Bukan soal Genteng Bocor
Anis Hidayah ;
Direktur Eksekutif Migrant Care
|
KOMPAS, 20
Februari 2016
Revisi Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI kembali masuk
agenda prioritas Program Legislasi Nasional DPR tahun anggaran 2016. Hal ini
setidaknya menumbuhkan kembali harapan untuk terciptanya tata kelola
perlindungan TKI dan anggota keluarganya secara lebih baik dan komprehensif.
Namun, ini bukan yang
pertama. Tahun 2010 UU ini juga pernah masuk sebagai prioritas Prolegnas.
Hanya saja hasilnya sekadar mengubah judul, dari "penempatan dan
perlindungan" ke "perlindungan dan penempatan". Lain-lainnya,
tak ada yang berubah pada payung hukum bagi buruh migran ini.
Padahal, menunda
revisi sama saja dengan sengaja membiarkan buruh migran Indonesia dalam
ancaman pelanggaran HAM. Mari berharap semoga kegagalan ini tak dilanjutkan
oleh DPR periode sekarang.
Tak ada perlindungan
Keinginan untuk
merevisi UU No 39/2004 menunjukkan bahwa memang ada yang salah dengannya. Tak
ada paradigma dan kerangka perlindungan yang mengandung standar-standar pokok
perburuhan Organisasi Buruh Internasional dan standar HAM di dalamnya.
Undang-undang ini menempatkan buruh migran sebagai obyek hukum, dan tak lebih
dari mesin pencetak uang. Baik bagi negara, maupun korporasi pengerahan
tenaga kerja yang sering mengeksploitasi mereka.
Maka, selama 12 tahun
berlaku, UU tersebut tak lebih sebagai alat untuk melanggengkan praktik
eksploitasi, pelanggaran HAM terhadap buruh migran dan anggota keluarganya,
serta impunitas. Masifnya kekerasan yang dialami PRT migran, rentannya buruh
migran perempuan dari jeratan mafia perdagangan orang, dan berbagai
pelanggaran lainnya terhadap buruh migran tak mampu ditangkal secara
konstitusional dengan UU No 39/2004 ini. Satu-satunya prestasi yang dapat
dicatat adalah pemerintah telah berhasil menggenjot devisa negara.
Bila dilihat lebih
cermat, UU No 39/2004 ini tak lebih sekadar copy paste dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 104 A/2002
mengenai tata cara pengerahan perusahaan swasta dalam penempatan buruh migran
yang minus aspek perlindungan. Bahkan pengesahannya pun tanpa naskah akademik
sebagai landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Sehingga secara de jure, UU ini sebenarnya cacat
secara hukum. Dan, yang lebih menyedihkan, UU No 39/2004 masuk dalam rumpun
ekonomi, bukan ketenagakerjaan.
Tak aneh kemudian bila
Mahkamah Konstitusi dua kali mengabulkan judicial
review untuk beberapa pasal yang merugikan buruh migran, yaitu Pasal 35
huruf (d) dan Pasal 59.
Implementasi konvensi
Bagi Pemerintah
Indonesia, revisi UU No 39/2004 ini semestinya menjadi momentum untuk
mengimplementasikan International
Convention on The Rights of All Migrant Workers and Their Families yang
telah diratifikasi ke dalam UU No 6/2012. Ratifikasi ini sendiri berlangsung
melalui proses panjang dan terkadang tak dapat dinalar selama 13 tahun.
Konvensi buruh migran
yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 18 Desember 1990 melalui Resolusi
Nomor 45/158 merupakan instrumen internasional yang berisikan prinsip-prinsip
dan kerangka perlindungan global bagi buruh migran dan anggota keluarganya
berdasarkan standar HAM. Dan, sejak 1 Juli 2003, konvensi ini menjadi
perjanjian internasional dengan kekuatan hukum mengikat.
Karena itu, revisi UU
No 39/2004 mestinya untuk mengharmonisasikan prinsip dan muatan konvensi
dalam kebijakan migrasi sebagaimana mandat pasal 84 bagi negara yang telah
meratifikasinya.
Pasca ditetapkannya
Revisi UU No 39/2004 sebagai hak inisiatif DPR, Presiden melalui Amanat
Presiden Nomor R.72/Pres/12/2015 memandatkan kepada enam kementerian terkait
untuk membahasnya. Namun, dari daftar inventarisasi masalah yang disusun
pemerintah tidak terlihat upaya serius untuk menyelaraskan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam konvensi. Bahkan, konvensi yang menjadi salah satu
konsideran, malah dihapus, karena dianggap tidak relevan.
Belum lengkap
Draf yang dimiliki
DPR, juga belum sepenuhnya mengadopsi muatan konvensi terutama yang berkaitan
dengan jaminan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, serta kewajiban
pemerintah untuk menyediakan migrasi aman. Peran swasta sebagai pihak yang
sering mengambil keuntungan secara eksploitatif tampak masih dominan. Yang
patut diapresiasi, DPR mulai memasukkan desentralisasi perlindungan dengan
memberi pemerintah daerah peran untuk melindungi warganya.
Meski demikian, hampir
dapat dipastikan tidak akan terjadi perubahan fundamental dalam revisi UU No
39/2004. Kita akan tetap melihat buruh migran sebagai komoditas yang
terus-menerus dapat dieksploitasi, karena negara tidak melaksanakan kewajiban
konstitusionalnya untuk melindungi seluruh warga negaranya, tak terkecuali
buruh migran. Padahal, harusnya merevisi UU No 39/2004 bisa menjadi penanda
berubahnya pemerintah dari rezim yang mengeksploitasi, ke rezim yang berpihak
dan melindungi HAM.
Ibarat rumah, revisi
UU No 39/2004 bukan sekadar menutup genteng yang bocor di sana-sini. Lebih
dari itu, karena rumah dibangun dengan fondasi yang rapuh, maka itu
membahayakan keselamatan penghuninya. Untuk itu kita perlu membangun kembali
fondasi rumah konstitusi bagi buruh migran dan anggota keluarganya. Yaitu
dengan membangun konstruksi baru yang berbasis pada implementasi International Convention on The Rights of
All Migrant Workers and Their Families sesuai dengan standar HAM,
perlindungan perempuan, dan perburuhan internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar