Kebijakan Rasional Jaksa Agung
M Ali Zaidan ; Dosen Ilmu Hukum UPN Veteran Jakarta;
Mantan Anggota Komisi Kejaksaan
RI
|
KOMPAS, 15
Februari 2016
Presiden telah
memanggil Kapolri serta Jaksa Agung dan meminta agar kasus yang tengah
membelit Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan diselesaikan. Ungkapan
"diselesaikan" itu perlu dipertegas apakah dimaksudkan dengan
menghentikan perkara atau melanjutkan perkara itu ke ranah pengadilan.
Tak ada tafsir resmi
dan tunggal untuk menjelaskan makna di balik ungkapan Presiden, tetapi
rasionalitas pimpinan penegak hukum terutama Jaksa Agung menjadi penentu
segalanya. Sekarang bola panas berada di tangan Jaksa Agung, khususnya
perkara yang menyangkut Novel Baswedan (NB). Terakhir, diperoleh informasi
bahwa kejaksaan telah menarik berkas perkara yang seyogianya akan disidang di
pengadilan negeri, Jaksa Agung telah mengambil alih perkara itu dari tangan
kejari setempat.
Alternatif yang
membentang di hadapan Jaksa Agung terdiri dari tiga opsi, yakni deponering,
surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) atau melanjutkan perkara itu ke
sidang pengadilan. Ketiga, alternatif itu memberikan kewenangan kepada Jaksa
Agung untuk memberikan keputusan yang rasional dalam rangka penegakan hukum
khususnya dalam konteks pemberantasan korupsi. Hal ini mengingat ketiganya
merupakan pimpinan dan ikon pemberantasan korupsi. Sungguh suatu ironi
apabila ketiganya yang telah dikenal luas mendedikasikan dirinya untuk
membersihkan negeri ini dari korupsi harus berujung pada jerat hukum yang
membelenggu kehidupannya. Mereka korban kriminalisasi penegakan hukum
legalistik.
Istilah kriminalisasi
atas ketiganya harus dibaca dalam konteks yang netral karena mereka tengah
menghadapi tuntutan hukum untuk membuktikan apakah mereka bersalah atau tidak
dalam kasus yang dipersangkakan. Namun, yang pasti, hingga saat ini
ketiganya-termasuk juga yang lain-berada dalam kondisi kritis meskipun
perkaranya dihentikan atau dilanjutkan.
Abraham Samad (AS) dan
Bambang Widjojanto (BW) telah melewati masa kritis karena tak lagi
berkedudukan sebagai pimpinan KPK, apabila kriminalisasi bertujuan agar
keduanya "tersingkir" dari kepemimpinan institusi yang jadi musuh
para koruptor.
Akan halnya NB, juga
tengah berada di titik kritis mengingat delik yang dipersangkakan adalah
tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian yang diancam dengan
pidana penjara tujuh tahun, berdasarkan ketentuan hukum pidana Pasal 78 ayat
(1) ke 3 bahwa tenggang waktu daluwarsa tindak pidana itu adalah dua belas
tahun. Hal ini berarti bahwa Kejaksaan (Agung) berada dalam titik kritis pula
ketika (akan) melimpahkan perkara itu ke pengadilan.
Demi hukum
Deponering atau
seponering pada hakikatnya kewenangan Jaksa Agung sebagaimana ditetapkan UU.
Perkara yang pernah menimpa Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah telah
membekas dalam benak publik mengingat ada pandangan bahwa perkara itu pada
hakikatnya "ada", tetapi dikesampingkan demi kepentingan umum. Hal
ini terus digelontorkan sebagian ahli hukum. Jika dikaitkan dengan asas
praduga tak bersalah, keduanya wajib dianggap tak bersalah dan perkaranya
dianggap tak pernah ada. Intinya, kebijakan deponering yang diberikan Jaksa
Agung ketika itu bukan solusi tepat. Sebagai alternatif, deponering berisiko
munculnya kontroversi lanjutan.
Pilihan kedua,
menghentikan perkara itu berdasarkan kewenangan yang dimiliki kejaksaan,
dengan mengeluarkan SKP2, khususnya terhadap NB, mengingat ketentuan hukum
materiil dalam KUHP telah menentukan tenggang waktu daluwarsa. Penetapan SKP2
hanya terjadi dalam tiga kemungkinan, salah satunya penuntutan dihentikan
demi hukum. Artinya, hukum materiil telah menentukan agar perkara itu tidak
dilanjutkan lagi.
Dasar rasionalitas itu
telah ditentukan oleh doktrin hukum pidana yang menggariskan demi kepastian
hukum, suatu perkara jangan sampai berlarut-larut dan membelenggu hak asasi
manusia seseorang. Seseorang harus dibebaskan dari unofficial punishment
sebagai akibat proses hukum legalistik. Jika prinsip individualisasi
diterapkan, terhadap AS dan BW dapat diberikan deponering, sedangkan NB
diberikan SKP2.
Apabila argumentasi di
atas dikaitkan dengan tujuan hukum yang terdiri dari keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan, nilai manakah yang akan dicapai dari proses hukum
dari ketiganya khususnya NB? Telah dikatakan bahwa hukum materiil dengan
tegas menentukan adanya daluwarsa. Demi kepastian hukum, pengaturan tentang
daluwarsa tidak dapat ditafsirkan lain. Haruskah untuk menghukum BN ketentuan
hukum materiil dikesampingkan?
Hukum pengayoman
Nilai kemanfaatan
bukan terletak pada dijatuhi hukuman terhadap seorang pelanggar hukum semata,
tetapi seberapa jauh ketentuan hukum materiil dalam KUHP diindahkan.
Mengambil alih berkas perkara bukan dimaksudkan untuk menyempurnakan tuntutan
mengingat berkas tersebut telah cukup lama, atau sebagai dasar menetapkan
penyampingan perkara demi kepentingan umum. SKP2 merupakan bentuk penghentian
perkara demi kepentingan hukum.
Ketiga alternatif
punya konsekuensi yang berbeda, tetapi dapat digunakan guna mencapai tujuan
yang sama, yakni terwujudnya keadilan sebagai tujuan hakiki penegakan hukum.
Publik tidak mengharapkan ketiganya tersandera. Hukum secara subyektif
membebaskan ketersanderaan dan secara obyektif berfungsi sebagai alat
pengayoman.
Fungsi itu yang harus
dikedepankan oleh JA sebagai pengendali kebijakan penegakan hukum di bidang
penuntutan dan tidak saja mengejar kepastian hukum yang terkadang mekanistik.
Keadilan substantif harus diwujudkan dalam proses hukum terhadap ketiganya,
dengan mengedepankan fungsi pengayoman hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar