Indonesia dan Proteksionisme
Stephen V Marks ; Profesor
Ekonomi Elden Smith di Pomona College
|
KOMPAS, 19
Februari 2016
Langkah yang baru-baru
ini diambil Pemerintah Indonesia memperlihatkan adanya suatu maksud untuk
memperkuat pelibatan ekonomi Indonesia dengan seluruh dunia. Di antaranya
adalah dimulainya kembali pembicaraan perdagangan dengan Uni Eropa pada awal
2015, diumumkannya oleh Presiden Joko Widodo-saat berada di Amerika
Serikat-bahwa Pemerintah Indonesia ingin bergabung dengan perjanjian dagang
Kemitraan Trans Pasifik (TPP), serta perundingan Regional Comprehensive
Economic Partnership (RCEP) yang sedang berlangsung dan bertujuan untuk
memperdalam integrasi antara ASEAN dan enam mitra dagang utamanya, termasuk
Tiongkok.
Komentar yang
dilontarkan Menteri Perdagangan Thomas Lembong juga memberikan suatu harapan.
Thomas mengakui bahwa proteksionisme tidak memberikan hasil yang baik dalam
jangka panjang. Ia pun secara arif menegaskan, apabila kita khawatir
mafia-mafia yang terlibat dalam kegiatan penggemukan sapi di Indonesia akan
menimbun daging sapi, maka cara terbaik untuk memerangi praktik ini adalah
dengan membuka perekonomian terhadap impor daging sapi tambahan, yang akan
mengurangi harga hewan ternak yang diduga ditimbun.
Sinyal kurangi proteksi
Perkembangan-perkembangan
tersebut menunjukkan sinyal adanya keinginan untuk mengurangi kebijakan
proteksionis yang telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir. Untuk
menggambarkan seberapa besar permasalahannya, pangsa pos tarif yang dikenakan
tindakan nontarif (non-tariff measures atau NTMs) di sisi impor tumbuh dari
37 persen pada 2009 jadi 51 persen pada 2015. Tarif impor juga telah
meningkat baik secara sementara maupun permanen. Jumlah NTMs ekspor meningkat
tiga kali lipat selama periode yang sama dan memengaruhi 41 persen dari nilai
ekspor.
Salah satu ukuran
distorsi yang disebabkan pembatasan perdagangan adalah tingkat proteksi
nominal (nominal rate of protection/NRP), yaitu persentase perbedaan harga di
tingkat produsen lokal dengan harga di perbatasan negara. Pada sisi impor,
selama enam bulan pertama 2015, NRP untuk beras rata-rata mencapai 64
persen-dibandingkan dengan 37 persen yang saya ukur dengan Sjamsu Rahardja
dari Bank Dunia pada awal 2008. NRP gula saat ini adalah 55 persen,
dibandingkan 36 persen pada awal 2008. Harga internasional beras dalam
rupiah, 45 persen lebih mahal saat ini dibandingkan awal 2008, sementara gula
69 persen lebih tinggi, sehingga perkembangan NRP ini menyebabkan harga beras
dan gula naik tajam pada tingkat konsumen.
Daging dan jeroan
secara keseluruhan memiliki NRP 37 persen dalam beberapa tahun terakhir.
Demikian pula NRP untuk buah-buahan saat ini sebesar 25 persen, sementara NRP
untuk sayuran adalah 19 persen. Tepung terigu juga telah dikenakan bea masuk
anti dumping, bea masuk perlindungan dan kuota impor sejak 2009, dan pernah
memiliki NRP sebesar 22 persen.
Lonjakan harga juga
tak hanya terbatas pada produk-produk pertanian. NRP besi dan baja adalah 17
persen, disebabkan oleh bea masuk anti dumping selektif dan tarif impor yang
tinggi pada impor dari banyak negara. Sebuah perbandingan harga internasional
baru-baru ini mengungkapkan bahwa harga telepon pintar 49 persen lebih mahal
di Jakarta daripada di Singapura, dan komputer tablet 65 persen lebih mahal.
Langkah-langkah prosedural seperti peraturan
karantina secara ekstensif yang dikeluarkan Kementerian Pertanian,
pemeriksaan pra pengiriman atas impor yang dipersyaratkan Kementerian
Perdagangan, dan penerapan Standar Nasional Indonesia yang diatur oleh
Kementerian Perindustrian telah menimbulkan tambahan terhadap biaya impor
berbagai produk.
Selain konsumen,
pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan tersebut, antara lain, produsen
daging olahan dan awetan, serta produk roti dan mi. Para produsen kapal juga
menghadapi kenaikan biaya baja seperti halnya industri konstruksi.
Pada sisi ekspor,
larangan ekspor kayu gelondongan telah lama diberlakukan, tetapi larangan
sepenuhnya terhadap ekspor rotan diberlakukan pada 2011, sehingga harga yang
diterima oleh para pengumpul rotan di beberapa daerah turun 30 persen.
Larangan sepenuhnya pada ekspor rotan merupakan suatu instrumen yang tumpul:
beberapa varietas rotan yang sebelumnya pernah diekspor bahkan tidak
digunakan oleh produsen Indonesia.
Ekspor-ekspor bahan mineral yang belum
diproses dan semi diproses telah dikenakan larangan atau pembatasan ketat
sejak 2014 dan dikenakan pajak ekspor sejak 2012. Untuk bijih dan konsentrat
logam, saya memperkirakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut setara dengan
pajak ekspor sebesar 40 persen untuk bauksit, 28 persen untuk tembaga, 15
persen untuk nikel dan 14 persen untuk besi, dan larangan sebelumnya pada
ekspor bijih timah setara dengan pajak ekspor sebesar 57 persen. Belum jelas
sejauh mana kebijakan ini telah mendorong pembangunan industri pengolahan
hilir.
Begitu pula, pajak
ekspor terhadap biji kakao, minyak kelapa sawit, dan kulit mentah mengalihkan
sebagian pendapatan petani ke industri pengolahan dan pemerintah. Mungkin
perkebunan besar kelapa sawit yang telah berkontribusi terhadap masalah kabut
asap di Indonesia semestinya tidak mendapat simpati, kendati demikian para
petani kecil menghasilkan 40 persen kelapa sawit dan 90 persen biji kakao di
Indonesia. Pajak ekspor tersebut secara langsung menurunkan pendapatan
mereka.
Meningkatkan daya saing
Akibat dari semua
langkah yang diambil akhir-akhir ini adalah ekonomi berbiaya tinggi yang
dibebani oleh distorsi demi distorsi, yang banyak memberikan dampak langsung
terhadap konsumen Indonesia. Saya memperkirakan semua kebijakan terkait
perdagangan, bahkan setelah memperhitungkan subsidi untuk produk-produk
minyak bumi dan elpiji, meningkatkan biaya hidup sebesar 7,5 persen di
Indonesia.
Jika hanya pembatasan
impor beras yang dihilangkan, dampak kebijakannya terhadap biaya hidup akan
turun jadi 4,8 persen. Tak jelas berapa banyak dari kenaikan harga beras dan
gula yang dinikmati petani padi dan tebu, terutama petani yang memiliki
ukuran tanah terkecil. Namun, kenaikan harga pangan berdampak negatif
terhadap konsumen berpenghasilan rendah.
Pengalaman di seluruh
dunia membuktikan, kemampuan negara bersaing secara global tidak pernah akan
meningkat terkecuali pengusaha negara tersebut menjalani proses persaingan
global. Meski demikian, proses tersebut dapat diperkenalkan kepada
perekonomian negara dengan cara yang teliti, bukan dengan cara yang
sembarangan.
Dengan latar belakang inilah
inisiatif-inisiatif yang baru-baru ini dilakukan oleh Presiden dan Menteri
Perdagangan harus dipahami. Dengan memberikan sinyal untuk membuka rezim
perdagangan, dan dengan menangani beberapa NTMs impor yang dianggap lebih
memberatkan melalui paket-paket deregulasi baru-baru ini, pemerintah telah
mengambil langkah penting menuju reformasi yang akan meningkatkan daya saing,
mendorong pembangunan sektor swasta, dan pada akhirnya membuka lebih banyak
kesempatan untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar