Kemelut Pertanahan Kereta Cepat
Iwan Nurdin ;
Sekretaris Jenderal KPA
|
KOMPAS, 20
Februari 2016
Perpres Nomor 107
Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta
Cepat Antara Jakarta dan Bandung kemudian diperkuat dengan Perpres 3/2016
tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional membuat masyarakat
terenyak.
Dengan Perpres
terakhir, pemerintah telah memantapkan posisi proyek kereta cepat sebagai
proyek strategis nasional.
Proyek ini telah
membuka tabir gelap UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang selama ini dikritik. Dengan mengeluarkan Perpres,
proyek yang digadang-gadang sebagai proyek bisnis bisa "naik kelas"
menjadi proyek kepentingan umum hanya karena pemerintah menghendakinya.
Padahal, sebuah proyek
kepentingan umum sedikitnya mempunyai ciri pokok berupa: pengguna atau
penerima manfaat proyek haruslah lintas batas segmen sosial. Sebaliknya,
kereta cepat ini adalah kereta kelas elite, yang akan berjalan di atas rel
eksklusif milik perusahaan, maka kereta cepat ini tidak dapat disebut sebagai
proyek yang dapat dinikmati berbagai kelas sosial.
Ciri selanjutnya
adalah proyek tersebut haruslah dibiayai anggaran negara dan tidak
dimaksudkan untuk mengejar keuntungan semata. Dua ciri terakhir ini juga
tidak dipunyai oleh proyek bisnis kereta cepat. Karena itu, publik mafhum ketika pemerintah
menyatakan proyek ini business to
business.
Ketika proyek bisnis
kereta cepat dinaikkan levelnya menjadi proyek strategis nasional, maka
proses pengadaan tanah yang seharusnya berada dalam mekanisme bisnis biasa
(izin lokasi) kemudian menjadi mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan
umum (penetapan lokasi). Bukankah negara dibenarkan bersikap keras dengan
istilah "penetapan lokasi"
karena ada unsur kepentingan umum?
Konflik agraria
Sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 13 dan 15 UU 2/2012 , pengadaan tanah untuk kepentingan
umum diselenggarakan melalui beberapa tahapan yang disusun dalam bentuk
dokumen perencanaan. Isinya dari maksud dan tujuan rencana pembangunan,
kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangunan
Nasional dan Daerah, hingga letak dan luas tanah luas tanah yang dibutuhkan.
Karena proyek bisnis
kereta cepat sebelumnya tidak terdapat dalam rencana pembangunan nasional,
maka tidak terdapat dalam rencana tata ruang ataupun dokumen rencana
kebutuhan pengadaan tanah dan sosialisasi ke masyarakat terdampak.
Konsekuensinya, proses pengadaan tanah kereta cepat rentan konflik agraria
yang sering terjadi.
Selama pemerintahan
Jokowi-JK, KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 285 konflik agraria akibat
pembangunan infrastruktur. Konflik ini menempati ranking pertama tahun 2014
(215 kasus konflik) dan ranking kedua tahun 2015 (70 kasus konflik). Sepanjang 2015, konflik agraria
mengakibatkan 5 korban tewas, 39 tertembak aparat, 124 dianiaya, dan 278
ditahan.
Beberapa masalah utama
yang kerap membuat masyarakat melawan proyek pembangunan infrastruktur adalah
karena proyek semacam ini selalu berdalih atas nama pembangunan bagi
kepentingan umum dan bukan profit
oriented. Padahal, kenyataannya proyek infrastruktur sebagian besar
adalah proyek bisnis biasa yang mengejar keuntungan.
Pembangunan kereta
cepat akan diikuti oleh pertumbuhan kota-kota di masing-masing stasiun yang
dibangun. Bisnis properti akan mengikuti secara cepat. Kita mengkhawatirkan
bahwa hal ini akan mempercepat alih fungsi lahan-lahan pertanian menjadi
kawasan nonpertanian.
Lindungi lahan pangan
Pasal 44 (2) UU
41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
mengamanatkan agar lahan-lahan pertanian pangan dilindungi dan jika
dikonversi harus ada lahan penggantinya. Rencana kereta cepat tampaknya belum
mempertimbangkan apa yang telah diatur UU 41/2009 ini sehingga pemerintah
pusat dan daerah tidak menginformasikan lahan pengganti pertanian pangan yang
akan dipakai sekaligus mencegah konversi susulannya.
Hal yang sama juga
berlaku terhadap lahan kawasan hutan yang dipakai proyek. Pelepasan kawasan
hutan di Jawa wajib disertai lahan pengganti seluas dua kali kawasan yang
dipakai.
Akhirnya, karena
terlalu banyak aturan pertanahan, tata ruang, lingkungan hidup, dan kehutanan
yang dilanggar, proyek kereta cepat ini layak dihentikan. Proyek semacam ini
harus melalui kaji tuntas pertanahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar