Riset PT dan Kebijakan Publik
Gatot Soepriyanto ;
Mahasiswa Doktoral pada Program
Akuntansi
di Universitas Monash, Australia
|
KOMPAS, 23
Februari 2016
Pada pembukaan Kongres
Forum Rektor Indonesia belum lama ini, Presiden Joko Widodo menyentil peran
perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas kehidupan bangsa. Lebih
rincinya, Presiden menyinggung terkait kurangnya hasil riset dan kajian
perguruan tinggi yang dapat digunakan pemerintah dalam memecahkan beragam
persoalan bangsa. Presiden memberi contoh terkait kurangnya hasil penelitian
dan paparan akademik terkait untung ruginya Indonesia bergabung dalam forum
Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific
Partnership/TPP). Pemerintah, ujar Presiden, membutuhkan banyak masukan
dari berbagai pihak-termasuk perguruan tinggi-terkait jadi atau tidaknya
Indonesia bergabung dalam forum ekonomi lintas negara kawasan Pasifik.
Meski demikian,
beberapa pihak menganggap kritik Presiden itu salah arah. Mereka berpendapat
justru pihak pemerintah dan pengambil kebijakan publiklah yang kerap
mengabaikan hasil riset dan kajian akademik perguruan tinggi di Indonesia.
Dengan kata lain, ada jurang pemisah yang dalam antara peneliti dan pengambil
kebijakan publik.
Otokritik
Penulis sendiri merasa
sudah sepantasnya kritik Presiden tersebut digunakan sebagai cambuk bagi
sivitas akademika perguruan tinggi Indonesia untuk berkontribusi lebih besar
dalam memecahkan persoalan bangsa. Momen ini dapat dijadikan tonggak penting
bagi para akademisi untuk melakukan otokritik terhadap apa yang selama ini
terjadi pada dunia riset perguruan tinggi kita. Paling tidak, ada tiga hal
dari sisi internal perguruan tinggi yang menjadi sorotan penulis terkait
perdebatan antara riset perguruan tinggi dan kebijakan publik.
Pertama, terkait
jumlah penelitian yang dihasilkan perguruan tinggi di Indonesia (baca:
kuantitas). Suka atau tidak suka, faktanya, jumlah penelitian perguruan
tinggi nasional tidak cukup banyak untuk dijadikan rujukan oleh para pembuat
kebijakan publik. Dengan kata lain, pengambil kebijakan publik tidak dapat
mengambil kebijakan berbasis bukti empiris karena memang output penelitian
perguruan tinggi di Indonesia tidak cukup tersedia.
Hal ini tecermin jelas
dari angka jumlah penelitian yang terekam di Scimago, salah satu portal yang
menghitung data penelitian berdasarkan publikasi ilmiah yang terekam di basis
data Scopus. Dalam kurun waktu tahun 1996 sampai 2014, tercatat ada 32.355
publikasi ilmiah Indonesia yang dihasilkan. Dengan angka tersebut, Indonesia
berada di peringkat ke-57 dari total 239 negara yang terdaftar di Scimago,
dengan AS berada di peringkat teratas (8.626.193 publikasian).
Jumlah karya
penelitian Indonesia tersebut kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara
tetangga di Asia Tenggara, seperti Singapura yang jumlah publikasi ilmiahnya
sebanyak 192.942 dan berada di peringkat ke-32, Malaysia (153.378; 36) dan
Thailand (109.832; 43). Jika tidak meningkatkan produktivitas penelitiannya,
bukan tidak mungkin Indonesia akan disalip oleh Vietnam yang dalam kurun
waktu sama telah menghasilkan 24.473 publikasi ilmiah (peringkat ke-66).
Kedua, terkait
kualitas penelitian yang dihasilkan. Jika kita berasumsi bahwa output
penelitian di Indonesia sudah optimal jumlahnya, pertanyaannya, apakah
kualitasnya memang layak digunakan oleh para pengambil kebijakan? Sayangnya,
setali tiga uang dengan kuantitas, secara kualitas riset Indonesia pun masih
jauh dari harapan. Masih menggunakan data Scimago periode tahun 1996 sampai
2014, dengan dasar h-index sebagai ukuran kualitas penelitian, Indonesia
ternyata menempati urutan ke-58 (h-index: 140) dari total 239 negara, dengan
AS menduduki peringkat pertama (h-index: 1.648).
Selain lagi-lagi
peringkat kita di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand, kini, secara
ukuran kualitas, Indonesia ternyata di bawah Filipina (peringkat ke-57;
h-index: 147) yang jumlah output penelitiannya jauh lebih sedikit daripada
Indonesia (17.783 publikasian). Ini menunjukkan bahwa kendati kuantitas
output penelitian Filipina jauh lebih sedikit daripada Indonesia, dari sisi
kualitas penelitiannya, negara itu bisa mengalahkan Indonesia.
Hal ketiga terkait
dengan adanya mismatch antara riset untuk kepentingan publikasi
internasional-seperti yang terekam di Scimago-atau riset yang dilakukan untuk
menjawab persoalan kebijakan nasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua
pihak pengguna riset ini memiliki fokus yang berbeda. Jurnal-jurnal unggulan
internasional, misalnya, lebih banyak mendorong para peneliti untuk
memberikan kontribusi bagi teori, pustaka ilmu, dan solusi global
dibandingkan menjawab beragam permasalahan para pengambilan kebijakan yang
cenderung bersifat terapan dan berskala lokal nasional.
Sayangnya lagi,
seiring dengan tren globalisasi pendidikan, saat ini perguruan tinggi
nasional lebih terobsesi untuk menjadi universitas kelas dunia dengan target
pencapaian ranking internasional seperti yang dipublikasikan oleh QS World Universities Rankings (QS), Time
Higher Education Rankings (THE), atau
Academic Ranking of World Universities (ARWU).
Persoalannya, para
pemeringkat universitas dunia tersebut lebih menitikberatkan pada jumlah dan
kualitas publikasian internasional di jurnal unggulan yang notabene-seperti
disampaikan sebelumnya- kurang memperhatikan kebutuhan pengambil kebijakan
lokal nasional. Tak mengherankan jika kemudian banyak peneliti perguruan
tinggi berlomba-lomba untuk menembus jurnal top internasional tersebut karena
memang insentif, baik secara ekonomi maupun promosi jabatan, lebih difokuskan
untuk mengejar publikasi internasional tersebut.
Jalan keluar
Lalu, bagaimana jalan
keluarnya? Mau tidak mau perguruan tinggi di Indonesia harus meningkatkan
kuantitas dan kualitas hasil penelitiannya, sehingga kemudian layak dilirik
oleh para pengambil kebijakan publik. Cukup banyak upaya yang telah dirintis
dan dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi di bawah Kementerian
Pendidikan Nasional (dulu) dan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (kini)
untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas riset perguruan tinggi nasional.
Hal itu, antara lain,
dilakukan lewat beragam hibah dan insentif riset yang diberikan baik secara
kelembagaan maupun setiap individu peneliti. Namun, dibutuhkan pula terobosan
lebih lanjut lagi untuk mendorong penelitian Indonesia menjadi lebih baik
lagi sekaligus mampu menjawab kebutuhan bangsa.
Sebagai contoh, meniru
kesuksesan penyelenggaraan beasiswa pendidikan melalui lembaga pengelola dana
pendidikan (LPDP), perlu dipertimbangkan adanya lembaga khusus serupa LPDP
yang berupa badan layanan umum untuk mengelola, mengembangkan, dan
menyalurkan dana riset untuk kepentingan nasional. Badan ini memiliki
kewenangan untuk mengelola, memberikan dana penelitian khusus untuk menjawab
beragam agenda permasalahan bangsa, tanpa harus terbentur birokrasi
penganggaran negara seperti lazimnya pendanaan yang dikeluarkan lewat
kementerian.
Hal lain yang dapat
dilakukan adalah mendorong para peneliti di perguruan tinggi Indonesia untuk
lebih tampil ke muka publik guna mempromosikan hasil penelitiannya. Mereka
harus lebih aktif mengedukasi masyarakat dan pengambil kebijakan publik,
sekaligus pandai memanfaatkan media arus utama dan media sosial yang ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar