Duduk Bicara Meredakan Ketegangan
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 24
Februari 2016
Situasi keamanan di
kawasan Asia menjadi tegang, tidak hanya karena penempatan rudal
darat-ke-udara HQ-9 di Pulau Woody di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS),
tetapi juga ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea setelah Korea Utara
uji coba ledakan nuklir bawah tanah dan peluncuran satelit yang dilakukan
pada awal bulan ini.
Ada kekhawatiran
ketegangan ini berubah menjadi konflik terbuka ketika pihak-pihak yang
bersengketa, baik di gugusan Kepulauan Paracel maupun Semenanjung Korea,
tidak berhasil mencapai titik temu menghadapi ketegangan ini. Berbagai
kecaman yang muncul di Beijing, Washington, Tokyo, Seoul, dan Pyongyang menunjukkan
konflik berkepanjangan merebut lingkup pengaruh di Asia meningkat secara
dramatis.
Menlu Wang Yi
dijadwalkan bertolak ke Washington untuk berbicara dengan AS menghadapi
situasi baru di LTS dan Semenanjung Korea. Bersamaan dengan kecaman
dilontarkan berbagai pihak, terjadi peningkatan aktivitas militer, dari LTS
ke arah utara di Jepang dan Korsel yang menjadi seteru Korut.
Situasi ini memberikan
warna baru konflik Semenanjung Korea ketika Tiongkok tidak mau bertindak atas
uji coba nuklir dan peluncuran satelit Korut. Berbagai sanksi dan kecaman
tertuju kepada Pyongyang, mulai dari pembekuan rekening bank Korut di
Tiongkok, dihentikannya aktivitas industri di kawasan Kaesong yang
mempekerjakan 54.000 buruh Korut, mengoperasikan 126 perusahaan Korsel, serta
penempatan pengebom B-52, F-22, dan rudal pertahanan mandala THAAD (Terminal High-Altitude Area Defense).
Kita khawatir
kesalahan membaca situasi dan kondisi tegang di Semenanjung Korea akan memicu
konflik terbuka, menghadapi ancaman perang yang tidak pernah kita saksikan
sebelumnya. Ada beberapa faktor perlu disimak secara saksama.
Pertama, tidak bisa
disangkal perekonomian Tiongkok dalam masalah dengan laju pertumbuhan
melambat yang bisa menjadi ancaman serius bagi pasar global. Dalam sebuah
laporan yang dikeluarkan Kamar Dagang Uni Eropa di RRT awal pekan ini
disebutkan, RRT gagal menangani kelebihan kapasitas produksi industrinya
menyebabkan terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Ini menjelaskan RRT
dalam situasi ”kerepotan” karena persoalan dalam negeri terkait masalah
ekonomi domestik bisa mengacaukan legitimasi kekuasaan pemerintah dalam
mengendalikan persoalan Korut. Dan secara bersamaan, Beijing sadar kalau
masalah Korut hanya bisa diselesaikan dengan pengaruh RRT walaupun Kim Jong
Un belum diberi kesempatan bertemu dengan para pemimpin di Beijing.
Kedua, selama ini
persoalan yang muncul di Semenanjung Korea selalu menggunakan pendekatan
usang Perang Dingin, menghadapi masalah dengan kekuatan militer menggelar
berbagai perangkat keras. Dampak yang ditimbulkan melebar ketika berbagai
pihak berkepentingan di Semenanjung Korea membaca niatan penempatan THAAD dan
pesawat pengebom sebagai bentuk ancaman lain.
Mekanisme pertemuan
Six-Party Talks terhenti pada tahun 2009 ketika Tiongkok, AS, Korsel, Korut,
Jepang, dan Rusia tidak berhasil mencapai kesepakatan setelah Korut tetap
meluncurkan roket satelit yang dikecam dunia internasional. Sejauh ini tidak
ada pilihan yang tersedia ketika Beijing tidak mau menjadi penekan Pyongyang
dan AS memilih menempatkan perangkat keras militer sebagai penggetar.
Perlu gagasan baru
untuk bisa meredakan berbagai ketegangan ini, termasuk di antaranya pertemuan
informal dilakukan oleh ASEAN disponsori oleh Indonesia sebagai ”honest
broker.” Berbagai tekanan ekonomi dan perdagangan yang semakin berdampak luas
memerlukan saluran diplomasi baru yang tidak mengikat dengan tujuan agar
semua pihak yang bersengketa mau duduk dan bicara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar