabaran.
Dahulu, setiap
wartawan harus berpikir mencari cara bagaimana artikelnya bisa terkirim ke
ruang redaksi dengan tepat waktu agar bisa dicetak dan diterbitkan. Ketika
laptop dan warung internet belum ada, wartawan menenteng mesin ketik yang
lumayan besar dan berat adalah hal biasa. Bagaimana cara mengirim berita dari
daerah yang belum ada kantor telepon atau kantor telegram (telex) sementara
berita harus naik cetak malam ini?
Kegesitan, kejelian,
dan kecerdasan setiap wartawan masa itu betul-betul diperlukan setiap waktu.
Tetapi, keterbatasan fasilitas tidak mengurangi kualitas berita yang
dilaporkan. Berita bencana alam di daerah, pencarian jatuhnya pesawat
terbang, dan peristiwa lainnya yang terjadi jauh dari kota, bahkan di hutan,
tetap bisa terbit dan dibaca masyarakat.
Dulu dan Sekarang
Kritik perlu disampaikan
bahwa dalam hal tertentu, banyak wartawan masa kini kualitasnya menurun jika
dikaitkan dengan banyaknya fasilitas dan kemudahan dalam mengumpulkan bahan
berita. Termasuk cara mengirim materi berita ke ruang redaksi yang begitu
mudah dan cepat. Dengan berlimpahnya informasi dan kemudahan menjalankan
profesi wartawan, seharusnya berita yang disajikan dapat lebih baik lagi atau
lebih dalam penyajiannya.
Yang terjadi banyak
disajikan dalam bentuk informasi, mengabaikan kaidah jurnalistik, dan kurang berimbang.
Banyak ditemukan antara media satu dan lainnya menerbitkan materi berita yang
sama tanpa ada kelebihan. Terjadi kecenderungan para wartawan mencari berita
bersama- sama dengan narasumber yang sama kemudian, banyak terjadi pada media
online, mengirim berita ke redaksi pada saat yang sama juga. Alhasil, media
satu dan lainnya menjadi mirip.
Memburu sumber berita
dengan cara berkelompok bukan sesuatu yang salah. Tetapi, menyajikan hasil
buruannya haruslah dengan bumbu yang berbeda agar betul-betul memenuhi selera
pembaca dan memberi pengetahuan baru. Bagaimana cara mendapatkan bumbu yang
berbeda? Itulah tugas wartawan dengan kejelian, kecerdasan, kecerdikan, dan
kadang perlu sedikit menabrak aturan untuk mendapatkan bumbu baru dan beda.
Maka itu, tidak ada
cara lain, seorang wartawan dituntut harus terus-menerus belajar. Jika malas
belajar, meminjam istilah Bung Karno, bisa gawat akibatnya. Dibandingkan
wartawan tempo doeloe, wartawan masa kini jauh lebih baik dalam hal
pendidikan yang mayoritas lulusan perguruan tinggi. Namun, pada zaman di mana
media begitu banyak dan persaingan cukup ketat tidak bisa dipungkiri banyak
wartawan menabrak etika jurnalisme.
Atas alasan berita
harus segera disiarkan, khawatir media pesaing lebih dahulu terbit, media
sosial lebih dahulu menginfokan, aturan seperti check and recheck pun diabaikan. Kejar-mengejar dan
dahulu-mendahului sesama media mirip bus Metromini yang mengabaikan aturan
dan keselamatan (keakuratan berita) tidak terhindarkan lagi. Jurnalisme
angkot ini sungguh gawat karena membawa berita yang prematur.
Konyolnya lagi, sering
terjadi pada media online, begitu kedapatan berita yang sudah naik ternyata
salah dengan mudah redaksi menghapus dari halaman medianya. Sesuatu yang
tidak akan terjadi pada masa lampau. Yang juga menarik, belakangan ini,
munculnya ide kreatif sejumlah wartawan saling mengkopi rekaman wawancara
yang mereka beri istilah cloning audio.
Kasusnya, biasanya,
dalam sebuah acara jumpa pers atau wawancara ada wartawan terlambat hadir
sehingga tidak sempat merekam. Tetapi, karena dituntut harus menyiarkan
peristiwa tersebut berikut audionya, rekam-merekam sesama wartawan terjadi.
Wartawan radio banyak melakukan cara ini walau tidak semua. Dengan kenyataan
tersebut menjadi terkesan mudah sekali menjadi seorang wartawan. Tentu ini
tindakan yang tidak elok, tetapi dianggap sah dan wajar.
Gawat! Harus diakui
bahwa dalam era klik (sekali klik muncul semua) yang hiruk-pikuk ini masih
tetap ada media cetak, online, radio dan televisi yang baik, memberikan
pencerahan dan pendidikan. Mereka masih dinilai sebagai media yang layak
sebagai rujukan di tengah begitu banyak bermunculan media baru.
Wartawan Bodrex
Wartawan abal-abal
juga populer dengan sebutan wartawan bodrex. Siapa orang yang memulai
menyebut dengan istilah wartawan bodrex memang tidak jelas. Tetapi, istilah
ini muncul pada dekade delapan puluhan ketika sekelompok orang mengaku
wartawan dan selalu hadir dalam berbagai acara dengan alasan meliput. Namun,
berita liputannya tidak pernah muncul di media karena medianya memang tidak
ada.
Kelakuan para
abal-abal ini biasanya menyerbu panitia kegiatan atau pejabat, pengusaha, dan
lainnya dalam suatu acara, juga di kantor atau rumah. Tujuannya bukan mencari
materi berita, tetapi minta uang. Saat kelompok abal-abal mulai beroperasi
wartawan sejati yang sedang meliput biasanya menepi seraya berbisik kepada
sesama teman wartawan, ”Awas, bodrex menyerang!”
Kalimat bodrex
menyerang ini terinspirasi dengan iklan obat sakit kepala Bodrex yang ketika
itu populer di TVRI. Tampak di televisi pasukan tentara Bodrex menyerang
virus sakit kepala yang tiba-tiba datang. Gambar iklan disertai teriakan para
pasukan tentara Bodrex, ”Bodrex menyerang!” Keberadaan wartawan bodrex atau
abal-abal ini pada kenyataannya tumbuh subur dan sulit hilang karena memang
”dipelihara” pihak tertentu.
Setidaknya mereka
hidup karena ada pihak-pihak berkepentingan untuk kerja sama memainkan uang
anggaran kantor pemerintah. Karena sulit memengaruhi wartawan sejati untuk
kerja sama memainkan anggaran, staf pemerintahan mengajak wartawan bodrex
bermain. Lama kelamaan keberadaannya sama dengan wartawan. Jumlahnya bahkan
makin banyak karena satu abal-abal kemudian mengajak dua abalabal lainnya.
Banyak pejabat mengaku
pusing menjelang hari raya karena tiba-tiba disodori puluhan nama wartawan
bodrex dari media abal-abal untuk diberi THR. Suatu kali bahkan muncul
peristiwa nekat di Senayan, kaum abal-abal memohon sumbangan kematian seorang
rekannya kepada sejumlah anggota Dewan.
Setelah sukses
terkumpul dana dari anggota Dewan tersebut selanjutnya dibagi rata dengan
yang dikabarkan meninggal tadi. Jadi, yang meninggal ikut ngopi sambil bagi
hasil uang dari anggota Dewan.
Tapi, apakah antara
obat Bodrex dengan wartawan bodrex ada kaitan dan kesamaan? Tentu tidak.
Sebab, obat Bodrex menyembuhkan sakit kepala, sedangkan ”wartawan bodrex”
justru membuat sakit kepala. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar