Kerinduan PKB
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara;
Dosen FH Universitas Khairun
Ternate
|
KORAN SINDO, 10
Februari 2016
Musyawarah Kerja
Nasional (Mukernas) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Convention Center berakhir sudah. Pada pembukaannya,
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo—yang beberapa minggu lalu melakukan
ground breaking pembangunan rel kereta api cepat, yang hukumnya kacaubalau
itu—turut hadir.
Manis, akhir mukernas
itu. Bukan karena tidak ada dentuman perselisihan pendapat antarsesama
fungsionaris, tetapi karena dua gagasannya. Gagasannya adalah gubernur
dipilih oleh DPRD serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kalau tak dibubarkan,
tampaknya tidak bisa tak ditata. Apa yang menyentak mereka sehingga mengakhiri
mukernasnya dengan menelurkan dua kerinduan yang cukup beralasan itu? DPD
bukan tak penting dianalisis, tetapi pemilihan gubernur, dengan rimba raya
akibat yang menyertainya, menjadi indah untuk segera dianalisis.
Angsa Bertingkah Buaya
Pemilihan
langsung—entah diketahui oleh PKB atau tidak, betapapun tak usah berlebihan
mencemaskannya—dalam sejarahnya mewakili cara pandang khas kaum berduit
mempertahankan duit, modal kekuasaannya. Duit-duit itu sampai ke tangan
pemilih, dalam kasus Romawi kuno, melalu sindikat jual-beli suara.
Inilah, yang dalam
sejarah konstitusionalisme klasik, dialami oleh Marcus Tulius Cicero, juris
dan negarawan besar Romawi kuno dalam pemilihan konsul kala itu. Pemilihan
konsul yang diikuti Cicero—tulis jurnalis kawakan peraih British Press Award
Robert Harris—harus berhadapan dengan para cukong.
Marcius Figulus,
karena itu, dibujuk oleh beberapa calon untukmengajukankepada senat satu
hukum baru. Hukum ini, dalam permintaan mereka, secara ketat menentang
malapraktik pemilu, dan diharapkan menjadi lex vigula. Masa Cicero, jelas
bukan masanya Earl Grey, politisi kawakan Inggris abad ke-19. Tetapi,
terbatasnya hak pilih universal dalam kasus Romawi juga dialami Inggris pada
1832.
Sadar bahwa hak pilih
itu harus diperluas, rakyat Inggris menuntut parlemen memperluasnya.
Manisnya, tuntutan itu direspons oleh parlemen dengan membentuk First Reform
Act. Menariknya, betapa pun tuntutan itu direspons, diikuti dengan
pelembagaan sistem pemungutan suara secara rahasia, tetapi pada 1865, tahun
reformasi fase kedua, muncul lagi gerakan rakyat mengganyang praktik curang
dalam pemilu.
Praktik itu, tulis
Daron Acemoglu dan James A Robinson, ditandai dengan pemilih ditraktir,
sebuah modus transaksi jual beli suara; pemilih diberi uang, makanan, atau
minuman keras. PKB mungkin tak akan mengatakan bahwa pemilihan gubernur,
bupati, dan wali kota secara langsung hanya indah dalam nama dan esensinya.
Kasuskasus pemilihan
kepala daerah (pilkada) yang sedang diadili di Mahkamah Konstitusi saat ini
serupa dengan yang lalu-lalu. Misalnya manipulasi suara, penyelewengan dana
bansos, serta ke-culasan parsial penyelenggara pilkada.
Soal Bernegara
Hebatnya, pemikiran
konstitusionalisme mutakhir menempatkan pemilihan langsung presiden, gubernur,
bupati, dan wali kota sebagai cara, satu-satunya, mengisi jabatan-jabatan itu.
Cara ini, entah apa epistemologisnya, secara serampangan dianggap sebagai
satu-satunya cara demokratis. Di luar cara itu, jelas jawabnya, tidak
demokratis. Demokrasi dalam langgam itu—tak mungkin tak dikenali oleh
PKB—telah direduksi.
Pada aras hakikat,
demokrasi sama sekali tidak sama dengan pemilihan, langsung atau tidak
langsung. Pada aras ini, hakikat, tentu diketahui oleh PKB, demokrasi
berinduk pada kerinduan, sedikit manipulatif, mengembalikan dan menempatkan
setiap orang dalam sifat kodratinya sebagai makhluk mulia. Kemuliaan itu ada
dan dimiliki setiap orang karena kodrat alamiahnya, bukan disematkan
penguasa.
Dalam sejarahnya yang
menyandang sifat itu, mulia, hanyasegelintirorang, berkat belas kasih
monarki. Walau bukan satu-satunya sebab, kenyataan itu telah menjadi sebab
terbesar, sekaligus alasan tervalid eksistensi absolutisme, untuk tak
mengatakan eksistensi para tiran. Pengakuan atas eksistensi kodrati sebagai
makhluk mulia, mengubah status mereka dari naturalis ke civilis.
Inilah pangkal lahir
dan terbentuknya, apa yang disebut Bung Hatta dengan, daulat rakyat. Sifat
tatanan ke-hidupan nasional, karena itu, adalah polity . Tatanan ini
menyangkal Tuhan yang berabad- abad ditunjuk, oleh monarki sebagai sumber
kekuasaan, dan raja sebagai bayangannya di muka bumi. Setiap orang yang telah
diakui haknya, berstatus merdeka (civilian).
Dalam hakikatnya,
setiap orang memiliki hak, dalam arti kekuasaan dan bertanggung jawab atas
dirinya sendiri. Bukan tak bisa diurusi, diperintah, tetapi untuk tujuan itu
harus didahului dengan persetujuan mereka, yang untuk sebagian besar negeri
beradab di dunia, diwakilkan kepada wakil-wakilnya di parlemen. Itulah akar
demokrasi dan hakikat pemilihan.
Pemilihan langsung,
dengan rimba raya akibatnya sedari dulu hingga kini, jujur, beralasan
didendangkan sebagai pesta ”sesat” demokrasi, dan ”demokrasi sesat.” Berpesta
dalam kesesatan demokrasi, sungguh tipikal bangsa berperadaban, dalam
perspektif Profesor Salim Said, rendah. Menyamakan demokrasi dengan pemilihan
langsung sama nilainya dengan mengecoh akal sehat bangsa itu.
PKB jelas tak
menghendakinya. Pada titik itu, rindu PKB, pasti bukan sekadar kembalikan
pemilihan gubernur ke DPRD, melainkan lebih dari itu. PKB sedang mengajak
parpol lain untuk rindukanlah, sekali lagi, gubernur, bupati, dan wali kota
dipilih secara tidak langsung.
Demokrasi menempatkan
keagungan otonomi individu dalam esensinya, dan menjadikan pemerintah rakyat
sebagai norma dasarnya, tetapi institusionalisasi pemilihan langsung sebagai
satusatunya wujud pemerintahan rakyat, justru membelakangi dunia. Akankah
rindu, untuk tak menyifatkannya sebagai preferensi PKB, berbuah manis?
Konstitusionalisme
mutakhir menunjukkan parpol, sesuatu yang sedari akhir abad 18 telah
menjengkelkan, mengharuskan PKB meniti ragam preferensi di belantara politik
nasional serasional mungkin. Deliberasi mungkin mesti dipilih PKB dalam
titian penuh rimba preferensi parpol kini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar