Jumat, 05 Februari 2016

Raibnya Sang Naskah

Raibnya Sang Naskah

Oman Fathurahman  ;   Peneliti Senior PPIM; Guru Besar Filologi di FAH UIN Jakarta; Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara
                                                     KOMPAS, 05 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berita kecil di harian Kompas, 18 Januari 2016, tentang raibnya naskah kuno Jawa-Tiongkok koleksi Museum Reksopustoko Mangkunegaran Solo, Jawa Tengah, nyaris luput dari perhatian publik.  Maklumlah, hiruk-pikuk di jagat politik enggan beranjak dari media, dan kasus kopi sianida kelihatannya lebih menarik disimak. Untunglah, teman-teman aktivis Masyarakat Pernaskahan Nusantara masih memiliki kepedulian dan mengingatkan saya untuk menulis.

Dwi Woro Retno Mastuti, dosen Prodi Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, yang dalam beberapa tahun terakhir mengkaji naskah itu, heran dan masygul dengan raibnya naskah "pusaka" itu. Baginya, naskah Jawa-Tiongkok yang keseluruhannya berjumlah 118 buah dan tersebar di berbagai koleksi dalam dan luar negeri itu sangat penting dalam konteks kebinekaan bangsa ini. Sebab, naskah dan isinya menggambarkan pergumulan komunitas etnisitas Tiongkok di abad ke-19 untuk menjadi Jawa di satu sisi dengan tetap memunculkan identitas etnisitas asalnya di sisi lain.

Nama-nama legenda Sam Kok dan Sik Jin Kwi, yang dikisahkan dalam naskah tersebut, bahkan ditulis menggunakan aksara swara dan aksara rekan sehingga jejak etnisitas Tiongkok-nya masih sangat kuat (Mastuti 2011, Menjadi Jawa: Naskah Cina-Jawa).

Berita di Kompas itu memang kecil, tetapi masalahnya sesungguhnya tidak sesederhana itu! Kasus hilangnya artefak budaya bersejarah dari museum di Solo, khususnya, bukan kali ini saja terjadi. Pada 2008, publik juga dibuat heboh ketika puluhan naskah kuno dan arca koleksi Museum Radya Pustaka berpindah tangan secara ilegal, sampai-sampai Joko Widodo, Wali Kota Solo saat itu, turun tangan membentuk tim investigasi. Ini menunjukkan ada yang tak beres dengan manajemen preservasi naskah kuno di sejumlah museum dan perpustakaan kita. Belum lagi kita punya masalah akuisisi naskah koleksi pribadi di masyarakat oleh tangan-tangan asing meski UU Cagar Budaya telah tegas melarangnya.

Arti naskah kuno

Indonesia baknegeri tak tahu diuntung. Negara sering absen dalam hal raibnya sang naskah! Padahal, tak semua bangsa mewarisi puluhan ribu naskah kuno tulisan tangan! Selain mencerminkan jati diri bangsa berperadaban tinggi, keragaman aksara dan bahasa dalam naskah kuno sesungguhnya juga meneguhkan kebinekaan masyarakat Nusantara sejak ratusan tahun lalu (Chambert-loir dan Fathurahman 1999, Khazanah Naskah).

Naskah kuno, yang banyak ditelantarkan di rumahnya sendiri, adalah bukti kebesaran peradaban nenek moyang kita yang telah berkemampuan merekam, memproduksi, menyimpan, serta mengolah informasi melalui aksara setara dengan peradaban besar dunia semisal Mesir, Tiongkok, India, Arab, Romawi, dan Persia. Dengan bekal peradaban aksara dan bahasa itulah, bangsa-bangsa di atas berhasil memengaruhi dunia, termasuk Nusantara.

Bangsa-bangsa Eropa sudah lama mengagumi keragaman aksara dan bahasa Nusantara, sampai-sampai dalam rangkaian Pekan Raya Buku Frankfurt 2015 di Jerman pun, Universit Ätsbibliothek secara khusus menggelar pameran Schrift und Sprache. Beragam naskah kuno Nusantara dipamerkan, dialihmediakan, serta didiskusikan. Bukan hanya aksara dan bahasanya, bahkan cara pembuatan kertas daluwang sebagai media tulis tradisionalnya pun dipertontonkan dengan mengundang Tedi Permadi, sang ahli dari UPI Bandung.

Sarjana-sarjana Eropa juga sudah lama membangun kesarjanaan mereka dengan mengandalkan naskah-naskah kuno Indonesia. Dalam konteks Jawa, MC Ricklefs adalah salah satu contoh sarjana yang seperti tak pernah kehabisan amunisi merekonstruksi sejarah Jawa berbasis naskah. Dalam kondisi kesehatan yang kini tidak terlalu prima pun, Pak Merle, begitu ia disapa, bahkan sedang mempersiapkan penulisan sejarah biografi Mangkunegara I atau yang dikenal sebagai Samber Nyawa, berdasar pada Serat Babad Pakunegaran, sebuah naskah Jawa yang tersimpan di The British Library (Add MS 12318) (Ricklefs 2015). Pekerjaan yang seharusnya juga dilakukan oleh sarjana-sarjana pribumi sendiri.

Tanpa salah urus saja, naskah kuno secara perlahan tapi pasti terancam punah mengingat daya tahan alas yang digunakan memiliki keterbatasan, apalagi ditambah kelembapan udara di iklim tropis, gigitan ngengat dan serangga, serta ancaman kemungkinan musnah akibat terjadinya bencana alam seperti gempa dan tsunami. Karena itu, salah urus pengelolaan museum atau perpustakaan seperti yang terjadi di Museum Reksopustoko Mangkunegaran atau Museum Radya Pustaka itu dipastikan akan mempercepat hilangnya penggalan artefak budaya yang sesungguhnya menyimpan informasi tentang siapa jatidiri kita.

Revitalisasi museum

Meskipun mewarisi aneka ragam artefak budaya bersejarah yang menegaskan identitas kita sebagai sebuah bangsa berperadaban besar, dibandingkan negara-negara lain, kita masih relatif ketinggalan dalam hal seni dan passion mengelola museum.

Kebanyakan museum di Indonesia, termasuk museum penyimpan naskah kuno, masih bersifat elitis, berjarak dengan masyarakat umum, hanya akrab dengan kalangan terdidik saja, dan ditunggui staf ala kadarnya.

Adapun museum-museum di sejumlah negara maju kini sudah bertransformasi tidak saja eksis dengan fungsi tradisionalnya sebagai tempat mengoleksi, merawat, dan memamerkan benda-benda bersejarah, melainkan juga sebagai destinasi wisata dan hiburan bagi pengunjung umum. Staf yang dipekerjakan pun adalah para kurator terdidik.

Visualisasi artefak di museum negara maju juga sinergis dengan perkembangan mutakhir teknologi komunikasi dan informasi sehingga menjadi atraktif dan menyenangkan bagi anak-anak sekalipun dengan tetap merawat tujuan utamanya untuk edukasi.

Hilangnya naskah kuno Jawa-Tiongkok koleksi Museum Reksopustoko Mangkunegaran, dan mungkin juga naskah-naskah dalam koleksi lain yang tidak terekspos, hanya salah satu akibat saja dari potret pengelolaan museum kita yang belum tercerahkan. Semoga ini menjadi momentum bagi kita untuk melakukan transformasi pengelolaan museum secara profesional, visioner, transparan, dan akuntabel sehingga melahirkan museum yang mendidik dan menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar