Butuh Apa Pengin?
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI’ Kompas Minggu
|
KOMPAS, 14
Februari 2016
Waktu saya masih muda
belia, belum punya pacar, maka menunggu waktunya bisa pacaran selalu
dinanti-nantikan kedatangannya. Bobot penantiannya lebih besar daripada kalau
sedang menanti datangnya ulang tahun. Entah kenapa, saya sendiri juga tak
tahu.
Jomblo
Hidup bergulir tanpa
bisa dihentikan dan dijalani dengan ritme yang naik dan turun, diisi dengan
kerja tanpa henti, bepergian dari ujung dunia yang satu ke ujung dunia yang
lain, kemudian penantian datangnya kekasih hati pun berubah. Dari menanti
dengan penuh sukacita dan harapan, menjadi sebuah penantian yang melarakan
hati.
Harapan yang dahulu
begitu diyakini akan menjadi kenyataan, menjadi pupus, dan sekarang sirna
sama sekali. Jadi, kalau dihitung dengan kalkulator, saya sudah menjadi
jomblo sepanjang hidup. Kalau sedang dalam keadaan lara seperti itu,
bermunculanlah sejuta tanya di dalam hati.
Mengapa perjalanan
asmara saya begitu kerontangnya? Apa yang keliru dari hidup saya? Kalau
manusia diberikan rasa cinta dan katanya akan berpasangan, mengapa tidak
terjadi pada diri saya? Ada sejuta komentar dari teman-teman dan satu
komentar yang membuat saya gelagapan. ”Elo butuh atau elo cuma pengin punya
doang?”
Kata mereka, yang
pengin doang dan yang butuh itu bukan persoalan salah benar, bukan juga
persoalan yang satu bermutu dan yang satu lagi tidak, melainkan masalah dalam
perbedaan eksekusi dan risiko yang akan dihadapi.
Saya kembali pulang
dengan hati terbeban. Awalnya, saya pikir akan punya solusi yang membuat
kepala menjadi lebih ringan dari memikirkan pertanyaan yang sudah bercokol
belasan tahun lamanya di kepala. Ternyata, saya keliru.
Maka, saya mulai
bertanya kepada diri sendiri berulang-ulang kali mirip bunyi tokek. Butuh apa
pengin, butuh apa pengin, butuh apa pengin. Sampai saya berpikir, kok
tiba-tiba jadi begitu sulit sekali mengartikan kata butuh danpengin.
Butuh rumah besar atau
pengin rumah besar? Butuh liburan atau pengin liburan? Butuh punya anak atau
penginpunya anak? Butuh kondang ataupengin kondang? Butuh sehat atau pengin
sehat? Butuh punya usaha sendiri atau pengin doang? Butuh jadi haters atau pengin jadi haters?
Tokek
Maka, selama empat
hari saya seperti tokek dan berakhir dalam kebingungan. Maka, saya mencoba
mengurangi kebingungan dengan membaca kamus bahasa Indonesia untuk mengerti
apa sih sebetulnya perbedaan butuh dan ingin itu.
Apakah butuh itu?
Menurut kamus bahasa Indonesia, artinya sangat memerlukan. Dan perlu itu
diartikan sebagai berguna, penting. Sementara pengin atau ingin diartikan
sebagai berhasrat, mau, tidak dijelaskan apakah itu mengandung sesuatu yang
penting atau berguna.
Setelah itu saya mulai
mencoba sekali lagi menjadi tokek. Butuh atau pengin, butuh atau pengin,
butuh atau pengin. Kadang sesekali menjadi seperti tokek itu cukup membantu
menyetrum kepekaan dan kejujuran.
Setelah menjalani
kehidupan yang sendiri dan kesepian yang sangat dan lama dan menjadi terbiasa
dengan keadaan itu, saya hanya memiliki keinginan memiliki pasangan hidup.
Saya tak bisa melihat apakah guna dan manfaatnya. Tanpa bermaksud pongah,
selama sekian puluh tahun saya mengurus semua kebutuhan hidup nyaris hanya
dengan diri sendiri saja.
Bahkan, ketika harus
menjalani transplantasi ginjal yang membuat saya begitu dekat dengan
kematian, saya hanya ditemani satu sahabat dan sopir. Sisanya, saya harus
berjuang sendiri. Kadang saya berpikir, apa pentingnya kekerasan hidup itu
kalau pada akhirnya ia sampai mampu mengurangi kepekaan manusiawi dan mampu
mengubah yang manusiawi itu menjadi batu?
Belakangan rasa ingin
memiliki pasangan itu bertambah intens datangnya. Saya tidak tahu apakah
butuh itu adalah lahir dari rasa ingin yang bertubi-tubi sehingga mampu
melahirkan perasaan sangat memerlukan. Dan kalau saya sangat memerlukan,
pertanyaan berikutnya adalah apa yang saya perlukan dari berpasangan?
Sampai tulisan ini
berakhir, sejujurnya saya tidak tahu kebutuhan yang utama untuk berpasangan?
Mungkin saya mengalami kekeringan yang panjang, berjuang sendiri, mengalami
ketakutan dan kesepian yang begitu dalam dan lamanya sampai saya tak lagi
bisa merasakan kebutuhan berpasangan itu letaknya di mana, kecuali mau
bermain cinta tanpa merasa berdosa dan ingin memiliki keturunan?
Saya sampai berpikir
apakah perceraian atau perselingkuhan sejujurnya adalah sebuah bentuk dari
kebutuhan yang tidak diketahui seseorang dan tetap dieksekusi dalam sebuah
hubungan karena sejuta alasan, yang mungkin juga, alasan itu tidak disetujui
hatinya?
Sungguh saya tak tahu.
Yang jelas saya tahu, kekeringan yang berkepanjangan dalam kasus saya ini
hanya mampu melahirkan perasaan ingin untuk tidak kering dan bukan butuh
untuk tidak kering. Maka, seyogianya, saya tidak perlu mengeluh. La wong apa
gunanya mengeluh kalau saya sendiri tidak tahu kebutuhan mengeluhnya itu di
mana. Ya, enggak? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar