Kamis, 18 Februari 2016

Alternatif Moral Hadapi Negara Besar

Alternatif Moral Hadapi Negara Besar

Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 17 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pertemuan tingkat tinggi ASEAN-AS yang berlangsung di Sunnyland, California, AS, menyisakan pertanyaan penting, di mana posisi ASEAN dalam menghadapi persaingan negara-negara besar AS-Tiongkok? Apa peran yang bisa dilakukan ASEAN untuk mencegah persaingan negara-negara besar ini dalam upaya mereka untuk mencari hegemoni regional, mengikuti diktum John Mearsheimer dalam bukunya, The Tragedy of Great Power Politics (2001).

Para pemimpin ASEAN menyadari bahwa kebangkitan Tiongkok selama dua dekade terakhir ini telah memicu provokasi hegemoni regional dalam berhadapan dengan strategi perimbangan ulang (rebalancing) kehadiran kekuatan AS di kawasan Asia Tenggara. Selama ini, hampir semua negara di kawasan Asia Timur khususnya, menikmati payung keamanan yang disediakan AS menghadapi berbagai potensi ancaman keamanan, baik tradisional maupun nontradisional.

Kawasan Asia Tenggara menjadi penting ketika laju pertumbuhan ekonomi ASEAN masih bisa berimbang dengan Tiongkok di tengah resesi global yang berkepanjangan maupun ketidakpastian yang menghantui sistem keuangan dunia. Keputusan bank sentral Jepang melaksanakan suku bunga defisit yang juga dilakukan oleh negara-negara Eropa menyebabkan terjadinya tarik-menarik yang sangat kuat siapa yang akan menjadi motor pertumbuhan dunia, AS atau Tiongkok?

Ada beberapa faktor perlu dijadikan pertimbangan ketika perubahan-perubahan mengarah pada krisis hubungan negara-negara besar. Pertama, marginalisasi ASEAN oleh negara-negara besar tidak pernah meluluhkan para pemimpin Asia Tenggara untuk terpecah memilih salah satu kepentingan lingkup pengaruh negara besar. Perang Vietnam adalah salah satu contoh menarik ketika ASEAN tetap pada hakikat kebersamaan memilih tidak berpihak dalam konflik tersebut.

Krisis Perang Dingin di kawasan Asia Tenggara tidak pernah berhasil membuat ASEAN masuk dalam perangkap pertikaian negara besar (ketika itu antara AS dan Uni Soviet lama). Kehadiran pangkalan militer AS di Filipina, atau perjanjian keamanan Five Power Defense Agreement (FPDA) antara Inggris, Singapura, Malaysia, Selandia Baru, dan Australia tidak pernah mengacaukan kepentingan strategi ASEAN secara keseluruhan. Eksistensi pangkalan militer dan FPDA dianggap sebagai urusan internal masing-masing negara.

Kedua, selama hampir lima dekade berdirinya ASEAN, Indonesia selalu menjadi pilar penting dalam mempertahankan mekanisme kerja sama berbagai bidang melalui berbagai pemikiran yang menempatkan secara proporsional antara keseimbangan kepentingan nasional dan kepentingan regional. Ini mengingatkan kita kalau kerja sama dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN hanya bisa berlangsung ketika semua negara ASEAN sepakat kesinambungannya ditopang oleh pilar politik-keamanan dan sosial-budaya.

Dan ketiga, diktum mantan Menlu RI Ali Alatas tentang ketidakberpihakan ASEAN dalam nonblok adalah ”alternatif moral” menghadapi polarisasi berbagai aliansi di kawasan. Dalam konteks ini, jiwa ”alternatif moral” memberikan landasan strategi peradaban sangat kuat di Asia Tenggara di mana kebinekaan dalam kebudayaan negara-negara Asia Tenggara tidak pernah membendung pilihan-pilihan yang ditempuh dalam pengejawantahan kebijakan luar negeri masing-masing.

Keanekaragaman Asia Tenggara, baik secara politik, sosial, maupun budaya, tak pernah menjadi hambatan, misalnya, bagi Laos dan Vietnam memilih Uni Soviet lama sebagai sekutu dan berpaling dari Tiongkok pada tahun 1980-an. Kita pun memandang pembangkangan Kamboja pada tahun 2012 tentang Laut Tiongkok Selatan lebih condong pada persoalan senioritas kepemimpinan di Asia Tenggara ketimbang iming-iming yang dijanjikan Tiongkok dalam upaya balkanisasi ASEAN. Ini yang diyakini Indonesia, dan ini yang diyakini ASEAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar