DPD dan Urgensinya
Miftah Thoha ;
Guru Besar Ilmu Administrasi
Publik Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS, 20
Februari 2016
Sudah lebih 12
tahun keberadaan Dewan Perwakilan
Daerah dalam kehidupan lembaga ketatanegaraan kita, dan sekarang lembaga ini mulai dipertanyakan
eksistensinya. Tampaknya dalam dinamika kehidupan politik mulai tumbuh
pemikiran perlunya perubahan sistem ketatanegaraan kita. Hal ini berarti ada pemikiran bahwa konstitusi kita perlu
kiranya untuk diamandemen lagi. Konstitusi 1945 telah mengalami empat kali
amendemen. Jika akan dilakukan amendemen lagi, asalkan semua kekuatan rakyat
setuju, tak jadi masalah.
Seperti Perancis,
konstitusi mereka yang ditetapkan tahun 1793 mengalami beberapa kali
amendemen. Setelah amendemen melahirkan republik keempat, Perancis di bawah
kepemimpinan Charles de Gaule tahun 1958 melahirkan konstitusi republik
kelima. Dan, sejak itu hingga sekarang konstitusi Perancis telah mengalami
lebih dari 18 kali amendemen. Jadi, kalau di negara kita akan ada amendemen
konstitusi-sekali lagi, asalkan sesuai tuntutan perkembangan zaman dan
rakyatnya setuju-tidak ada masalah.
Akhir-akhir ini kita
lihat bahwa sebagian rakyat atau parpol ada yang menginginkan fungsi MPR
dikembalikan seperti aslinya: bisa memilih presiden dan menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Atau hanya menetapkan GBHN,
presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Sebagian ada yang menginginkan
amendemen karena pasal-pasal dari
konstitusi kita sudah tidak sesuai dengan preambulnya.
Demikian juga ada yang
menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai tak produktif,
bahkan menimbulkan konflik kepentingan
atau kewenangan yang berada di DPR
dengan DPD. Lalu, ada pandangan agar DPD dikembalikan saja sebagai salah satu
komponen MPR mewakili realitas
kelompok-kelompok politik yang hidup dalam masyarakat, yaitu unsur daerah dan
golongan.
Ada pula yang
menyatakan bahwa konsep negara kesatuan yang berlandaskan UUD 1945 merupakan
cita-cita Indonesia di masa depan. Indonesia dalam menjalankan roda
kenegaraan ini diatur tata kerja dan prosedur lembaga-lembaga negara. Lembaga negara tertinggi dilakukan
oleh MPR yang menetapkan GBHN dan memberhentikan presiden. Lembaga negara
pemegang kekuasaan pembuat UU dijalankan oleh DPR, lembaga negara pemegang
kekuasaan melaksanakan pemerintahan dipegang oleh presiden, dan lembaga
negara pemegang kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkamah Agung dan badan-badan
pengadilan di bawahnya. Kelihatannya, pemikiran para pendahulu kita sangat
sederhana, tetapi sangat kuat dalam menjaga dan mewariskan kesatuan dan
persatuan bangsa di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan demokratis
Sistem pemerintahan
yang demokratis telah telanjur disepakati pada awal reformasi tahun 1999. Sistem pemerintahan seperti ini
menetapkan bahwa keabsahan atau legalitas suatu pemerintahan itu ditentukan
oleh kedaulatan pilihan rakyat. Oleh
karena itu, konstitusi suatu negara harus dikembalikan kepada keabsahan pilihan rakyat ini. Kita sekarang
telah berada pada kondisi seperti itu. Oleh karena itu pula, jika konstitusi
dikehendaki diubah haruslah bukan karena kemauan satu dan lain partai
politik, melainkan oleh seluruh
kekuatan rakyat Indonesia.
Menurut kalkulasi
konstitusi, kesepakatan bersama itu haruslah mencerminkan dua-pertiga suara
di MPR. Sekarang ini tampaknya keinginan melakukan amendemen konstitusi baru
dari satu-dua partai politik dan belum
ada kesepakatan bagaimana dan apanya yang harus diubah. Oleh karena
itu, perubahan konstitusi jangan didasarkan
atas selera satu-dua partai politik yang masih samar-samar.
Ketika konstitusi kita
telah sepadan dan selaras dengan sistem pemerintahan demokratis seperti
sekarang ini, keinginan untuk mengubah konstitusi kembali ke
pemerintahan setengah demokrasi atau
demokrasi terpimpin atau demokrasi otoriter, hal semacam itu janganlah
diikuti. Contoh keinginan melakukan pemilihan kepala daerah ke DPRD,
mengganti pemilihan langsung oleh rakyat, merupakan cara setengah demokrasi.
Atau menetapkan GBHN oleh MPR tetapi presiden dipilih langsung dan yang
mempunyai diskresi untuk menetapkan atau membuat kebijakan politik sesuai
dengan situasi politik yang
dihadapinya lima tahunan merupakan sistem ketatanegaraan yang kurang
stabil.
Terkait keberadaan
DPD, sejak awal kehadirannya memang sudah banyak menimbulkan pertanyaan.
Sebagai lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat, maka akan
terjadi duplikasi atau kekembaran fungsi dengan lembaga perwakilan rakyat
yang genuine seperti DPR.
Lembaga perwakilan
rakyat pemegang kekuasaan perundang-undangan ini punya tiga fungsi, yakni
fungsi perundang-undangan, pengawasan, dan budget APBN. Lalu, apa fungsi DPD
kalau tiga fungsi itu telah habis dilakukan oleh DPR?
Akhirnya dicarikan
solusinya: semula DPD ini diberi wewenang
membidangi inisiatif perundangan pada persoalan-persoalan daerah, seperti
otonomi daerah, serta pemekaran dan penghapusan suatu daerah. Wewenang seperti ini oleh DPD
terasa tak seimbang sebagai lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh
rakyat. Maka, kemudian diberi wewenang lebih luas lagi di bidang anggaran.
Alhasil, terkesan ada dua kamar (bikameral) di lembaga perwakilan kita,
tetapi derajat kamarnya tidak jelas.
Ketika terjadi dua
kamar seperti itu, pertanyaannya apakah di masyarakat kita punya sejarah
terciptanya dua kamar tersebut? Amat berbeda dengan negara-negara seperti
Perancis, Inggris, atau Amerika Serikat yang struktur lembaga perwakilannya
memang mempresentasikan realitas masyarakat yang berbeda strukturnya. Di
Perancis ada Majelis Tinggi (Chambre
Haute) yang disebut Senat dan wakilnya disebut Senator karena mewakili dari struktur
masyarakat bangsawan. Adapun Majelis Rendah (Chambre Basse) sebagai majelis nasional DPR mewakili struktur
masyarakat kebanyakan. Di AS yang konstitusinya banyak diikuti dan dicontoh
negara-negara lain, juga terdapat dua kamar: majelis tinggi (Senat) mewakili
dari negara-negara (bagian) yang berdaulat dan majelis rendahnya sebagai DPR
mewakili struktur rakyat kebanyakan. Struktur masyarakat AS terdiri atas
masyarakat negara yang mempunyai kedaulatan dan masyarakat nasional atau rakyat kebanyakan. Di Inggris
pun demikian, terdiri dua kamar, mewakili para bangsawan dan masyarakat kebanyakan.
Di lihat dari
perspektif historis struktur masyarakatnya, Dewan Perwakilan Daerah alias DPD
yang akhir-akhir ini juga sering disebut "Senat" dan orangnya
disebut "Senator" tampaknya kurang tepat dan kurang urgensinya
kalau dibandingkan dengan Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris, yang
lembaga negara dalam sistem ketatanegaraannya mencerminkan struktur
masyarakatnya.
Pemerintah daerah
Susunan dan struktur
pemerintah daerah di Indonesia merupakan bentuk suatu pemerintahan yang
berada di dalam sistem suatu negara kesatuan. Bukan berada di negara
federalistik seperti di AS dan Kanada. Adanya pemerintahan daerah di negara
kita diawali dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diproklamirkan oleh wakil rakyat: Soekarno-Hatta. Dahulu, Ketua Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno awalnya membagi pemerintahan daerah itu
atas pemerintah daerah provinsi yang dipimpin oleh gubernur. Adapun
pemerintah daerah kabupaten dan kota belum terbentuk. Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku-Irian masing-masing satu provinsi. Adapun Jawa terdiri
atas Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Sebagai pemerintah
daerah di suatu negara kesatuan, semua kewenangan mengatur kekuasaan negara
berada di tangan pemerintah pusat. Adapun kewenangan yang berada di
pemerintah daerah merupakan sebagian dari kewenangan pemerintah pusat yang
dilimpahkan atau didesentralisasikan ke daerah. Cara pelimpahannya pun sangat
bergantung kemurahan pemerintah pusat (by
the pleasure of central government). Oleh karena itu, di dalam sistem
negara kesatuan adakalanya sistem pemerintahannya bersifat sentralistik (seperti Pemerintah Orde
Baru), ada kalanya seperti sekarang ini. Dari perspektif ini kehadiran
pemerintah daerah di Indonesia awalnya ditentukan oleh keputusan pemerintah
pusat, bukan tumbuh berdaulat terlebih dahulu seperti di pemerintahan
federalistik Amerika Serikat.
Dengan demikian,
eksistensi DPD sebagai wakil pemerintah daerah dalam lembaga perwakilan
kurang tepat jika dibandingkan dengan wakil rakyat yang tersebar di seluruh
penjuru wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, eksistensinya perlu
dipertimbangkan kembali. DPD tidak mencerminkan mewakili struktur masyarakat
yang ada dan berdaulat di Indonesia, dan juga tidak mewakili kondisi struktur
dan hakikat kedudukan kewenangan
pemerintah daerah di negara kesatuan. Oleh karena itu, DPD sebaiknya
dikembalikan sebagai unsur atau komponen MPR yang mewakili unsur golongan dan
daerah seperti semula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar