Sukab dan Apa Itu Normal
Seno Gumira Ajidarma ;
Wartawan panajournal.com
|
KOMPAS, 21
Februari 2016
Ketika matahari
lengser di sebelah barat, warung Mang Ayat mulai hidup kembali. Sukab
melompat turun dari truk kosong. Di muka warung, terdapatlah seorang pengamen
berbusana seronok sedang melenggak-lenggok. Suaranya seperti ayam hutan,
tetapi parasnya elok rupawan selayaknya perempuan nan tahu berdandan.
Sukab tahu, para
pengamen terjamin mendapat Rp 2.000, di warung Mang Ayat, entah karena
kebaikan hati, entah supaya cepat pergi. Waktu masuk warung, obrolan perihal
pengamen bermodal gitar kotak sabun dengan senar karet ban itu sudah seru.
”Berapa kali Rp 2.000,
dalam sehari harus dia dapatkan agar bisa makan, membayar sewa kamar, dan mengirim
uang ke kampung? Mereka pekerja keras,” terdengar suara Bahlul tukang obat.
”Coba lihat, mereka
berjuang untuk hidup! Siapa pun yang pernah merasakan bagaimana berjuang
untuk hidup tidak layak melecehkan, merendahkan, menghina, dan
membeda-bedakan mereka sebagai warga negara, apalagi mengatasnamakan agama,
melainkan sebaliknya menghormati hak hidup mereka sebagaimana menghormati
diri sendiri,” timpal Rohayah, tukang sapu gedung tinggi, yang menjadi istri
Mamik, penjual kopi saset.
”Tapi bencong kan
tidak normal?”
Semua orang terdiam.
Ternyata yang bersuara adalah Bang Otot, preman kampung yang suka memeras
Mang Ayat.
Sukab angkat bicara.
”Ngomong-ngomong, Bang
Otot, apakah normal itu?”
Bang Otot terperangah.
”Normal ya normal!
Kayak gitu aja elu tanyain!”
Wajah Sukab yang
dingin tidak berubah.
”Ini penting. Bang
Otot tahu atau tidak apa yang disebut normal?”
Mengikuti adatnya,
tangan Bang Otot udah gatel pengin mengembat Sukab. Namun terlalu banyak
orang di warung itu yang belum diketahuinya, apakah akan menjadi takut atau
malah mengeroyoknya.
”Apakah Bang Otot
tahu, normal adalah anggapan yang merupakan produksi kuasa wacana dominan?”
Bang Otot hanya
memelintir kumis dengan mata menahan marah.
”Apakah Bang Otot
tahu, proses normalisasi adalah bagian dari karakter disipliner
lembaga-lembaga modern, alias praktik dan wacana tempat tubuh-tubuh patuh
menjadi sasaran, dimanfaatkan, diubah, dan diperbaiki?”
Namun Sukab tidak
menunggu jawaban.
”Apakah Bang Otot
paham, normalisasi merujuk proses tempat subyek individual dapat diedarkan di
sekitar suatu sistem dengan kategori-kategori bertingkat, terukur, dan
berselang-seling, membentuk aturan-aturan sosial dan budaya?”
Sukab meneruskan
sambil menyambar pisang goreng.
”Apakah Bang Otot
setidak-tidaknya pernah dengar, yang disebut disiplin melibatkan organisasi
atas subyek di dalam ruang melalui praktik, latihan, dan standardisasi yang
terpilah-pilah dalam penataan untuk memproduksi subyek, dengan kategorisasi
dan penamaan dalam pengaturan hierarkis melalui efisiensi, produktivitas, dan
normalisasi yang rasional sehingga dalam kuasa melakukan kategorisasi itulah
yang berbeda dan yang lain terjuluki sebagai tidak normal, meski dalam
dirinya sendiri mereka itu normal, sangat amat normal, bagaikan tiada lagi
yang lebih normal, begoooo?”
Bang Otot menelan
ludah. Mulut ataupun otaknya sendiri sudah terkunci, meski mata semua orang
yang memandangnya seperti ingin tahu betul dirinya bisa menjawab apa. Bang
Otot adalah golongan manusia yang jika berpendapat tidak merasa perlu
mempelajari apa yang menjadi pendapatnya tersebut. Ia menggebrak meja lantas
pergi.
Abang Dosen di sudut
berkerut kening, baginya mudah saja melacak pemikiran Michel Foucault, yang
sering dikutip mahasiswa yang baru mulai belajar diskusi itu, tapi ia tidak
bisa menduga bagaimana Sukab mengenalnya.
”Dari warnet,” ujar
Jali tukang ojek, ”upah hariannya sebagai tukang batu habis untuk
klak-klik-klak-klik.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar