Antusiasme Spiritual
Kurnia JR ; Sastrawan-Esais
|
KOMPAS, 15
Februari 2016
Menurut kronik, pada 1
Oktober 527 Masehi Kaisar Liang
Wudi-penganut Buddhisme yang antusias-mengundang Bodhidharma, pemimpin Zen
India ke-28, yang baru tiba di negerinya, ke ibu kota kerajaan di Nanjing.
Sang Kaisar gemar
mengenakan busana Buddhis dan melantunkan tembang Buddhis. Ia juga
vegetarian. Kepada sang guru, dia mengajukan satu pertanyaan: "Sejak
naik takhta, saya telah membangun banyak kuil, menyalin banyak naskah, dan
menyokong kehidupan banyak biksu dan biksuni. Apa kebajikan dari semua
ini?"
"Tak ada
kebajikannya," jawab Bodhidharma, "Apa yang Anda lakukan hanyalah
kegiatan duniawi dan tidak bisa dianggap sebagai pahala sejati. Kebajikan
sejati terdiri dari kesadaran murni, indah, dan sempurna. Intinya adalah
kekosongan. Seseorang tidak bisa mendapatkan kesejatian dengan cara-cara
duniawi."
Antusiasme spiritual
sang Kaisar, amal perbuatannya, juga pertanyaannya kerap kita dapati di
sekitar kita. Mereka adalah penganut agama yang secara lahiriah taat,
termasuk juru dakwah dan ustaz. Para dai rata-rata memiliki komunitas,
pesantren, ataupun gedung dakwah sendiri, dengan para donatur yang loyal.
Kita akan berpikir seperti sang Kaisar, bahwa mereka pantas menuntut pahala
sejati.
Sementara itu, ada
cerita lain. Ada seorang pria yang antusias meniti jalan spiritual. Pada
suatu hari, Nabi Khidir menemui dia untuk memberi bimbingan. Dia diajak ke
dua tempat. Mula-mula ke tempat orang-orang yang sengsara. Kemudian ke tempat
orang-orang yang senang dan bahagia. Di setiap tempat itu dia berdialog
dengan para penghuninya perihal kebenaran. Dia menyimpulkan bahwa kebahagiaan
sama dengan kebenaran. Cara pandang itu membuat hatinya gelisah. Dia pun
mengadu kepada sang pembimbing.
"Itu lantaran
engkau telah menjadi pendusta," kata Khidir. "Engkau telah diberi
kesempatan yang, kalau mau, engkau akan mencapai kebenaran. Yang kau kejar
malah kepuasan pribadi."
"Kalau aku salah
jalan, kenapa aku bertemu dengan Anda, yang tak sembarang orang bisa?"
Khidir menjelaskan,
"Ketika engkau bersikap teguh mengarahkan pandangan pada kebenaran demi
kebenaran itu sendiri, aku pun punya alasan untuk hadir memberikan
bimbingan."
Alkisah, sang murid
sadar. Ia kembali dikuasai hasrat awal menemukan kebenaran walau itu bakal
merugikan dan tak berarti dia bakal mengecap rasa bahagia. Tanpa dia sadari,
tahu-tahu ia sudah berpindah tempat dari Taman (maqam) Pengetahuan ke Taman (maqam)
Kebenaran.
Edukasi toleransi
Kisah-kisah ini bukan
perkara umum yang mudah dan lazim. Yang kita saksikan bahkan para juru dakwah
kerap terpeleset mengkhotbahkan kebenaran bukan demi kebenaran itu sendiri.
Di lisan mereka, kebenaran berpihak dan berprasangka. Kita saksikan di layar
TV tempo hari, warga Sungailiat, Bangka Belitung, geram terhadap jemaah
Ahmadiyah di kampung mereka. Sekali lagi terjadi pengusiran terhadap yang
berbeda keyakinan.
Sampai kapan kita
harus menyaksikan pemerintah tak berdaya menghadapi masyarakat awam yang
merasa kapabel menghakimi sikap beragama yang berbeda? Kasus berulang-ulang
ini memperlihatkan pemerintah tak punya program menanggulangi konflik
sektarian.
Masyarakat yang
mengusir tetangga mereka tak mungkin diredam sebab mereka ibarat bidak catur
di tangan tokoh agama setempat. Pemerintah perlu menyusun program edukasi
toleransi bagi para tokoh masyarakat dan agama di seluruh negeri.
Sekadar contoh, ada
dua buku mengenai Islam di Barat yang sudah diterjemahkan ke bahasa
Indonesia: American Jihad, Islam After
Malcolm X (Steven Barboza, 1993)
dan Allah in the West: Islamic
Movements in America and Europe (Gilles
Kepel, 1997). Melihat judulnya sekilas saja mungkin orang akan merasa
menyaksikan Islam yang satu, yang monolitik, yang homogen, di dunia Barat,
hutan belantara materialisme dan rasionalisme.
Melihat sesuatu dari
kejauhan, orang riskan terjebak ilusi yang manipulatif. Para juru dakwah dan
warga masyarakat yang mengusir orang-orang berbeda keyakinan mungkin berilusi
tentang satu negeri tanpa heterogenitas kepercayaan dan agama. Negeri semacam
itu mustahil ada. Jika setiap kepala punya ilusi, ilusi yang satu dengan yang
lain akan bertabrakan dan saling mengingkari. Tak ada yang melihat kebenaran.
Mereka memeluk mimpi
itu dengan takabur, sedangkan pemerintah tak punya program untuk membangunkan
mereka dari tidur. Mereka mengejar kebenaran demi kepuasan hasrat pribadi,
bukan demi kebenaran itu sendiri. Mereka beranggapan kebenaran mudah
diidentifikasi tanpa kehadiran-bersama-dengan-yang-lain. Mereka terjebak di
labirin egoisme dan arogansi, yang menghasilkan tirani mayoritas.
Seperti Kaisar Liang
Wudi, orang kaya royal menyokong program dakwah dan pembangunan masjid. Para
dai giat menggelar acara zikir, tetapi tidak selalu ingat bahwa Nabi Muhammad
memerintahkan dakwah yang menghargai kemajemukan dan kedamaian. Nabi
menganjurkan diskusi atas perbedaan keyakinan, seperti yang dicontohkan
dengan para pendeta Nasrani dari Najran. Tak ada pemaksaan.
Masyarakat kita dewasa
ini terjangkiti semacam antusiasme spiritual yang bersifat kebendaan
(lahiriah) melulu. Kesalehan hanya berarti rajin sembahyang dan menghadiri
pengajian, royal menyumbang ke masjid/panti asuhan, tak pelit menyembelih
hewan kurban, sering umrah dan berhaji. Sementara rohani mereka tak melembut,
tak lapang dada menghargai hak hidup mazhab lain, yang hakikatnya merupakan
hak dan urusan Allah. Bahkan, sebagian dari mereka lebih suka mematahkan
ketimbang meluruskan yang dinilai bengkok.
Yang memprihatinkan,
di antara orang-orang intelek, yang seharusnya menjadi panutan toleransi,
justru menyimpan sentimen sektarian yang akut dan berpandangan picik terhadap
perbedaan keyakinan dan bahkan ras. Pemerintah harus menunjukkan kemauan
politik plus keberanian untuk menghentikan kekerasan sektarian yang terus
terjadi dan mungkin akan semakin masif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar