Alternatif Moral Hadapi Negara Besar
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 17
Februari 2016
Pertemuan tingkat
tinggi ASEAN-AS yang berlangsung di Sunnyland, California, AS, menyisakan
pertanyaan penting, di mana posisi ASEAN dalam menghadapi persaingan
negara-negara besar AS-Tiongkok? Apa peran yang bisa dilakukan ASEAN untuk
mencegah persaingan negara-negara besar ini dalam upaya mereka untuk mencari
hegemoni regional, mengikuti diktum John Mearsheimer dalam bukunya, The Tragedy of Great Power Politics
(2001).
Para pemimpin ASEAN
menyadari bahwa kebangkitan Tiongkok selama dua dekade terakhir ini telah
memicu provokasi hegemoni regional dalam berhadapan dengan strategi
perimbangan ulang (rebalancing)
kehadiran kekuatan AS di kawasan Asia Tenggara. Selama ini, hampir semua
negara di kawasan Asia Timur khususnya, menikmati payung keamanan yang disediakan
AS menghadapi berbagai potensi ancaman keamanan, baik tradisional maupun
nontradisional.
Kawasan Asia Tenggara
menjadi penting ketika laju pertumbuhan ekonomi ASEAN masih bisa berimbang
dengan Tiongkok di tengah resesi global yang berkepanjangan maupun
ketidakpastian yang menghantui sistem keuangan dunia. Keputusan bank sentral
Jepang melaksanakan suku bunga defisit yang juga dilakukan oleh negara-negara
Eropa menyebabkan terjadinya tarik-menarik yang sangat kuat siapa yang akan
menjadi motor pertumbuhan dunia, AS atau Tiongkok?
Ada beberapa faktor
perlu dijadikan pertimbangan ketika perubahan-perubahan mengarah pada krisis
hubungan negara-negara besar. Pertama, marginalisasi ASEAN oleh negara-negara
besar tidak pernah meluluhkan para pemimpin Asia Tenggara untuk terpecah
memilih salah satu kepentingan lingkup pengaruh negara besar. Perang Vietnam
adalah salah satu contoh menarik ketika ASEAN tetap pada hakikat kebersamaan
memilih tidak berpihak dalam konflik tersebut.
Krisis Perang Dingin
di kawasan Asia Tenggara tidak pernah berhasil membuat ASEAN masuk dalam
perangkap pertikaian negara besar (ketika itu antara AS dan Uni Soviet lama).
Kehadiran pangkalan militer AS di Filipina, atau perjanjian keamanan Five
Power Defense Agreement (FPDA) antara Inggris, Singapura, Malaysia, Selandia
Baru, dan Australia tidak pernah mengacaukan kepentingan strategi ASEAN
secara keseluruhan. Eksistensi pangkalan militer dan FPDA dianggap sebagai
urusan internal masing-masing negara.
Kedua, selama hampir
lima dekade berdirinya ASEAN, Indonesia selalu menjadi pilar penting dalam
mempertahankan mekanisme kerja sama berbagai bidang melalui berbagai
pemikiran yang menempatkan secara proporsional antara keseimbangan
kepentingan nasional dan kepentingan regional. Ini mengingatkan kita kalau
kerja sama dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN hanya bisa berlangsung
ketika semua negara ASEAN sepakat kesinambungannya ditopang oleh pilar
politik-keamanan dan sosial-budaya.
Dan ketiga, diktum
mantan Menlu RI Ali Alatas tentang ketidakberpihakan ASEAN dalam nonblok
adalah ”alternatif moral” menghadapi polarisasi berbagai aliansi di kawasan.
Dalam konteks ini, jiwa ”alternatif moral” memberikan landasan strategi
peradaban sangat kuat di Asia Tenggara di mana kebinekaan dalam kebudayaan
negara-negara Asia Tenggara tidak pernah membendung pilihan-pilihan yang
ditempuh dalam pengejawantahan kebijakan luar negeri masing-masing.
Keanekaragaman Asia
Tenggara, baik secara politik, sosial, maupun budaya, tak pernah menjadi
hambatan, misalnya, bagi Laos dan Vietnam memilih Uni Soviet lama sebagai
sekutu dan berpaling dari Tiongkok pada tahun 1980-an. Kita pun memandang
pembangkangan Kamboja pada tahun 2012 tentang Laut Tiongkok Selatan lebih
condong pada persoalan senioritas kepemimpinan di Asia Tenggara ketimbang
iming-iming yang dijanjikan Tiongkok dalam upaya balkanisasi ASEAN. Ini yang
diyakini Indonesia, dan ini yang diyakini ASEAN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar