Politik Uang, Mana Tahan...
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 25
Februari 2016
Partai Golkar tidak
pernah senyap dari gosip. Baru saja kegaduhan mereda setelah dua kubu
(Aburizal Bakrie dkk dan Agung Laksono dkk) "berdamai", suasana
tidak lantas tenang. Kegaduhan baru, muncul lagi. Menjelang musyawarah
nasional, angin bertiup kencang lagi. Pohon beringin pun kembali
bergoyang-goyang. Aroma politik uang mulai menyengat dalam bursa calon Ketua
Umum Partai Golkar.
Fungsionaris Partai
Golkar Nurdin Halid bilang ada kandidat ketua umum yang mulai main uang. Si
kandidat memberikan 10.000 dollar Singapura kepada pemilik suara (satu DPD).
Kemudian, kandidat lain, Ade Komarudin, diadukan ke Mahkamah Kehormatan DPR
karena dianggap mendapat gratifikasi berupa fasilitas pesawat mewah.
Ade memang Ketua DPR,
menggantikan Setya Novanto yang turun setelah terkena sanksi etik dalam kasus
"papa minta saham", akhir 2015. Anggota tim sukses Ade, Bambang
Soesatyo, menampik. Pesawat mewah itu, kata Bambang, milik sendiri, yaitu
milik PT Kodeco-Jhonlin. Dan, Bambang komisaris di PT itu.
Setya juga siap
bertarung merebut kursi tertinggi Partai Golkar. Nama lain yang beredar di
antaranya Mahyudin, Aziz Syamsuddin, Airlangga Hartarto, Idrus Marham, Syahrul
Yasin Limpo (Gubernur Sulsel). Aburizal dan Agung sudah menjadi cerita lama.
Namanya pertarungan,
pasti sengit dan berisik. Perang urat saraf dan kampanye hitam menjadi trik
lumrah. Secara terbuka mereka menolak politik uang (money politics), tetapi uang
transportasi, misalnya, dianggap bukan politik uang. Absurd!
Sebetulnya politik
uang di arena Munas Golkar adalah trik klasik. Semua orang sudah mafhum:
orang partai itu pragmatis dan transaksional. Istilah "gizi atau
logistik" sudah lama dikenal di panggung politik, termasuk di setiap
Munas Golkar. Munas tahun 2009, kekuatan uang disinyalir bermain. Namanya
politik uang, cuma baunya yang menyengat seperti "gas busuk".
Uang dan kekuasaan
ibarat dua sisi mata uang. Saling tak melihat, tetapi selalu beriringan.
Kalau mau berkuasa, siapkanlah banyak uang. Bisa juga dibalik. Kalau mau
banyak uang, rebutlah dulu kekuasaan. Secara teoretis, politik uang itu
haram, karena merusak demokrasi. Namun, anehnya makin dilarang, main uang
justru makin diminati.
Alan Simpson, mantan
senator Amerika Serikat dari Wyoming-mengutip laporan The Wall Street Journal
2014-menyebut 70 persen publik AS frustrasi dan marah karena sistem politik
di negara mereka hanya bekerja untuk uang dan kekuasaan. "Politik adalah
bisnis mahal yang sialan," kata Joe Biden, Wakil Presiden AS, saat mulai
menjadi senator dari Delaware awal 1970-an.
Meskipun
"membenci" politik uang, mereka tetap "mencintainya".
Para politisi lah yang tidak tahan untuk tak berpolitik uang. Mari kita
buktikan di Munas Golkar nanti: tahankah para kandidat tidak menggunakan
politik uang? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar