Gemuk Bersama Partai Playboy
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional di
Financeroll Indonesia
|
HALUAN, 02
Februari 2016
Baru-baru ini, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan kepada awak
media bahwa belum ada sinyal dari Presiden Joko Widodo untuk membuat koalisi
gemuk meskipun sinyal merapatnya sejumlah partai politik ke dalam
pemerintahan kian terasa menguat.
“Ya, Presiden pasti mempunyai
langkah-langkah yang akan diambil, dan sekarang ini toh belum ada sinyal
untuk katakanlah membuat koalisi menjadi gemuk,” ujarnya Pramono, Rabu
(27/1/2016).
Nah, Pramono itu politisi, yang
beliau wakili pun adalah politisi yang kebetulan “nyambi jadi presiden”,
maka jangan terlalu digarisbawahi semua yang beliau katakan. Maksudnya,
apapun ucapan beliau, anggap saja infotaiment politik. Lalu jika sudah
terjadi, barulah diberi nilai.
Mengapa? Karena jika politisi menolak mengakui
sesuatu dimuka, dengan jurus-jurus onta mengarungi padang pasir atau jurus
tukang ojek menghindari jalan yang becek, maka biasanya topik yang dibantah
akan terjadi sebentar lagi.
Ambil contoh misalnya Jokowi
yang saat menjabat Gubernur DKI berjanji layaknya lelaki sejati bahwa
beliau akan berjuang di Jakarta, beliau akan setia di Jakarta alias akan
tetap menjadi pentolan Jakarta Satu. Beliau tak akan berfikir soal
pencalonan presiden alias cuma memikirkan banjir dan macetnya Jakarta saja.
Inti pokoknya, beliau menolak menanggapi rencana pencalonan dirinya menjadi
presiden RI ketika itu. Buktinya malah belakangan diketahui bahwa saat
beliau memainkan jurus “menolak berkomentar”, disaat itu pula beliau
sebenarnya sedang kasak-kusuk menyiapkan pasukan tempur untuk mencalonkan
diri menjadi salah satu kandidat presiden RI.
Contoh lain misalnya soal Ormas
Nasdem yang awalnya dibela-bela sembari berteriak-teriak oleh Surya Paloh.
Nasdem tidak akan pernah menjadi partai politik, demikian kira-kira
pembelaannya. Beberapa bulan kemudian, Nasdem didaulat menjadi partai
politik dan untungnya, Nasdem “nyantel” di koalisi pemenang
Pilpres sehingga hasil transformasi menjadi partai politik benar-benar ada
manfaatnya alias “berasa menjadi partai politik alias mendapatkan manfaat
dari kue kekuasaan yang diperoleh”, setidaknya untuk Surya Paloh dan
anggota-anggota partainya.
Jadi setelah PAN menyatakan
dukungannya kepada pemerintahan Jokowi, partai politik yang tergabung dalam
Koalisi Merah Putih lainnya juga memberi sinyal mendukung pemerintah,
katakan saja contohnya Golkar, partai pentolan KMP, maka wajar secara
matematika politik akan menimbulkan gunjingan soal koalisi gemuk dalam
pemerintahan. Sinyal ini sudah menguat sejak lama. Adegan mesra kedua
belah kubu pun sudah sering diumbar didepan kamera dan sudah acapkali digunjingkan
tinta media. Lalu tiba-tiba Jokowi muncul dengan mulut Pramono bahwa
belum ada penjajakan ke arah sana, bahwa presiden belum memberikan sinyal
ke arah sana, lalu yang ditangkap kamera atau yang ceritakan media-media
selama ini sungguh tak berfakta, begitu maksudnya? Lalu yang salah adalah
pewarta-pewarta?
Tapi baiklah, boleh jadi
tak ada yang salah. Ini kan perkara politik, bukan perkara hukum, jadi
salah tak salah, tak ada pasal yang berbuah penjara. Sebab itu pula, saat
omongan berbeda dengan tindakan, ramainya paling banter cuma sebentar
alias tak melulu menjadi trending topic. Politisi sudah biasa diramaikan
secara dadakan lalu dipancing pakai topik baru secara dadakan pula dan
masalah lama hilang seketika, sungguh sudah biasa permainan serupa itu, tak
perlu heran dan gagu alias tanggapi santai saja.
Jadi jika koalisi gemuk itu belum
dibicarakan sejauh ini, maka artinya manuver-manuver politik kedua belah
pihak selama ini dianggap angin lalu saja, anggap casting sabun mandi
saja. Perkara mau tayang menjadi pemain film horor atau percintaan, film action
atau cuma sinetron tukang cukur naik pitam, itu perkara lain. Santai saja,
ini politik, jika tukang bubur tak naik-naik haji sekalipun, tetap saja judulnya
tukang bubur naik haji. Ya begitulah politik, politik Indonesia maksudnya.
Jadi sebagaimana redaksional bahasa Mas Pramono, “koalisi gemuk atau
enggak gemuk, langsing atau kurus itu bukan hal yang perlu diperdebatkan,”
begitu kira-kira tuturnya.
Namun disisi lain beliau juga
mengatakan bahwa pemerintah gembira dengan adanya dukungan dari partai
politik yang disebutkan tadi. Hal itu akan memudahkan komunikasi politik
antara eksekutif dengan legislatif di DPR. Nah, pernyataan ini pun harus
dimaknai secara mendalam. Jangan sampai ada tafsir bahwa saat ini sudah
lahir tiga kubu di dalam konstelasi politik kontemporer, yakni kubu
pendukung pemerintah yang menjadi bagian dari pemerintah, kubu pendukung
pemerintah tapi bukan/belum menjadi bagian dari koalisi politik
pemerintah, dan kubu non pemerintah (sudah pasti bukan bagian dari
pemerintah).
Mengapa jangan sampai
ditafsirkan demikian? Karena konstelasi politik semacam itu malah membuat
segala sesuatunya menjadi semakin rumit. Disatu sisi pemerintah “grogi-grogi
tanggung” dalam bertindak karena koalisinya masih koalisi kurus versi
lama. Namun di sisi lain “calon anggota baru koalisi” pemerintah pun
malu-malu tanggung mendukung karena belum kebagian kue juga. Di dalam hati
partai-partai pendukung baru pemerintah ini akhirnya muncul ketidakpastian,
sembari bicara dalam hati alias menduga-duga, “kasih tau ga ya? kasih tau ga ya? ”.
Pemerintah pun demikian, mau berbuat sesuatu tapi dalam hatinya berkecamuk,
“ini lampu kuning apa
lampu hijau ya? Atau terabas aja? ”
Inilah perkara jika nanti
ditafsirkan ada tiga kubu didalam konstelasi politik kontemporer. Ini tentu
tak bagus karena memunculkan fleksibilitas yang terlalu tinggi. Akan ada
oportunis-oportunis yang mengatasnamakan “partai penyeimbang”. Partai
semacam ini ibarat partai playboy, jika suka
ditembak, abis manis dilupakan, lalu ditembak lagi kalau yang bersangkutan
kembali dari salon dan mulai terlihat manis lagi. Partai ini juga ibarat
partai yang berasaskan “friend
by benefits”, maunya yang enak-enak saja. Kalau dikasih makan
enak mereka datang dan rebutan, kalau tak ada makanan mereka pergi mencari
dirumah tetangga lainya.
Itulah mengapa lingkungan
politik semacam ini tak baik buat rakyat. Partai dibuat seperti playboy jadinya. Sementara rakyat
pemilih bukanlah mangsa playboy-playboy
cap kutu busuk yang demikian. Vox populi vox dei,
suara rakyat adalah suara tuhan, bukankah begitu bunyi teorinya?
Jadi sudah
cukup untuk dipermainkan.
Jadi pendek kata, perkara
koalisi kurus atau koalisi gemuk sejatinya sudah kelar semenjak partai
berlambang ka’bah dan pohon beringin mulai bermain hati alias mulai tak
setia. Kemudian semenjak Jokowi mulai “ngadate”
dengan Prabowo di Istana bogor, koalisi kurus itu tanpaknya sudah tidak ada
lagi. Masalahnya ketika itu, mereka masih “backstreet” alias masih main belakang.
Layaknya perselingkuhan, sebelum pengumuman ke publik, maka akan ada
pertengkaran-pertengakaran,
baik pertengkaran kecil maupun besar. Pertengkaran itu bisa berlangsung di
dalam rumah tangga istana maupun antara istana dengan selingkuhannya.
Sebaliknya juga demikian, ada
negosiasi-negosiasi alot didalam rumah tangga KMP. Cuma masalahnya, rumah
tangga KMP tidak terlalu ketat layaknya rumah tangga istana karena KMP
adalah rumah tangga yang tak ada rumahnya. Jadi sangat bisa dimaklumi jika
salah satu atau beberapa “perempuan
matre” di dalam rumah tangga itu mulai tak betah. Mana ada
perempuan yang betah diajak berumah tangga tapi tak ada rumahnya, apalagi
untuk perempuan yang sudah terbiasa dengan kemapanan dan kemewahan. Bukankah
istana jauh lebih menggiurkan ketimbang menjadi keluarga gembel di jalanan
yang tak beratap dan tak bergaji tetap.
Bagi istanapun demikian,
bermain belakang atau selingkuh itu pasti capek. Disatu sisi digunjingkan
dimana-mana, sementara disisi lain apapun gunjingan yang muncul harus
dibantah habis-habisan untuk menjaga stabilitas rumah tangga lama di istana.
Naasnya, berkali-kali dibantah, para selingkuhan makin makan hati. Maka tak
heran goyangan demi goyangan diciptakan, sampai ada pengakuan dan sampai
para selingkuhan dibawa ke dalam istana secara de facto dan de jure.
Jadi apa yang disampaikan Mas
Pramono adalah bagian dari dinamika politik saja, jangan ditangkap dalam
makna yang terpotong-potong alias jangan terlalu diambil hati apa isi
redaksionalnya. Itu hanya pernyataan politik sementara istan. Seturut
dengan itu, negosiasi-negosiasi pasti sedang berlangsung, minimal soal prestasi
menteri. Mana yang layak buang dan mana yang layak dipertahankan di istana,
agar pendatang lama yang akan dipublikasikan sebagai pendatang baru punya
tempat parkir yang pas dan layak. Saya kira itu saja persoalanya, tak
lebih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar