Valentine
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 14
Februari 2016
Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kota Makassar Alimuddin Tarawe pada 5 Februari 2016
menerbitkan surat edaran yang melarang pelajar merayakan hari Valentine.
Surat edaran ini dikeluarkan dalam rangka merealisasikan perilaku dan
karakter pelajar Kota Makassar yang sesuai norma dan budaya Indonesia.
Ada lima poin dalam
surat tersebut, yang intinya imbauan pada seluruh siswa di Kota Makassar agar
tidak menyelenggarakan Valentine di dalam maupun di luar sekolah. Surat itu
juga mengimbau agar orang tua dan wali murid mengawasi anaknya untuk tidak
merayakan Valentine.
Dalam poin yang lain,
disebutkan agar menanamkan sikap, perilaku karakter, atau kepribadian di
dalam lingkungan sekolah. Wali Kota Makassar Danny Pomanto kepada salah satu
media online, Sabtu (6/2/2016), membenarkan ini. Dia mengatakan dirinyalah
yang meminta kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Makassar
untuk mengeluarkan surat edaran tersebut.
“Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kegiatan-kegiatan
yang tidak sesuai dengan moral dan budaya ketimuran bangsa kita. Seperti
perayaan Valentine Day dengan pesta hura-hura, serta kegiatan yang dapat
merusak moral pelajar kita,” ujar Danny.
Hura-hura dan kegiatan
merusak moral (HHKMM) memang harus dicegah bahkan diberantas. Semua orang
setuju itu. Tetapi HHKMM terjadi juga setiap hari di luar Valentine: di hari
kerja, hari libur, hari besar, bahkan di hari-hari raya keagamaan, dibar.
Tempatnya pun bisa di mana saja: di karaoke, pesta narkoba, di WC kampus, di
tempat kos, bahkan di tempattempat ibadah sekalipun.
Jadi melarang remaja
merayakan Valentine pasti nggak ngefek buat pemberantasan HHKMM. Karena
sumbangan Valentine pada HHKMM sangat kecil, bahkan bisa jadi Valentine tidak
ada korelasinya dengan HHKMM. Tentu saja Valentine bisa disalahgunakan untuk
tujuan-tujuan negatif, termasuk HHKMM, tetapi agama pun bisa diatasnamakan
untuk tujuan-tujuan negatif, seperti mengafirkan orang (termasuk orang tua
sendiri) bahkan membunuh orang lain.
Jadi di tangan orang
yang bermaksud baik, apa pun jadi baik (termasuk Valentine); sebaliknya di
tangan yang bermaksud jahat, apa pun berujung kejahatan (termasuk agama).
Remaja, yaitu orang-orang yang lahir antara tahun 1995- 2000, biasanya
disebut sebagai Generasi Y. Mereka berbeda sekali dengan generasi
kakak-kakaknya, Generasi X, apalagi generasi orang tuanya.
Cara berpikir mereka
sudah sangat berbeda dari para orang tua, dan para guru mereka, apalagi
dengan cara berpikirnya Kepala Dinas P&K, atau Wali kota. Para birokrat
ini masih berpikir feodal seperti di zaman wayang orang. Kalau raja bertitah
maka semua rakyat harus menurut. Seakanakan ada garis komando antara Wali
kota, Kepala Dinas, guru, orang tua, dan anak-murid.
Di zaman Pak Harto,
mungkin model seperti ini masih ada, tetapi tidak sekarang. Anak Generasi Y
punya jaringan yang sangat luas, melalui gadget- nya. Jauh lebih luas
daripada Generasi X, walaupun Generasi X juga sudah kenal internet (tetapi
Generasi X belajar internet, baru sejak SD atau SMP di warnet, sedangkan
Generasi Y sudah memegang HP sejak umur satu tahun).
Karena itu, anak-anak
remaja yang mau merayakan Valentine, tidak akan mau mendengar orang tua,
guru, apalagi Kepala Dinas atau Wali kota, yang lihat tampangnya pun, mereka
belum pernah. Mereka justru akan mencari akal bagaimana caranya tetap
merayakan Valentine secara sembunyi-sembunyi, agar tidak ketahuan orang tua
dan guru, yang akibatnya orang tua dan guru malah tidak tahu mereka melakukan
apa dan di mana.
Akalnya remaja lebih
pandai dari pada otak orang tua atau guru. Percayalah! Lagi pula, pelarangan
Valentine justru akan menambah ketidaksukaan remaja kepada orang tua dan
guru. Sekali-sekali cobalah mengadakan Valentine di sekolah, atau orang tua
mengundang teman- teman anak-anaknya untuk merayakannya di rumah.
Biarkan mereka
melaksanakan dengan selera mereka sendiri, menghias dengan pita-pita merah
jambu, dan gambar-gambar hati (dalam bahasa Inggrisnya: heart, bukan liver),
menyiapkan konsumsi sendiri, mengatur acara sendiri dan seterusnya, tentu
saja masing-masing dengan “pacar”-nya. Guru atau orang tua tetap bisa
mengawasi dengan sesekali memberi saran-saran.
Dalam momen seperti
itu, guru atau orang tua harus menempatkan dirinya sebagai sesama remaja
bersama murid atau anak mereka, sehingga tercapailah kehangatan dalam
hubungan antara murid atau anak dengan guru dan orang tua. Buang jauh-jauh
perasaan orang tua dan guru tentang tidak suka atau tidak setuju dengan
alasan apa pun, karena remaja tidak akan bisa menerimanya.
Di sisi lain, saya
ingin bertanya apa sebetulnya yang dimaksudkan dalam surat edaran itu dengan
istilah “sikap, perilaku karakter atau
kepribadian” yang harus ditanamkan di lingkungan sekolah? Demikian pula
apa yang dimaksud dengan “moral dan budaya ketimuran bangsa kita”?
Bapak-bapak dan ibu-ibu pemimpin negara dan pemimpin daerah, banyak yang
terjerat KPK, walaupun sikap, karakter, kepribadiannya sangat sesuai dengan
moral dan budaya ketimuran.
Tidak pernah
tertinggal salat, mati-matian membela syariah Islam, yang wanita berjilbab,
dsb. Berapa banyak PNS (sekarang disebut: ASN) yang tertangkap di pusat
perbelanjaan atau di mal di tengah hari dan jam kerja lengkap dengan seragam
dinasnya. Padahal, saya yakin sebagian besar di antara mereka tidak merayakan
Valentine, bahkan tahu saja tidak.
Terakhir, Pak Wali
juga menyampaikan “... seperti perayaan
Valentine Day dengan pesta hura-hura, serta kegiatan yang dapat merusak moral
pelajar kita,”. Sepengetahuan saya, yang merusak itu bukan yang pesta
hura-hura, melainkan yang diam-diam merayakan berdua saja, dan diakhiri
dengan check in di hotel, atau
balik ke kos dan melewatkan malam itu berdua saja.
Karena itu, ingatlah
lagunya Titik Puspa “Boleh dua-duaan,
asal tetap di lingkaran, Tapi awas jangan pergi berduaan, nenek bilang itu
berbahaya wooo” . ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar