Senin, 22 Februari 2016

Sukab dan Apa Itu Normal

Sukab dan Apa Itu Normal

Seno Gumira Ajidarma ;   Wartawan panajournal.com
                                                     KOMPAS, 21 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika matahari lengser di sebelah barat, warung Mang Ayat mulai hidup kembali. Sukab melompat turun dari truk kosong. Di muka warung, terdapatlah seorang pengamen berbusana seronok sedang melenggak-lenggok. Suaranya seperti ayam hutan, tetapi parasnya elok rupawan selayaknya perempuan nan tahu berdandan.

Sukab tahu, para pengamen terjamin mendapat Rp 2.000, di warung Mang Ayat, entah karena kebaikan hati, entah supaya cepat pergi. Waktu masuk warung, obrolan perihal pengamen bermodal gitar kotak sabun dengan senar karet ban itu sudah seru.

”Berapa kali Rp 2.000, dalam sehari harus dia dapatkan agar bisa makan, membayar sewa kamar, dan mengirim uang ke kampung? Mereka pekerja keras,” terdengar suara Bahlul tukang obat.

”Coba lihat, mereka berjuang untuk hidup! Siapa pun yang pernah merasakan bagaimana berjuang untuk hidup tidak layak melecehkan, merendahkan, menghina, dan membeda-bedakan mereka sebagai warga negara, apalagi mengatasnamakan agama, melainkan sebaliknya menghormati hak hidup mereka sebagaimana menghormati diri sendiri,” timpal Rohayah, tukang sapu gedung tinggi, yang menjadi istri Mamik, penjual kopi saset.

”Tapi bencong kan tidak normal?”

Semua orang terdiam. Ternyata yang bersuara adalah Bang Otot, preman kampung yang suka memeras Mang Ayat.

Sukab angkat bicara.

”Ngomong-ngomong, Bang Otot, apakah normal itu?”

Bang Otot terperangah.

”Normal ya normal! Kayak gitu aja elu tanyain!”

Wajah Sukab yang dingin tidak berubah.

”Ini penting. Bang Otot tahu atau tidak apa yang disebut normal?”

Mengikuti adatnya, tangan Bang Otot udah gatel pengin mengembat Sukab. Namun terlalu banyak orang di warung itu yang belum diketahuinya, apakah akan menjadi takut atau malah mengeroyoknya.

”Apakah Bang Otot tahu, normal adalah anggapan yang merupakan produksi kuasa wacana dominan?”

Bang Otot hanya memelintir kumis dengan mata menahan marah.

”Apakah Bang Otot tahu, proses normalisasi adalah bagian dari karakter disipliner lembaga-lembaga modern, alias praktik dan wacana tempat tubuh-tubuh patuh menjadi sasaran, dimanfaatkan, diubah, dan diperbaiki?”

Namun Sukab tidak menunggu jawaban.

”Apakah Bang Otot paham, normalisasi merujuk proses tempat subyek individual dapat diedarkan di sekitar suatu sistem dengan kategori-kategori bertingkat, terukur, dan berselang-seling, membentuk aturan-aturan sosial dan budaya?”

Sukab meneruskan sambil menyambar pisang goreng.

”Apakah Bang Otot setidak-tidaknya pernah dengar, yang disebut disiplin melibatkan organisasi atas subyek di dalam ruang melalui praktik, latihan, dan standardisasi yang terpilah-pilah dalam penataan untuk memproduksi subyek, dengan kategorisasi dan penamaan dalam pengaturan hierarkis melalui efisiensi, produktivitas, dan normalisasi yang rasional sehingga dalam kuasa melakukan kategorisasi itulah yang berbeda dan yang lain terjuluki sebagai tidak normal, meski dalam dirinya sendiri mereka itu normal, sangat amat normal, bagaikan tiada lagi yang lebih normal, begoooo?”

Bang Otot menelan ludah. Mulut ataupun otaknya sendiri sudah terkunci, meski mata semua orang yang memandangnya seperti ingin tahu betul dirinya bisa menjawab apa. Bang Otot adalah golongan manusia yang jika berpendapat tidak merasa perlu mempelajari apa yang menjadi pendapatnya tersebut. Ia menggebrak meja lantas pergi.

Abang Dosen di sudut berkerut kening, baginya mudah saja melacak pemikiran Michel Foucault, yang sering dikutip mahasiswa yang baru mulai belajar diskusi itu, tapi ia tidak bisa menduga bagaimana Sukab mengenalnya.

”Dari warnet,” ujar Jali tukang ojek, ”upah hariannya sebagai tukang batu habis untuk klak-klik-klak-klik.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar