Suriah-Denmark
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom “KREDENSIAL”
Kompas Minggu
|
KOMPAS, 21
Februari 2016
Apa yang membedakan
Suriah dan Denmark? Pertanyaan itu diajukan oleh Danis Runciman, seorang
profesor politik dari Universitas Cambridge, Inggris. Jawaban pertanyaan itu
dijelaskan Runciman dalam bukunya, Politics
(2014).
Secara ringkas,
Runciman menjelaskan bahwa yang membedakan Suriah-yang sekarang dikuasai
perang, yang dibanjiri darah rakyatnya yang menjadi korban perang, yang
dicemari oleh sepak terjang dan keganasan kelompok bersenjata Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS), yang ditinggalkan jutaan rakyatnya untuk mengungsi,
dan yang tak mampu memberi makan rakyatnya- dan Denmark -yang makmur,
rakyatnya hidup, aman, nyaman, dan damai, yang melindungi rakyatnya, yang
beradab, dan tentu yang maju dan modern-adalah politik.
Politik telah membantu
Denmark menjadi seperti sekarang ini. Politik juga telah memberikan andil
pada Suriah menjadi seperti sekarang ini. Akan tetapi, itu bukan berarti
bahwa politik bertanggung jawab atas segala sesuatu menjadi baik dan menjadi
buruk di suatu tempat. Politik, menurut Plato, adalah the art of caring for souls, meaning that the duty of political
rulers is to cultivate moral virtue or excellence in their citizens, seni
merawat jiwa. Karena itu, tugas politisi adalah menanamkan nilai-nilai
kebajikan pada para warganya. Ini berarti, politik mendasarkan pada komitmen
terhadap nilai-nilai kebajikan.
Yang terjadi di
Suriah, politik sudah kehilangan maknanya (juga karena aktor-aktor dari
luar). Di sana, politik bukan lagi seni "nguwongke"
para warga negara atau memuliakan jiwa-jiwa mereka, menanamkan nilai-nilai
kebajikan, tetapi bagaimana membalas dan berusaha saling menghancurkan.
Apa yang terjadi di
Suriah sekarang ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana politik
dijalankan. Revolusi pecah di Suriah, Maret 2011, karena politik yang
dijalankan oleh rezim yang berkuasa di Damaskus tidak memberikan keadilan dan
juga kesejahteraan bagi rakyat. Revolusi Suriah adalah revolusi rakyat kecil
yang merasa diperlakukan tidak adil. Inilah revolusi yang dikobarkan oleh akar
rumput, terutama anak-anak muda usia belasan dan orang-orang dewasa usia
antara dua puluh dan tiga puluh. Mereka memprotes rezim karena diperlakukan
secara brutal, merebaknya korupsi, pemerintahan represif, dan elite penguasa
yang sangat militeristik.
Revolusi yang
mengguncang Tunisia dan Mesir memberikan kekuatan pada orang-orang Suriah.
Tidak pernah ada yang menduga bahwa revolusi yang semula damai menuntut
perubahan rezim dan demokratisasi Suriah, kini menjelma menjadi pergolakan
berdarah-darah yang telah menewaskan 11,5 persen dari sekitar 23 juta
penduduk Suriah. Jutaan lainnya mengungsi meninggalkan kampung halamannya,
mencari sudut-sudut negeri yang dianggap masih aman, dan jutaan lainnya lagi
meninggalkan Suriah.
Tidak ada yang bisa
memperkirakan, bahkan mereka yang terlibat dalam peperangan sekalipun,
bagaimana akhir dari revolusi di Suriah sekarang ini. Apakah akhirnya Suriah
masih tetap seperti sebelum perang atau terpecah-pecah? Permainan politiklah
yang akan menentukan masa depan negeri itu, termasuk kepentingan politik
Rusia, AS, Iran, Arab Saudi, Turki, dan negara Arab lainnya yang akan
menentukan masa depan negeri itu. Inilah keganasan politik di Suriah.
Definisi yang
disodorkan Plato sangat jelas: politik mendasarkan pada komitmen terhadap nilai-nilai
kebajikan. Sebab, tujuan politik adalah memperjuangkan kesejahteraan umum;
memperjuangkan keadilan sosial.
Tujuan politik seperti
itu hanya bisa diwujudkan oleh politisi otentik. Artinya, politisi yang tidak
ahistoris dengan permasalahan-permasalahan rakyat; persoalan-persoalan riil
yang dihadapi masyarakat. Sebab, ia harus memutuskan kebijakan untuk seluruh
rakyat. Ini berarti politisi otentik adalah politisi yang mendahulukan
kepentingan umum terhadap kepentingan pribadi juga terhadap kepentingan
golongan atau kepentingan partainya.
Politisi otentik tentu
bukan politisi instan (karena pola perekrutan di parpol tidak jelas, yang
mendadak jadi politisi karena alasan darah biru, punya modal, pengerek suara,
dan sebagainya), juga bukan politisi selebritas (yang senang di panggung dan
menebar pesona atau memang benar-benar seorang selebritas yang mengadu
peruntungan di panggung politik), juga bukan politisi pengusaha (yang masuk
ke panggung politik untuk kepentingan usahanya semata, membangun lobi), dan
tentu juga bukan politisi oportunis (yang mudah pindah-pindah partai, lompat
pagar bergantung arah angin serta mengandalkan uang untuk mewujudkan
impiannya).
Mereka bukan politisi
otentik, melainkan aktor politisi. Mengutip pendapat Aristoteles, manusia
adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan
tujuan kepada orang lain melalui "pertunjukan dramanya sendiri".
Dalam mencapai tujuannya itu, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku
yang mendukung perannya; peran sebagai politisi.
Apabila itu yang
terjadi politik kehilangan jiwanya; politik kehilangan nilai
"keadaban"-nya. Inilah yang disebut sebagai politik tanpa politisi.
Politik tidak berjiwa, politik tidak berkeadaban karena banyak orang berpikir
bahwa dirinya mampu menjadi politisi; dan kemudian terjun di dunia politik.
Mereka beranggapan bahwa setelah memenangi pemilihan, setelah meneriakkan
janji-janji, mengucapkan sumpah jabatan, dilantik menjadi anggota legislatif
atau eksekutif, blusukan dan membagi sembako, pidato di sana-sini, semua
sudah selesai. Dengan itu, mereka merasa dan berpikir sudah pantas disebut
politisi.
Padahal, politik
membutuhkan lebih dari sekadar itu semua. Politik adalah tentang pilihan
kolektif yang mengikat sekelompok orang (politisi) untuk hidup dalam cara
tertentu, khusus dan diikat oleh nilai-nilai kebajikan. Politik juga
membutuhkan kesamaan antara pikiran serta membutuhkan konsistensi antara
pikiran, ucapan, dan tindakan. Politik membutuhkan hati, bela rasa (compassion), dan komitmen yang
berkelanjutan tanpa henti, seumur hidup. Dengan kata lain, politik adalah
keabadian karena menjadi politisi adalah vocatio,
sebuah panggilan, sehingga dijalani dengan segenap hati dan pikiran, jiwa dan
raga. Bukan sekadar untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan serta menaikkan
gengsi, melainkan merawat jiwa.
Begitulah beda Suriah
dan Denmark, dan mungkin juga Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar