Menjadi Wartawan
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 12
Februari 2016
Di Jakarta, kuliah
sambil bekerja atau bekerja sambil kuliah, rupanya tidak sulit dijalani.
Banyak keluarga di kota besar yang memerlukan guru privat untuk mengajari
matematika dan agama untuk anak-anaknya.
Tentu ini peluang
bagus bagi mahasiswa yang terjun bebas ke Jakarta seperti saya yang tidak
mendapatkan dukungan uang dari keluarga di kampung karena memang tidak mampu.
Pagi saya kuliah, sorenya mengajar privat agama dan aktif bakti sosial di
Kompleks Mabad, Rempoa, tak jauh dari kampus.
Di kompleks ini saya
dikenal layaknya pelaksana tugas pengurus RK (rukun kampung) yang mengurus
KTP dan berbagai kepanitiaan acara sosial. Semuanya saya jalani dengan riang.
Yang penting saya bisa kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, sebuah dunia baru
yang sangat menggairahkan.
Keberhasilanku
terdaftar sebagai mahasiswa pada perguruan tinggi negeri sungguh merupakan
hiburan dan anugerah hidup di luar perhitungan nalar mengingat agenda pertama
saya ke Jakarta mau bekerja sebagai buruh, apa pun jenis pekerjaannya yang penting
halal untuk menopang hidup mencari pengalaman di Ibu Kota.
Saya tercatat sebagai
mahasiswa IAIN angkatan 1974 yang berlokasi di Ciputat, wilayah perkampungan
yang masih sepi dan sangat tenang saat itu. Berkat aktivitasku di HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat, saya berkenalan dengan senior
saya, Farid Hadjiri, yang kuliah sambil bekerja sebagai wartawan Panji
Masyarakat di bawah kepemimpinan almarhum Buya Hamka.
Dari perkenalan inilah
sebuah jalan baru terbuka. Saya sampaikan ke Mas Farid, saya ingin belajar
dan bekerja sebagai wartawan. Sejak dari pesantren saya sudah terbiasa
menulis dan membuat mading atau majalah dinding. Bahkan Kiai Hamam Ja’far
(alm) mewajibkan menulis buku harian dan seminggu sekali menyusun karangan
lepas yang kemudian dijadikan bahan latihan pidato (muhadharah) di depan teman-teman. Setelah berlalu belasan tahun
saya baru sadar bahwa membiasakan menulis akan berpengaruh untuk berpikir
sistematis, ekonomis, dan terstruktur.
Demikianlah, tahap
awal saya diajak melihat dan mendampingi Mas Farid melakukan wawancara tokoh
sambil memegang kamera. Ketika hasil wawancara terbit di majalah, otakku
mengingat kembali dan merenungkan tahapan proses dari awal wawancara sampai
tersajikan dalam rubrik majalah, dengan disertai foto. Hatiku berkata, saya
pasti bisa bekerja sambil kuliah sebagai wartawan, minimal sebagai reporter
karena saya sudah terbiasa menulis esai.
Pikirku, wartawan itu
keren, bisa bertemu tokoh-tokoh hebat, pekerjaan bisa dilakukan di luar jam
kuliah. Sosok lain yang menginspirasi saya merambah dunia wartawan adalah
Fachry Ali, sesama mahasiswa IAIN angkatan ‘74 yang juga aktif di HMI
Ciputat. Sejak mahasiswa Fachry Ali rajin menulis puisi, naskah drama, dan
menulis opini di surat kabar. Saya, Fachry Ali, disusul Iqbal Saimima (alm)
dan Azyumardi Azra akhirnya bergabung sebagai wartawan Panji Masyarakat
sambil kuliah dan aktif di HMI.
Terdapat korelasi
positifproduktif antara professi wartawan dan dunia mahasiswa. Sebuah kerja
semi-intelektual yang mendatangkan uang, memperluas pengetahuan dan pergaulan
yang sekaligus juga memperkaya wawasan sebagai aktivis mahasiswa. Dengan
pengalaman jurnalistik meliput acara-acara seminar nasional dan
internasional, duduk di kelas mendengarkan kuliah dosen terasa ringan dan
mudah membuat kesimpulan.
Mungkin pengaruh dari
pengalaman bertemu berbagai tokoh nasional, muncul kesombongan membuat
penilaian siapa dosen yang berbobot dan siapa dosen yang ilmunya pas-pasan.
Siapa dosen yang rajin membaca dan mengikuti buku-buku mutakhir, dan siapa
dosen yang hanya mengandalkan buku teks lama.
Berdekatan dengan Buya
Hamka, seorang ulama dan pujangga besar yang semua novelnya pernah saya baca,
sungguh sangat membanggakan dan menambah rasa percaya diri saya bekerja
sebagai wartawan majalah Panji Masyarakat . Penyajian majalah dituntut
memiliki bobot ilmiah dan mendalam, beda dari surat kabar berita.
Suatu pengalaman yang
tak pernah lupa, suatu hari saya membuat janji wawancara dengan Dr Taufik
Abdullah, sejarawan ternama, seputar Islam dan politik di Indonesia. Mungkin
kurang percaya dengan penampilan saya, justru dia yang memulai mengajukan
pertanyaan pada saya:
”Pernah membaca buku
karangan saya? Apa kesan saudara tentang buku itu?” Langsung saya jawab
dengan lancar dan percaya diri isi buku Islam Indonesia sehingga Taufik
Abdullah berkata,”Baik, wawancara bisa kita mulai. Saya percaya pada
kemampuan saudara untuk memahami pikiran saya.”
Pengalaman serupa
ternyata saya temui lagi ketika wawancara Bang Ali Sadikin, Gubernur DKI
waktu itu. Dia mengajukan pertanyaan, berupa jumlah penduduk Jakarta, apa
problem terbesar yang dihadapi masyarakat Jakarta? Rupanya dia ingin
menjajaki kesiapan intelektual saya untuk berdiskusi dan menangkap
pemikirannya seputar kehidupan sosial Ibu Kota.
Sekian narasumber yang
pernah saya wawancarai seperti Juwono Sudarsono, Sarlito Wirawan Sarwono,
Suryanto Puspowardoyo, sampai sekarang masih terjalin persahabatan
intelektual. Figur-figur yang telah meninggal yang semasih hidup pernah saya
wawancarai dan terjalin persahabatan layaknya guru dan mahasiswa antara lain
Mochtar Lubis, Ruslan Abdul Gani, Andi Hakim Nasution, Adam Malik, Slamet
Iman Santoso, dan beberapa tokoh lain.
Mereka semua telah
menularkan virus intelektual, bahwa saya tidak boleh berhenti sebagai
wartawan yang membuat janji untuk wawancara. Suatu saat wartawan yang mencari
dan menemui saya untuk minta wawancara, tekadku kala itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar