Skenario Indonesia 2045 (3)
Memudarnya Nasionalisme Indonesia
Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 17
Februari 2016
Pada 2045, setelah 100
tahun merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap eksis di tengah
peradaban modern dunia sebagai bangsa multietnis, multikultur, bangsa yang
pluralis. Namun, bangsa Indonesia semakin melupakan dan meninggalkan
sejarahnya.
Ketua tim penyusun
Skenario Indonesia 2045, Panutan S Sulendrakusuma, menyebut Indonesia 2045
dalam Skenario Kepulauan. Skenario Kepulauan adalah skenario ketiga yang
dibangun dengan mempertimbangkan aspek geopolitik sebagai faktor utama untuk
menyusun narasi tentang Indonesia 2045. Sebelumnya ada Skenario Mata Air
(Kompas, 15/2), Skenario Sungai (Kompas, 16/2), dan Skenario Air Terjun
(Kompas, 18/2).
"Cara bernegara orang Indonesia pada 2045 telah
berubah," kata Panutan kepada Kompas, Minggu (14/2). Rasa hormat dan
bangga serta keinginan untuk meneladani pahlawan pendahulu bangsa tidak lagi
menjadi motivasi generasi muda Indonesia dalam menghadapi tantangan zamannya.
"Hari Pahlawan dan hari besar nasional sudah kehilangan
maknanya dan hanya dimaknai sebagai perayaan rutin belaka tanpa dijiwai
emosi, sifat, tingkah laku, opini, dan motivasi," kata Panutan. "Nasionalisme warga negara Indonesia
pada 2045 kian tipis," lanjut Suhardi Alius, Sekretaris Utama
Lemhannas.
Temuan tim Lemhannas
itu sudah tampak gejalanya. Ada dinamika dalam anak muda Indonesia. Persoalan
kepemudaan tenggelam dalam isu besar yang mewarnai kehidupan politik negeri
ini. Dalam jajak pendapat Kompas, 28 Oktober 2013, dalam mengamalkan
Pancasila sebagai ideologi negara, misalnya, 73,6 persen responden memandang
pemuda tidak ikut ambil bagian dalam mewujudkan butir Pancasila. Jajak
pendapat itu juga merekam bagaimana ingatan makna Sumpah Pemuda 28 Oktober
2028 mulai pudar. Responden kelompok ini bahkan kesulitan menyebutkan Sumpah
Pemuda. Harian Kompas, 28 Oktober 2013, menyebutkan, hanya 9,4 persen
responden yang menyebutkan isi Sumpah Pemuda dengan benar.
Membayangkan Indonesia
2045 adalah membayangkan bagaimana siswa-siswi sekolah dasar dan sekolah
menengah akan memimpin bangsa ini. Ada yang akan menjadi bupati, wali kota,
gubernur, anggota DPR, ketua partai, dan posisi struktural lainnya. Betapa
pentingnya posisi sekolah untuk menyemai calon pemimpin bangsa.
Kondisi ini
mengingatkan pada buku John W Gardner berjudul Can We Equal and Excellent Too. Gardner menulis, "Tidak ada negara bangsa yang dapat
menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang diyakininya
itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan peradaban."
Mengacu pada pandangan
Gardner, kita akan menyebut sekolah adalah tempat paling berperan dalam
membentuk wawasan mengenai bangsa dan kebangsaan. Wawasan mengenai
nasionalisme Indonesia. Sekolah bukan hanya mengajarkan tentang ilmu
pengetahuan dan keterampilan serta lulus ujian, melainkan menjadikan siswa
sebagai orang Indonesia dan bangga dengan Indonesia.
Siswono Yudo Husodo
dalam artikel di Kompas, 23 April 2015, menulis, di Amerika Serikat, kalau
ada fenomena negatif merebak di masyarakat, pertanyaan yang muncul adalah "Whats' wrong with American class
room?".
Pertanyaan itu relevan
direnungkan mengacu pada skenario Lemhannas bahwa bangsa Indonesia 2045 mempunyai
persepsi dan cara bernegara yang berbeda dengan kadar nasionalisme yang
tipis. Situasi kontemporer menunjukkan bagaimana anak-anak terpikat dengan
ideologi bukan asli Indonesia, ideologi yang radikal yang sangat jauh dari
nilai Pancasila. Bagaimana buku-buku ajar siswa disusupi ajaran radikal.
Gambaran
pesimistis-jika tidak ada intervensi apa pun-bisa dibaca dalam dokumen
Skenario Indonesia 2045. Dituliskan dalam dokumen itu, pada era 2010-2040,
perhatian dunia tertuju ke Asia Pasifik karena jumlah penduduk Indonesia yang
besar. Menurut proyeksi Lembaga Demografi, pada 2045 jumlah penduduk
Indonesia 321,86 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk sebesar itu, Indonesia
merupakan potensi pasar yang besar. Potensi sumber daya alam besar dan
beragam, termasuk potensi pariwisata, sumber daya genetika, dan letak
geografis Indonesia dengan poros maritimnya. "Indonesia diperhitungkan dunia sebagai negara yang memiliki
potensi kekuatan ekonomi, militer dalam politik di wilayah Asia
Pasifik," tulis Panutan.
Namun, karena kadar
nasionalisme yang tipis, termasuk orang yang menjadi penyelenggara pada 2045,
bangsa Indonesia semakin tidak menjiwai kesepakatan dasar bangsa Indonesia
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar bernegara. Tim penyusun
Skenario Indonesia 2045 menulis, kondisi Indonesia dengan kadar nasionalisme
tipis, langkanya pemikiran strategis yang berjangka panjang, kualitas
pendidikan dan penguasaan teknologi informasi selama 30 tahun terakhir tidak
dipersiapkan benar dan baik untuk menghadapi tuntutan Indonesia setelah 100
tahun merdeka, tidak cocok dengan kebutuhan zaman.
Selanjutnya, skenario
yang perlu mendapat perhatian adalah gambaran elite parpol dan ormas yang
masih berkutat pada kepentingan individu dan golongan. Hal tersebut juga
terjadi di birokrasi, TNI dan Polri, karena sistem meritokrasi belum
diterapkan sebagaimana mestinya. "Kondisi
ini diperparah dengan masih sering terjadinya inkonsistensi kebijakan yang
sering berubah dan tumpang tindih," kata Panutan.
Kekuatan militer
Indonesia sudah besar dalam jumlah, tetapi belum efektif dan belum efisien
karena teknologinya tak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga
pengamanan maritim Indonesia sebagai poros maritim dunia masih sering
dipertanyakan dunia. Tim penyusun menggambarkan, pada 2045, Indonesia
disibukkan dengan pengamanan maritim nasional karena ramainya kegiatan
eksplorasi bawah laut yang dilakukan state dan non-state actor di sekitar
Indonesia.
Sementara itu,
regionalisasi pengaturan operasional penerbangan dunia yang mengatasnamakan
keamanan dan keselamatan penerbangan Indonesia sudah merambah wilayah
Indonesia, dikendalikan oleh satu atau dua negara tetangga sehingga
kedaulatan Indonesia banyak diatur oleh negara dan aktor non-negara dunia. "Kondisi ini terjadi karena selama 40
tahun terakhir Indonesia hanya berwacana untuk mengambil alih pengendalian
operasi penerbangan di atas kepulauan Riau dan Natuna dari Singapura, tanpa
perencanaan dan program yang jelas."
Dari dua skenario yang
dibangun Lemhannas, faktor generasi muda dan nasionalisme mereka menjadi amat
penting untuk eksistensi NKRI. Faktor pendidikan menjadi penting. Boleh jadi
gagasan Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Pers Nasional tentang
perlunya televisi menyiarkan lagu nasional menjadi relevan untuk
membangkitkan nasionalisme.
Skenario kepulauan itu
seharusnya mendorong semua komponen bangsa berpikir ulang dan menyadari
sejarah terbentuknya bangsa, letak dan kondisi geografi, demografi, dan
perkembangan global. Pemimpin dengan karakter kebangsaan yang tangguh,
memahami visi bangsa, dan memiliki ambisi terukur amat dibutuhkan bangsa ini.
Profesor riset Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi, menyebut isu
nasionalisme sebenarnya agak ketinggalan zaman karena isme berbicara soal
paham. Yang penting sebenarnya bagaimana situasi bangsa itu sendiri. "Apakah bangsa Indonesia itu masih
dirawat oleh para penyelenggara negara saat ini," kata Pabottingi.
Kondisi Indonesia 2045
sangat tergantung pada apa yang dibuat bangsa ini sekarang. "Apakah undang-undang yang diproduksi
digunakan untuk menguntungkan bangsa atau digunakan untuk kepentingan asing.
Banyak produk undang-undang yang esensi sebenarnya hanyalah menjual Tanah
Air. Ini adalah pengkhianatan terhadap bangsa," kata Pabottingi.
Pabottingi juga
menyoroti bagaimana bahasa Indonesia telah dikhianati. Menyaksikan siaran
televisi, hampir separuh dari presenter menggunakan kata-kata bahasa Inggris,
padahal bahasa Indonesia ada padanannya. "Ini,
kan, melecehkan mereka di desa yang tak bisa berbahasa asing,"
ucapnya.
Pemahaman soal bangsa
dan tokoh bangsa harus diajarkan agar anak bangsa punya hero di negerinya
sendiri. "Kisah IJ Kasimo,
Mohammad Natsir, Mohammad Hatta, dan Agus Salim dengan kesederhanaannya perlu
disampaikan kepada anak didik agar mereka punya hero dan idola terhadap
tokoh-tokoh bangsa," kata Pabottingi.
Untuk menggapai 100
tahun republik, bangsa ini membutuhkan negarawan yang punya imajinasi soal
bangsa dan masa depannya. Negarawan berbeda dengan politisi, seperti
dikatakan intelektual Amerika Serikat, James Clarke, "Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang
negarawan berpikir tentang generasi masa depan." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar