Waspada Ancaman Gugat Cerai...!
Sawitri Supardi Sadarjoen ;
Penulis Kolom “PSIKOLOGI”
Kompas Minggu
|
KOMPAS, 21
Februari 2016
”Apabila kondisi ini
tidak berubah, saya tidak yakin akan dapat tinggal bersama lagi denganmu”.
Ungkapan ultimatum tersebut menggambarkan bahwa pasangan kita sudah tidak
mampu bertahan dalam ikatan perkawinan dengan diri kita.
Ketahuilah bahwa orang
akan memberikan ancaman cerai atau memutuskan hubungan dengan kita pasti
disertai kemarahan yang tak terkira yang dirasakan oleh pasangan kita.
Kekecewaan demi kekecewaan akan perlakuan yang kita lakukan sudah sampai pada
titik jenuh dan tidak dapat diperbaiki lagi.
Dalam situasi yang
seperti ini, perceraian sudah bukan suatu upaya hukuman, upaya
menakut-nakuti, atau membuat kita terperangah, tetapi yakinilah bahwa kalimat
tersebut merebak dalam benak pasangan kita karena pasangan kita sudah tidak
mampu menahan rangkaian ketegangan akibat konflik berlanjut. Konflik yang
ditandai oleh sikap kita yang ”menulikan diri”, ”tak peduli”, serta
”bergeming” oleh rangkaian keluhan, tangisan tertahan dan omelan, bahkan
sesekali makian yang berlarut-larut.
Kasus:
Suatu sore datanglah
seorang laki-laki, sebut saja L (42 tahun), dengan tampilan kusut masai,
tampak pusing tujuh keliling, dan serta-merta mengungkapkan, ”Istri saya mau
gugat cerai, saya tidak mau kehilangan istri, kehilangan anak-anak, saya
menyesal telah mengabaikan mereka selama ini.” ”Saya tidak mau kehilangan
istri dan anak-anak, saya masih sayang kepada istri saya,” ujarnya sambil air
mata merebak pada kedua matanya.
Kemudian mulailah L
menceritakan betapa istrinya M (40 tahun) tidak melayani dirinya sebagai
suami, bahkan makan-minum pun menyediakan sendiri, sementara hubungan intim
selama sembilan tahun pernikahan bisa dihitung dengan jari. Kemudian beberapa
waktu terakhir ini istri tidak terlampau memperhatikan kedua anak mereka, ia
sering pergi tanpa pamit dan menitipkan anak-anak kepada mertuanya.
Secara sepintas L
bercerita bahwa dirinya pernah terlibat perselingkuhan yang tidak mendalam,
hanya berkenalan dan berbincang-bincang, dan karena konsekuensi dari
pekerjaannya, L terkadang harus membawa tamu bosnya ke karaoke untuk membuat
tamu bos terhibur. Dalam kesempatan ini, ia sedikit terbawa arus
minum-minuman keras dan beberapa kali pulang kerja malam hari dalam keadaan
mabuk.
Selang beberapa waktu
pada sore yang sama, M, istri L, menyusul L untuk berkonsultasi, dan M
langsung bercerita bahwa dua tahun setelah pernikahan suami, dengan alasan
pekerjaan, L mulai pulang kantor sekitar pukul 22.00 hingga 23.00, dan sering
M mencari tahu ke mana L pergi, menelepon L, tetapi tidak pernah dijawab.
Ditanya di mana pun, tak jelas jawabannya. Sementara anak sulung mereka
sering sakit sehingga sering M harus mengantar sendiri ke dokter, bahkan ke
rumah sakit malam hari karena tiba-tiba suhu badan anak pertama itu panas
hingga 40 derajat.
M sering mengeluh atas
perlakuan L dan berulang kali meminta kesediaan L untuk pulang lebih awal
dari kantor, membicarakan dan mendiskusikan masalah perkawinan mereka, tetapi
biasanya L tutup mulut. L tak peduli, bahkan terkadang justru membentak M,
sambil serentak pergi dari rumah.
Sampai akhirnya sejak
satu tahun terakhir ini M mengambil keputusan untuk mulai mencari kesibukan
dan kesenangan sendiri. Hati M semakin tertutup dan sikap tak acuh terhadap
suami semakin berkembang serta-merta M belajar mengabaikan perasaannya
terhadap L.
Rasa cinta M hilang
sudah. Kehidupan suami-istri hanya terungkap sekadar tinggal satu atap tanpa
komunikasi dan masing-masing mengurus urusan sendiri. Pengasuhan anak-anak
diserahkan kepada kakek-nenek dari pihak M. Sampai satu minggu yang lalu, M
dengan berani menyatakan dengan tegas, ”Pak, aku sudah siap untuk gugat
cerai.”
L terkejut mendengar
ungkapan M, dia tidak menyangka bahwa M yang dikenal sebagai perempuan yang
lemah ternyata dengan tegas bisa mengambil keputusan gugat cerai. Dengan
tegas pula M menyatakan sudah tertutup hatinya buat L walaupun L mengiba-iba
agar M memikirkan kembali keputusannya, sambil serta-merta L mulai
memperhatikan kedua anaknya, mengajak bermain, membelikan berbagai mainan.
Tentu saja anak-anak
senang mendapat perhatian ayahnya. Namun, sejauh itu, perbaikan perilaku L
sebagai ayah sama sekali tidak menyentuh hati M dan M berpendapat, sudah
selayaknya, sebagai ayah, L memperhatikan anak-anaknya. Namun, untuk
permintaan L agar M mengurungkan niat gugat cerai, secara tegas, M bergeming,
tidak peduli pada rayuan L dan tetap bersikukuh untuk gugat cerai.
Diskusi:
Dari kasus di atas
kita dapat menyimak beberapa hal:
1. Jika istri mulai
menunjukkan sikap tak mengacuhkan apa pun perilaku suami, apalagi sudah
menunjukkan gejala pencarian kebahagiaan sendiri, berarti rasa percaya diri
istri mulai bangkit.
2. Pertanda pertama
tersebut hendaknya mulai disimak oleh pihak suami untuk memulai introspeksi
diri dan bertanya kepada diri seberapa berharganya makna keluarga yang ia
miliki saat ini. Dengarlah keluhan istri dan carilah waktu yang tepat untuk
mendiskusikan peluang membina kembali keutuhan hidup dan masa depan
berkeluarga.
3. Kasihilah istri dan
anak-anak kembali.
4. Maka, kekerasan
hati istri untuk gugat cerai tidak akan terjadi dan ketahuilah bahwa
penyesalan tidak ada gunanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar