Blur
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN JAKARTA, 27
Februari 2016
Kadang terasa, suatu
kata itu menjelaskan dirinya sendiri, dan menemukan jalannya untuk menjadi
popular. Blur contohnya. Kata itu mengandung makna kabur, remang-remang,
bluret atau blurred, menjadikan
kabur. Kabur pada seluruh atau sebagian. Istilah yang juga digunakan di dunia
fotografi. Misalnya gambar menjadi tidak fokus ketika kamera bergerak,
panning, atau membidik dekat, zoom.
Bisa dilakukan secara sengaja, memblur bagian depan atau belakang suatu
obyek, dengan tujuan mempertegas bagian yang lain.
Kini kata blur menjadi
lebih popular lagi. Terutama karena kini banyak gambar atau foto yang diblur.
Misalnya gambar atau foto yang dinilai terlalu sensual. Bagian yang seksi
itulah yang disamarkan. Menjadi tidak jelas itu gambar apa. Dan karena
blurnya asal menutupi, menjadi kontras dan karenanya menarik perhatian.
Makin diperbincangkan
terus dan diucapkan karena saat ini banyak sekali tayangan di televisi yang
diblur. Awalnya hanya terbatas hal yang betulbetul mengganggu—misalnya adegan
yang memperlihatkan orang tengah merokok. Atau norma-norma kekerasan. Tapi
kemudian ketika dikaitkan dengan masalah sensualitas men jadi berbeda. Karena
kini bukan hanya pemilihan ratu kecantikan—yang bahkan pakai kebaya pun kena
blur bagian belahan dada,melainkan juga adegan dalam jenis kartun. Tokoh
kartun dalam adegan di laut—atau pantai, kena blur karena memakai celana
renang misalnya. Sedemikian banyaknya blur ini sehingga saya bertanya-tanya
apakah yang dipermasalahkan ini benar-benar terjadi, atau bahan meme, gambar
lucu untuk mengolok-olok.
Misalnya saja adegan
anak kecil belajar memerah sapi yang diblur. Apakah ini sungguh-sungguh
terjadi? Kalau benar sungguh banyak pertanyaan yang bisa dimajukan. Kalau
tidak betul-betul terjadi, berarti memasuki wilayah mentertawakan yang bisa
menyakitkan. Seperti yang menurut saya benar-benar cara mengolok-olok diri
sendiri, bahwa gambar pentil ban mobil diblur. Persis seperti gambar adanya
taufan besar, dengan tulisan dan tanda blur. Pentil ban dan puting adalah
nama jenis yang kurang lebih sama artinya. Dan karena nama itu dianggap
vulgar, atau kasar, makanya perlu diblur.
Tak bisa dielakkan
bahwa rajinnya menyensor dengan memblur ini terkait dengan maraknya
menghindarkan promosi besar yang dilakukan komunitas LGBT. Komunitas atau
kelompok yang terdiri dari kaum lesbi, pecinta sesama jenis kaum perempuan,
gay, pencinta sesama jenis kaum lelaki, atau biseks, bisa berhubungan intim
dengan sesama atau lawan jenis, atau trangender, mereka yang mengubah jenis
kelaminnya, biasanya dari lelaki menjadi perempuan.
Pembahasan dan atau
penolakan terhadap LGBT memang sedang meluap, dan itu sebenarnya ada
benarnya, namun pendekatan atau cara-cara yang terlihat menyudutkan kelompok
tertentu. Misalnya saja untuk menghindarkan pengaruh pada penonton televisi,
maka dilaranglah tampilan “lelaki berpenampilan wanita”. Satu istilah ini
sudah membuat ruwet rumusan yang pada akhirnya memerlukan banyak sekali penjelasan.
Dan sedemikian penjelasan akan makin membuat tidak jelas, dan karenanya tidak
operasional. Itulah sebabnya tampilan “lelaki seperti perempuan” bisa dari
segi pakaian, cara berjalan, cara berkata, dan sebagainya. Yang menimbulkan
pertanyaan lain : bagaimana nasib seni tradisional seperti ludruk, atau
bahkan wayang orang misalnya? Apakah termasuk yang kena blur?
Dengan kata lain kita
masuk ke dalam putaran pendekatan yang harus bisa dilakukan dengan lebih
jernih dan lebih fasih. Dan ini berarti juga gaduh yang riuh yang sebenarnya
mengingatkan agar tak bergeser terlalu jauh, menjadi konfrontatif.
Di tengah berbagai
kemungkinan itu, masih juga kita dengar lelucon. Bahwa sebenarnya yang perlu
kena blur bukan gambar atau foto yang merangsang, yang sadis saja, melainkan
juga gambar mantan. Karena mantan juga termasuk menganggu.
Kita tertawa, tapi itu
tak menyembunyikan perih. Juga luka dalam kok makin munikasi yang perlu ditata. Agar tidak makin blur di
antara kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar