Posisi Tawar Rakyat dan Oligarki
Ani Soetjipto ;
Pengajar di FISIP UI
|
KOMPAS, 20
Februari 2016
Harian Kompas , pada
11, 12, dan 13 Januari 2016 menyajikan ulasan tentang pemilihan kepala daerah
serentak yang berlangsung 9 Desember
2015. Dalam ulasannya, Kompas menyatakan
terjadinya perubahan pola kepemimpinan di daerah dengan kecenderungan peningkatan pemimpin
usia muda dan berjenis kelamin
perempuan. Kompas juga mencatat terjadinya pergeseran ke arah
"kedewasaan" dan kematangan
dari pemilih yang menginginkan adanya perubahan dari situasi yang mereka
hadapi pada hari ini. Masyarakat
memberikan sinyal bahwa mereka menunggu pemimpin merakyat , mampu bekerja
cepat, dan kerinduan itu semakin
didorong karena adanya contoh kepala daerah yang dapat membawa perubahan di daerahnya.
Fenomena tersebut
menjelaskan mengapa banyak kandidat petahana yang kalah atau tidak dipilih
dalam pemilihan kepala daerah serentak. Masyarakat mengalami kejenuhan atas
prestasi yang biasa-biasa saja dan menginginkan perubahan yang lebih nyata.
Pilkada dan demokrasi
Referensi tentang
pemilu dalam konteks demokrasi biasanya berargumen bahwa pemilu adalah
ajang penting untuk terpilihnya
pemimpin lewat prosedur demokrasi yang dilakukan dengan cara-cara yang akuntabel. Lensa pandang seperti ini memandang bahwa
pemimpin yang terpilih telah melalui cara dan jalan demokratis karena
mereka harus meyakinkan pemilih mengapa mereka harus
dipilih dengan tawaran program dan janji yang akan membuat pemilih tertarik
untuk memilih atau tidak akan memilih mereka.
Cara pandang ini hanya
melihat rakyat pemilih sebagai penonton pasif, seperti kontes atau
pertandingan. Siapa pun yang memenangi pemilihan, kebijakan yang diambil tak
akan ada urusannya dengan kehidupan rakyat karena pemimpin sesungguhnya
mewakili partai pengusungnya.
Ketika pemilih
dipandang sebagai penonton pasif, maka pilkada menjadi ajang sirkulasi elite
yang berputar di kalangan kelompok
terbatas. Sentralisasi kekuasaan
kepada kelompok kecil, seperti itu sering disebut sebagai oligarki. Oligarki
bentuknya bisa beragam. Di Indonesia, oligarki bernuansa kekerabatan dan kelompok bisnis masih mendominasi wajah
pemimpin baru hasil Pilkada 2015
Persoalan lain dalam
pilkada adalah politik uang. Pemilih tidak akan merasakan kemenangan
atau kekalahan karena sesungguhnya yang merasakan kemenangan atau kekalahan
adalah sponsor yang berada di belakang layar,
yaitu para penyandang dana dan kelompok
yang memiliki kekuatan finansial yang
mensponsori para kandidat.
Dengan kata lain,
partisipasi dalam pemilu hanya dimaknai sebagai memilih pemimpin yang "baik" tanpa agregasi dandeliberasi
kepentingan. Dampaknya adalah penguatan oligarki partai politik yang
makin membuat timpang relasi antara pemimpin dengan masyarakat pemilih
Lensa pandang lain, yang jarang disuarakan oleh
para pengamat pemilu dan mereka yang menekuni studi tentang kepemiluan,
adalah memaknai pilkada sebagai arena
untuk penguatan pendewasaan
kewargaan. Menjadikan pemilu
sebagai ajang yang bisa berdampak
kepada distribusi sumber daya yang
berkeadilan bagi masyarakat.
Makna simbolik
menjadikan pemilih berdaya sebagai warga negara adalah arena penting yang harus terus disuarakan dan
diperjuangkan. Pemilu adalah ajang di
mana harapan diletakkan bagi perubahan kondisi dan situasi , terutama untuk
kalangan yang tersisih dan tidak
beruntung yang berharap kondisi hidup mereka lebih baik lewat perubahan kebijakan/legislasi sebagai
hasil proses pemilihan demokratis.
Pertanyaannya adalah
bagaimana memperkuat posisi tawar rakyat dalam pilkada? Hubungan relasional
seperti apa yang harus dibangun antara konstituen dengan kandidat pemimpin
dalam pilkada?
Kita tahu bahwa
tindakan memilih/mencoblos dalam pilkada
sejatinya merupakan tindakan merdeka, yang dalam teorinya seharusnya
lepas dan bebas dari pengaruh siapa pun, baik individu lain atau kelompok di
mana mereka selama ini berafiliasi.
Pilihan individual itu
ketika diagregasikan dan dijumlahkan menghasilkan suara terbanyak. Suara terbanyak adalah basis bagi
terpilihnya pemimpin baru. Dalam literatur, pemimpin ini dianggap
merepresentasikan pemilih. Referensi klasik memaknai representasi melalui
agregat statistik bukan berdasarkan
agregat kepentingan dan identitas.
Situasi inilah yang
digugat. Keragaman identitas dan kepentingan masyarakat hilang dalam kontes
pilkada. Partai dalam pilkada baru sebatas bisa menyediakan
paket kandidat yang disodorkan kepada para pemilih tanpa menyediakan menu
tawaran program bagaimana menjawab tuntutan kepentingan konstituen dengan
identitas yang beragam.
Yang dibutuhkan adalah
program kerja setelah terpilih yang bisa merespons kebutuhan konstituen. Dalam pilkada , yang terekam hanya foto
kandidat dalam bentuk baliho yang
tersebar, tetapi misi dan program
konkret apa yang ditawarkan kandidat
jika terpilih tidak terdengar.
Padahal, misi dan
program tersebut yang seharusnya mereka deliberasikan kepada para
pemilih untuk digugat, dikritisi, dikoreksi, dan diperbarui lewat ajang kampanye tatap muka dan diskusi
dalam pilkada. Kampanye Pilkada 2015
isinya lebih banyak sosialisasi bukan deliberasi.
Dalam kerangka
berpikir tersebut, prosedur yang sangat krusial dan harus diperbarui adalah
penetapan syarat keikutsertaan kandidat dalam pilkada. Selain calon yang
diajukan oleh partai politik, pemilu juga harus terbuka bagi pencalonan
kandidat independen. Kandidat independen harus dapat mencalonkan diri dengan
syarat-syarat yang lebih lunak dibandingkan melalui partai. Hal ini untuk
memunculkan figur alternatif, di luar dari lingkaran oligarki partai.
Pelibatan pemilih
Sistem pemilihan
sangat menentukan pemimpin yang dihasilkan. Dalam sistem pemilihan langsung
di pilkada Indonesia, sumber daya keuangan dan jaringan memiliki pengaruh
dalam menentukan terpilih-tidaknya seorang calon. Kandidat dengan keuangan
dan jaringan yang kuat memiliki kemungkinan lebih baik untuk terpilih. Itu
sebabnya, banyak calon perempuan yang kalah karena keterbatasan dalam hal
sumber daya dibandingkan calon laki-laki. Itu juga sebabnya orang dari
lingkup kekerabatan dalam partai, figur populer, pengusaha, dan mantan
pejabat, yang biasanya memiliki dukungan sumber daya besar yang akhirnya
dicalonkan oleh partai.
Prosedur yang sama krusialnya adalah isu
partisipasi pemilih dan mekanisme kampanye. Partisipasi pemilih harus
dimaknai ulang, tidak lagi sekadar statistik
voters turnout atau
keikutsertaan dalam memilih, tetapi sebagai bentuk pelibatan pemilih dalam
penyusunan program kerja partai atau calon kepala daerah.
Partai dan kandidat
harus melakukan proses menjaring dan mengagregasikan kepentingan warga, yang
dihasilkan dalam program kerja yang dikampanyekan. Meski demikian, kampanye
harus menjadi arena dialog antara kandidat dengan masyarakat dalam membahas
kepentingan (lokal) warga.
Saat terpilih, kepentingan yang sudah
diterjemahkan ke dalam program kerja inilah yang diperjuangkan kepala daerah,
dalam bentuk alokasi dan distribusi sumber daya negara yang berkeadilan bagi
warga, serta kebijakan-kebijakan yang pro kepentingan masyarakat.
Hanya dengan pelibatan
warga inilah, yang dimulai dari proses pemilu sampai setelah calon terpilih,
maka ada pintu menuju jalan untuk mengimbangi oligarki partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar