Meruntuhkan Piramida Kekerasan
Hasibullah Satrawi ;
Pengamat Politik Timur Tengah
dan Dunia Islam;
Direktur Aliansi Indonesia Damai
(Aida)
|
KOMPAS, 20
Februari 2016
Serangan terorisme di
Jalan MH Thamrin yang lalu, menunjukkan bahwa aksi kekerasan dan konflik
masih menjadi persoalan serius bagi bangsa ini. Alih-alih selesai, kekerasan
dan konflik belakangan acap semakin masif bahkan meluas, dari kekerasan yang
bercorak teroristis hingga kekerasan yang bercorak sektarianistis.
Sebagai contoh,
konflik yang bercorak sektarian selama ini sangat jarang terjadi di negeri
ini. Yang kerap terjadi bersifat antaragama. Kalaupun terjadi konflik yang
bersifat intra-agama, hal itu acap diperlakukan dengan logika dan semangat
konflik antaragama (seperti yang dialami Ahmadiyah).
Hal ini berbanding
terbalik dengan konflik yang kerap terjadi di banyak negara di Timur Tengah.
Di sana konflik yang acap terjadi di wilayah itu bersifat sektarian (Syiah
dan Sunni). Konflik antaragama (Muslim dan non-Muslim) sangat jarang terjadi.
Namun, dalam beberapa
tahun terakhir, khususnya setelah Musim Semi Arab gagal di Timur Tengah,
konflik sektarian juga mengalami peningkatan tajam di Indonesia. Bahkan,
konflik sektarian cenderung menjadi arus utama konflik di negeri ini.
Ironisnya adalah bahwa
peningkatan konflik sektarian di Indonesia terjadi di saat konflik antaragama
yang ada acap dan kekerasan teroristis tak pernah benar-benar selesai hingga
yang terjadi adalah "konflik menara kembar", bukan "tukar guling
konflik", alih-alih menjadi negeri bebas konflik.
Piramida kekerasan
Ibarat bangunan
piramida, aksi kekerasan dapat dibagi dalam tiga tahap. Pertama, tahap
radikalisme alias keras dalam pikiran. Ini adalah tahap yang paling dasar
sekaligus paling banyak secara jumlah. Pada tahap ini radikalisme masih dalam
bentuk keyakinan dan pemikiran. Yaitu pemikiran yang secara garis besar
bersifat eksklusif dan merasa paling benar. Sedangkan kelompok lain acap
disebut dengan pelbagai macam label negatif yang tak pantas diterima secara
baik dan setara (qabulul akhar).
Secara jumlah, tahap
kekerasan ini mendapat dukungan paling banyak, khususnya bila dibandingkan
dengan dua tahap lain yang akan segera disebutkan. Setidak-tidaknya, seperti
pernah dibahas ahli radikalisme Mesir, Khalil Abdul Karim, dalam bukunya
berjudul Al-Islam: karena setiap
agama mempunyai klaim eksklusivitas sebagai pemegang kebenaran (al-haqiqah al-muthlaqah) dan umat
pilihan (al-ishthifa`iyah).
Namun, karena
radikalisme pada tahap ini bercorak pemikiran dan keyakinan, maka acap tak
terlihat secara kasatmata, bahkan mungkin tak dianggap sebagai soal serius.
Padahal, kekerasan pada tahap ini justru bisa menjadi dasar bagi
kekerasan-kekerasan di tahap berikutnya.
Kedua, tahap
ekstremisme. Berbeda dengan radikalisme di tahap pertama, ekstremisme sebagai
tahap kedua dari piramida kekerasan sudah tak lagi bersifat keyakinan maupun
pemikiran semata, melainkan sudah dalam bentuk tindakan-tindakan yang
bersifat anarkistis, mulai dalam bentuk omongan hingga dalam bentuk aksi
tindakan nyata. Dan, persis seperti bentuk bangunan piramida, para pelaku
maupun pendukung kekerasan pada tahap ini lebih kecil secara jumlah bila
dibandingkan dengan jumlah tahap pertama.
Pada tahap kedua ini,
kekerasan yang tak lain adalah bagian dari penolakan terhadap yang lain mulai
disampaikan secara lisan. Hingga pelbagai macam label negatif, seperti
penyesatan, pemurtadan, pemusyrikan, bahkan pengafiran digunakan untuk
kelompok yang lain. Bahkan, aksi kekerasan secara fisik pun mulai digunakan
untuk menegakkan apa yang dianggap benar dalam dirinya sekaligus memberantas
apa yang dianggap sesat, buruk, dan kufur dalam diri maupun kelompok lain.
Meski demikian,
kekerasan pada tahap kedua ini masih bersifat terbatas. Setidak-tidaknya
karena kekerasan pada tahap ini masih dilakukan dengan cara-cara yang
konvensional dengan alat seadanya, seperti bambu, yang jauh dari kesan
terorganisasi dan terlatih secara rutin.
Inilah bedanya tahap
kedua dengan tahap ketiga, yaitu tahap terorisme. Pada tahap ini keyakinan
eksklusif yang ada tak lagi hanya diperjuangkan melalui aksi-aksi kekerasan
yang bersifat konvensional, melainkan melalui perjuangan bersenjata yang
terorganisasi dan terlatih. Termasuk juga dengan menggunakan bom di
tempat-tempat tertentu yang tak jarang justru menimbulkan korban dari
orang-orang yang tidak bersalah.
Secara jumlah, para
pelaku maupun pendukung kekerasan pada tahap ini jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan dua tahap sebelumnya.
Namun, karena
menempati posisi puncak dalam bangunan piramida dan menjadi perhatian banyak
pihak, maka tahap ketiga ini acap dianggap sebagai soal paling serius dan
mendapat perhatian lebih besar dari semua pihak, khususnya dari aparat dan
pengambil kebijakan.
Padahal, sebagaimana
terlihat jelas di atas, potensi ancaman dari tiga tahap dalam bangunan
piramida ini bersifat setara arena semuanya bersumber dari pemikiran dan
keyakinan yang eksklusif dan tidak terbuka terhadap kelompok lain dengan
seluruh keyakinan dan klaim kebenaran yang juga dimilikinya.
Keberagamaan inklusif
Di sinilah pentingnya
sikap keberagamaan inklusif yang menekankan pada keterbukaan terhadap
kebenaran maupun keyakinan kelompok lain tanpa harus menghancurkan kebenaran
maupun keyakinan diri sendiri. Dari segi tradisi, keberagamaan inklusif
seperti ini sesungguhnya bukanlah hal baru, khususnya di kalangan pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam paling klasik di Nusantara.
Hal tersebut di atas
bisa dibuktikan dengan sejumlah tradisi yang bahkan telah menjadi mantra di
kalangan kaum santri, seperti ungkapan "lihatlah yang diucapkan,
janganlah lihat siapa yang mengucapkan" (unzhur ma qila wala tanzhur man qala).
Bahkan, Imam Syafii
yang tak lain adalah panutan mazhab fikih (as-syafi'iyah) bagi mayoritas umat Islam di Indonesia sangat
terkenal dengan ungkapannya; "pandanganku benar, tetapi ada kemungkinan
salah, sedangkan pandangan orang lain salah, tetapi ada kemungkinan
benar" (ra`yi shawabun yahtamilu
al-khatha`, wara`yu ghayriy khatha`un yahtamilu as-shawab).
Dalam bahasa
masyarakat awam, inklusivisme seperti di atas tak ubahnya meyakini kecantikan
atau ketampanan pasangan yang tidak harus dilakukan dengan menjelek-jelekkan
pasangan orang lain, terlebih lagi dengan mencoreng muka pasangan orang lain.
Semua orang bisa mengklaim kecantikan maupun ketampanan pasangannya tanpa
harus menjelek-jelekkan paangan orang lain.
Inilah yang saat ini
dibutuhkan oleh semua pihak untuk menghadapi tantangan radikalisme. Bila
dalam piramida kekerasan radikalisme bisa ditumbuhkan ekstremisme dan
terorisme, inklusivisme justru bisa meruntuhkan piramida kekerasan tersebut
mengingat inklusivisme bisa mengantarkan seseorang kepada sikap toleransi dan
menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagai hasil ijtihad politik
kenegaraan terbaik dari para ulama Nusantara) yang tidak memberikan ruang
bagi kekerasan apa pun.
Ini penting ditegaskan
mengingat di satu sisi tujuan akhir dari kelompok radikal di tiga tahapnya,
seperti di atas adalah pembentukan negara agama. Dan, di sisi lain, kelompok
radikal acap memahami NKRI sebagai konsep kenegaraan yang jauh dari
nilai-nilai keagamaan. Padahal, NKRI justru lahir dari tangan para ulama
Nusantara dengan ramuan nilai-nilai luhur dan keterbukaan yang ada di dalam
agama.
Orang yang taat secara
agama tidak harus menutup diri dari kelompok lain dan membentuk negara agama
melalui perjuangan sarat kekerasan, seperti dilakukan kelompok radikal. Akan
tetapi, orang yang taat beragama harus menerima yang lain dan mendukung NKRI
melalui perjuangan damai dan bersifat konstitusional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar