Jumat, 05 Februari 2016

Gemuk Bersama Partai Playboy

Gemuk Bersama Partai Playboy

Ronny P Sasmita  ;   Analis Ekonomi Politik Internasional di Financeroll Indonesia
                                                     HALUAN, 02 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Baru-baru ini, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan kepada awak media bahwa belum ada sinyal dari Presiden Joko Widodo untuk membuat koalisi gemuk meskipun sinyal merapatnya sejumlah partai politik ke dalam pemerintahan kian terasa menguat.

“Ya, Presiden pasti mem­punyai langkah-langkah yang akan diambil, dan sekarang ini toh belum ada sinyal untuk katakanlah membuat koalisi menjadi gemuk,” ujarnya Pra­mono, Rabu (27/1/2016).

Nah, Pramono itu politisi, yang beliau wakili pun adalah po­litisi yang kebetulan “nyam­­­bi jadi presiden”, ma­ka jangan terlalu digaris­bawahi semua yang beliau katakan. Maksudnya, apapun ucapan beliau, anggap saja info­tai­ment politik. Lalu jika sudah terjadi, barulah diberi nilai. 
Mengapa? Karena jika politisi menolak mengakui sesuatu dimuka, dengan ju­rus-jurus onta mengarungi padang pasir atau jurus tu­kang ojek meng­hindari jalan yang becek, maka biasanya topik yang dibantah akan terjadi sebentar lagi.

Ambil contoh misalnya Jokowi yang saat menjabat Gubernur DKI berjanji la­yak­­nya lelaki sejati bahwa beliau akan berjuang di Ja­kar­­ta, beliau akan setia di Jakarta alias akan tetap men­jadi pen­to­lan Jakarta Satu. Beliau tak akan berfikir soal pencalonan presiden alias cuma memi­kirkan banjir dan macetnya Jakarta saja. Inti pokoknya, beliau menolak menanggapi rencana penca­lonan dirinya menjadi pre­siden RI ketika itu. Buktinya malah belaka­ngan diketahui bahwa saat beliau memainkan jurus “menolak berko­men­tar”, disaat itu pula beliau sebenarnya sedang kasak-kusuk menyiap­kan pasukan tempur untuk mencalonkan diri menjadi salah satu kan­didat presiden RI. 

Contoh lain misalnya soal Ormas Nasdem yang awalnya dibela-bela sembari berteriak-teriak oleh Surya Paloh. Nas­dem tidak akan pernah men­jadi partai politik, demikian kira-kira pembelaannya. Be­berapa bulan kemudian, Nas­dem didaulat menjadi partai politik dan untungnya,      Nas­dem “nyantel” di koalisi pe­me­nang Pilpres sehingga hasil transformasi menjadi partai politik benar-benar ada man­faatnya alias “berasa menjadi partai politik alias men­dapat­kan manfaat dari kue kekuasaan yang diperoleh”, seti­daknya untuk Surya Paloh dan anggota-anggota partainya.

Jadi setelah PAN menya­ta­­kan dukungannya kepada pe­merintahan Jokowi, partai po­litik yang tergabung dalam Koa­lisi Merah Putih lainnya ju­ga memberi sinyal men­du­kung pemerintah, katakan saja con­tohnya Golkar, partai pen­tolan KMP, maka wajar secara matematika politik akan me­nim­bulkan gunjingan soal koa­lisi gemuk dalam peme­rin­tahan. Sinyal ini su­dah me­nguat sejak lama. Ade­gan mes­ra kedua belah kubu pun sudah sering diumbar didepan ka­mera dan sudah acap­kali di­gunjingkan tinta me­dia. Lalu tiba-tiba Jokowi mun­cul de­ngan mulut Pra­mo­no bahwa belum ada penja­ja­kan ke arah sana, bahwa pre­siden belum memberikan si­nyal ke arah sana, lalu yang di­­tangkap kamera atau yang ce­­ritakan media-media sela­ma ini sung­guh tak berfakta, be­­gitu mak­sudnya? Lalu yang sa­­lah ada­lah pewarta-pewar­ta?

Tapi baiklah,  boleh jadi tak ada yang salah. Ini kan perkara politik, bukan per­ka­ra hukum, jadi salah tak salah, tak ada pasal yang berbuah pen­­jara. Sebab itu pula, saat omo­­ngan berbeda dengan tin­dakan, ramainya paling banter cuma sebentar alias tak melu­lu menjadi trending topic. Politisi sudah biasa dira­mai­kan secara dadakan lalu di­pan­cing pakai topik baru seca­ra dadakan pula dan masalah lama hilang seketika, sungguh sudah biasa per­mai­nan serupa itu, tak perlu heran dan gagu alias tanggapi santai saja.

Jadi jika koalisi gemuk itu be­­lum dibicarakan sejauh ini, ma­­ka artinya manuver-manu­ver politik kedua belah pihak se­­lama ini dianggap angin lalu sa­­ja, anggap casting sabun man­­di saja. Perkara mau ta­yang menjadi pemain film ho­ror atau percintaan, film ac­tion atau cuma sinetron tu­kang cukur naik pitam, itu per­kara lain. Santai saja, ini po­litik, jika tukang bubur tak naik-naik haji sekalipun, tetap sa­­ja ju­dulnya tukang bubur naik haji. Ya begitulah politik, po­­litik Indonesia maksudnya. Ja­­di sebagaimana redaksional ba­­hasa Mas Pramono, “koalisi ge­­muk atau enggak gemuk, lang­­­sing atau kurus itu bukan hal yang perlu diper­de­bat­kan,” begitu kira-kira tutur­nya.

Namun disisi lain beliau juga mengatakan bahwa peme­rin­tah gembira dengan adanya dukungan dari partai politik yang disebutkan tadi. Hal itu akan memudahkan komu­nikasi politik antara eksekutif dengan legislatif di DPR. Nah, pernyataan ini pun harus dimaknai secara mendalam. Ja­ngan sampai ada tafsir bah­wa saat ini sudah lahir tiga ku­bu di dalam konstelasi politik kontemporer, yakni kubu pendukung pemerintah yang menjadi bagian dari peme­rin­tah, kubu pendukung peme­rin­tah tapi bukan/belum men­jadi bagian dari koalisi politik pemerintah, dan kubu non pemerintah (sudah pasti bu­kan bagian dari pemerintah).

Mengapa jangan sampai ditafsirkan demikian? Karena konstelasi politik semacam itu malah membuat segala sesua­tunya menjadi semakin rumit. Disatu sisi pemerintah “grogi-grogi tanggung” dalam ber­tindak karena koalisinya ma­sih koalisi kurus versi lama.  Namun di sisi lain “calon anggota baru koalisi” peme­rintah pun malu-malu tang­gung mendukung karena be­lum kebagian kue juga. Di dalam hati partai-partai pen­dukung baru pemerintah ini akhirnya muncul keti­dak­pastian, sembari bicara dalam hati alias menduga-duga, “kasih tau ga ya? kasih tau ga ya? ”. 

Pemerintah pun demi­kian, mau berbuat sesuatu tapi dalam hatinya berkecamuk, “ini lampu kuning apa lampu hijau ya? Atau terabas aja? ”
Inilah perkara jika nanti ditafsirkan ada tiga kubu didalam konstelasi politik kontemporer. Ini tentu tak bagus karena memunculkan fleksibilitas yang terlalu ting­gi. Akan ada oportunis-opor­tunis yang mengatasnamakan “partai penyeimbang”. Partai semacam ini ibarat par­tai playboy, jika suka ditembak, abis manis dilupakan, lalu ditembak lagi kalau yang bersangkutan kembali dari salon dan mulai terlihat manis lagi. Partai ini juga ibarat partai yang berasaskan “friend by benefits”, maunya yang enak-enak saja. Kalau dikasih makan enak mereka datang dan rebutan, kalau tak ada makanan mereka pergi men­cari dirumah tetangga lainya.

Itulah mengapa lingku­ngan politik semacam ini tak baik buat rakyat. Partai dibuat seperti playboy jadinya. Se­mentara rakyat pemilih bu­kan­lah mangsa playboy-play­boy cap kutu busuk yang demikian. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan, bukankah begitu bunyi teorinya? 
Jadi sudah cukup untuk dipermainkan.

Jadi pendek kata, perkara koalisi kurus atau koalisi gemuk sejatinya sudah kelar semenjak partai berlambang ka’bah dan pohon beringin mulai bermain hati alias mulai tak setia. Kemudian semenjak Jokowi mulai “ngadate” de­ngan Prabowo di Istana bogor, koalisi kurus itu tanpaknya sudah tidak ada lagi. Masa­lahnya ketika itu, mereka masih “backstreet” alias ma­sih main belakang. Layaknya perselingkuhan, sebelum pe­ngu­muman ke publik, maka akan ada pertengkaran-pertengakaran, baik pertengkaran kecil maupun besar. Per­teng­karan itu bisa berlangsung di dalam rumah tangga istana maupun antara istana dengan selingkuhannya.

Sebaliknya juga demikian, ada negosiasi-negosiasi alot di­dalam rumah tangga KMP. Cu­ma masalahnya, rumah tang­ga KMP tidak terlalu ketat la­yaknya rumah tangga istana ka­rena KMP adalah rumah tang­ga yang tak ada rumahnya. Ja­di sangat bisa dimaklumi ji­ka salah satu atau beberapa “pe­rempuan matre” di dalam ru­mah tangga itu mulai tak be­tah. Mana ada perempuan yang betah diajak berumah tang­ga tapi tak ada rumahnya, apa­lagi untuk perempuan yang sudah terbiasa dengan kemapanan dan kemewahan. Bu­kankah istana jauh lebih meng­giurkan ketimbang men­­­ja­di keluarga gembel di ja­­la­nan yang tak beratap dan tak bergaji tetap.

Bagi istanapun demikian, bermain belakang atau seling­kuh itu pasti capek. Disatu sisi digunjingkan dimana-mana, sementara disisi lain apapun gunjingan yang muncul harus dibantah habis-habisan untuk menjaga stabilitas rumah tangga lama di istana. Naas­nya, berkali-kali dibantah, para selingkuhan makin ma­kan hati. Maka tak heran goyangan demi goyangan di­cip­takan, sampai ada penga­kuan dan sampai para seling­kuhan dibawa ke dalam istana secara de facto dan de jure.

Jadi apa yang disampaikan Mas Pramono adalah bagian da­ri dinamika politik saja, ja­ngan ditangkap dalam mak­na yang terpotong-potong alias ja­ngan terlalu diambil hati apa isi redaksionalnya. Itu hanya per­nyataan politik sementara is­tan. Seturut dengan itu, ne­gosiasi-negosiasi pasti sedang berlangsung, minimal soal pres­tasi menteri. Mana yang la­yak buang dan mana yang la­yak dipertahankan di istana, agar pendatang lama yang akan dipublikasikan sebagai pen­datang baru punya tempat par­kir yang pas dan layak. Sa­ya kira itu saja per­soalanya, tak lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar