Ketahanan Monarki Arab Saudi
Ibnu Burdah ;
Pemerhati Timur Tengah dan
Dunia Islam;
Dosen Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
|
KOMPAS, 27
Februari 2016
Arab Saudi
"tiba-tiba" menjadi aktor kawasan yang begitu agresif dalam
beberapa tahun terakhir. Padahal, monarki Arab Saudi saat ini menghadapi
tantangan demikian berat baik internal maupun eksternal. Dari internal,
monarki ini sudah berumur cukup tua.
Salah satu persoalan pentingnya adalah suksesi dari generasi anak ke generasi
cucu.
Anak laki-laki pendiri
Saudi ini hanya sekitar 37 orang, ada yang menyebut angka 35, tetapi juga ada
yang menyebut 45 anak. Dari jumlah itu, tujuh orang dari ibu pertama adalah
anak-anak yang paling menonjol sebagai penerus takhta Saudi. Faktanya, dari enam
raja Saudi setelah Abdul Aziz bin Saud (pendiri), dua di antaranya anak-anak
dari ibu pertama. Mereka adalah Fahd dan Salman, raja sekarang.
Sementara generasi
cucu terdiri dari ratusan pangeran. Masa-masa setelah Raja Salman adalah
saat-saat yang krusial bagi masa depan kerajaan itu. Sebab, saat itu
diperkirakan akan terjadi suksesi dari generasi kedua ke generasi ketiga.
Mampukah keluarga kerajaan dengan klan yang sangat banyak dan saling bersaing
ini memperoleh kesatuan suara mengenai suksesi.
Yang pasti, belum ada
aturan pakem untuk menentukan siapa yang akan jadi putra mahkota atau deputi
putra mahkota yang kemudian akan jadi raja. Aturan yang ada hanyalah yang
berhak atas takhta adalah anak-anak laki-laki pendiri kerajaan itu. Sekarang,
takhta akan diberikan kepada generasi cucu, padahal masih ada beberapa anak
pendiri kerajaan yang masih hidup.
Ketika ini diberikan
kepada generasi cucu, juga belum ada aturan pakem siapa yang paling berhak
atas kedudukan itu. Apakah, cucu tertua, cucu tertua dari anak tertua, atau
yang paling cakap memimpin, ataukah rotasi kekuasaan antarklan sebagaimana
pola pada generasi anak, atau yang disepakati keluarga kerajaan. Ini semua
belum jelas. Persoalan internal lain adalah kesadaran kuat masyarakat Saudi
akan hak mereka untuk menentukan masa depan. Meskipun demokratisasi di
beberapa negara Arab "gagal", kesadaran bahwa rakyat seharusnya
menjadi penentu dalam menata negara dan rakyat seharusnya berkuasa menyebar
kuat di kalangan rakyat Saudi. Peran media-media baru tidak bisa diremehkan
dalam hal ini.
Kesadaran itu akan
bisa meledak menjadi gerakan protes hebat jika standar hidup masyarakat Saudi
semakin turun seiring penurunan harga minyak dan terforsirnya anggaran untuk
militer. Kesejahteraan sosial semakin terabaikan. Apalagi, kesadaran akan
diskriminasi antara mereka yang dalam tembok tinggi istana dan di luarnya
juga menguat terutama dalam hal kebebasan, pemberlakuan hukum agama, dan
kemewahan.
Dalam situasi itu,
monarki Saudi juga harus menghadapi tantangan eksternal begitu besar.
Lingkungan baru pasca musim semi Arab benar-benar liar dan tak terkendali.
Konflik sektarian begitu tajam. Kelompok-kelompok ektremis dan teroris
berkembang pesat terutama di area-area konflik. Campur tangan lintas negara
oleh aktor kawasan ataupun internasional kian terang-terangan. Semua itu
menciptakan tantangan yang demikian hebat bagi monarki ini.
Potensi kekacauan
Pertanyaannya,
mampukah monarki yang terbiasa "nyaman" dalam stabilitas dan
kemakmuran luar biasa ini bertahan di tengah kepungan persoalan internal dan
eksternal? Ataukah agresivitasnya di Yaman, Suriah, dan negara Arab lain akan
membuat solid ke dalam dan membantu monarki ini survive, atau justru
sebaliknya?
Jawabannya sederhana,
monarki ini akan bertahan jika mampu mengatasi tiga level persoalan itu
sekaligus, yaitu persoalan dalam keluarga kerajaan, masyarakat Saudi, dan
pergaulan kawasan. Jika persoalan pertama saja yang mampu diatasi, yang
terjadi kemungkinan adalah kekacauan luar biasa sebagaimana terjadi di negara
musim semi lain. Rakyat bergerak menuntut rezim dibubarkan. Sementara rezim
bertahan dengan segala cara, termasuk menggunakan senjata canggih yang
diborong beberapa tahun terakhir.
Jika persoalan pertama
dan kedua bisa diatasi, Saudi kemungkinan tetap melakukan petualangan
"militer" seperti sekarang. Terlibat konflik di mana-mana dengan
dalih mempertahankan atau membela umat Muslim sunni meski tujuan utamanya
hanyalah untuk menjaga survivalnya dan menjaga stabilitas dalam negeri dari
pengaruh lingkungan yang tak "sehat".
Jika tiga persoalan
ini sekaligus dapat diatasi, siapa pun yang memimpin Saudi, baik generasi
kedua maupun ketiga, monarki ini akan jaya. Solid dalam keluarga, masyarakat
terkontrol, dan nama dan pengaruh monarki ini semakin hebat di fora regional
dan dunia Islam. Itu artinya, Saudi berhasil memaksa Houtsi di Yaman mundur
dan merestorasi kepemimpinan Manshur Hadi, pemerintah yang menurut mereka
sah. Itu juga berarti Saudi berhasil memaksa Assad turun, baik melalui jalur
diplomasi maupun senjata, dan mengantarkan oposisi-oposisi dukungannya ke
tampuk kekuasaan di Suriah.
Itu juga berarti Saudi
berhasil dan berperan besar dalam melumpuhkan negara horor NIIS ataupun kelompok-kelompok
radikal lain di kawasan. Pertanyaannya, mampukah rezim yang dipimpin orang
yang sudah berusia 80 tahun atau anak muda sekitar 30 tahunan yang sama
sekali tak punya latar belakang dan pengalaman di bidang itu melaksanakan
pekerjaan maha berat ini? Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar