Patung Arjuna
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN JAKARTA, 13
Februari 2016
Patung tokoh wayang
Arjuna di kecamatan Wanayasa, Purwakarta terbakar, atau dibakar, Kamis lalu.
Apa salah Arjuna, atau bentuk patung setinggi 7 meter itu? Bupati Dedy
Mulyadi dua hari sebelumnya baru saja menerima anugrah budaya yang diberikan
saat Hari Pers Nasional di Lombok, bersama pejabat lainnya yang dianggap
berjasa dalam bidang budaya. Bupati yang mulai jadi bahan perbincangan
nasional ini mengatakan bahwa sejak tahun 2010 ada perusakan patung-patung
wayang di derah sekitarnya . Atau dirobohkan , seperti keberadaan patung
Semar, Bima , Nakula dan Sadewa.
Itu tokoh-tokoh dalam
dunia wayang. Arjuna adalah tokoh dari keluarga Pandawa yang digambarkan sangat
sakti, dan… memiliki istri terbanyak dibandingkan tokoh lain dalam dunia
perwayangan. Patung Arjuna juga banyak ditampilkan di Jakarta, atau Boyolali,
Jawa Tengah dei tempat yang ramai dan mudah dilihat. Dalam wayang kulit, atau
wayang orang Jawa, Arjuna digambarkan lemah lembut, sementara dalam film
televise produksi India, Arjuna yang sering dimainkan perempuan dalam wayang
orang, digambarkan berdada six pack. Senjata andalannya berupa panah, maka
patungnya sering memperlihatkan adegan tengah memanah. Patung yang sama ada
di kompleks olah raga Bung Karno, Senayan, Jakarta meskipun mungkin bukan
Arjuna yang dimaksud. Di Solo sendiri nama stadionnya Manahan—dengan simbol
ksatria yang tengah memanah.
Kisah dalam wayang
sudah sejak awal hidup di dalam masyarakat Jawa. Sudah beradaptasi dengan
budaya setempat—kalau disebut asalnya dari India. Bahkan nama salah satu
senjata paling sakti, tak ada yang sanggup menandingi, dinamakan Jimat
Kalimasada. Ajimat yang tidak berbentuk senjata seperti kerius, atau panah,
atau gada, atau tombak, itu konon menggambarkan kesaktian Kalimat Syahadat.
Ajian itu bahkan ditempatkan dalam ikat kepala raja “berdarah putih”
Puntodewa, putra sulung keluarga Pandawa.
Bentuk wayang juga
pernah menjadi penyelamat komik di Indonesia. Kisahnya di tahun 1952-1955
ketika buku komik di negeri ini didominasi jenis superhero yang fiktif,
termasuk lahirnya Sri Asih, Garuda Putih, Lungga dan tokoh fiktif lainnya.
Oleh pihak pemerintah hal ini dianggap tidak mendidik, dan membuat anak-anak
tidak mau belajar. Maka penerbitan komikkomik ini dirazia. Akibatnya buku
komik lenyap dari pasaran. Dalam kondisi terjepit dan sekarat itu para
komikus, seniman komik membuat komik wayang—yang sebetulnya lebih fiktif dan
lebih kaya khayal. Wayang telah diterima sebagai bagian budaya yang sah dan
aman. Begitulah komik jenis wayang, waktu itu dipakai istilah komik klasik,
muncul dan diterima di masyarakat. Bukan hanya penerbit Jakarta dan Bandung
saja yang menerbitkan komik wayang, melainkan juga di kota Medan—pusat
penerbitan komik setelah Jawa. Yang menggembirakan adalah bersama dengan itu
munculah jenis komik dari kisah-kisah tradisional, hero lokal yang tadinya
hanya ada di pentas ketoprak. Dalam pengertian ini Arjuna dan tokoh-tokoh
pewayangan yang lain, pernah menjadi penyelamat komik Indonesia dan membuka
pilihan pada kisah atau cerita tradisional. Tanpa selingan dengan wayang,
komik di Indonesia tak berlanjut ketika dirazia. Atau setidaknya
perkembangannya menjadi berbeda.
Maka ketika patung
Arjuna ter, atau di, bakar pada pagi hari muncul beberapa pertanyaan. Karena
wayangnyakah? Karena patungnyakah? Karena apa atau yang mana menjadi penting
untuk diketahui jawabannya, karena bisa menjadi bahan pelajaran dan
pengajaran bagaimana sebaiknya pendekatan dalam mengembangkan atau mengadakan
seni wayang, atau seni patung, atau seni penempatan, atau tata ruang budaya
kita ini. Apakah hanya di Purwakarta, atau juga tempat lain.
Secara pribadi saya
lebih senang mendengar dibangunnya patung sebagai karya seni, dibanding
dengan berita penghancurannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar