Inteligensia Indonesia
Ignas Kleden ; Sosiolog
|
KOMPAS, 19
Februari 2016
Dalam pengertian yang
disederhanakan, inteligensia adalah kaum terpelajar dan terdidik yang
berperan sebagai ujung tombak perubahan dan pembaruan masyarakatnya.
Di pihak lain, kita
mendapati kaum literati yang berperan sebagai benteng pertahanan nilai,
norma, dan perilaku budaya. Mereka ini terpanggil merawat dan melestarikan
nilai-nilai dan bentuk kebudayaan, khususnya dalam seni dan sastra, menurut
pakem-pakem yang berlaku dalam tradisi. Sebaliknya, kaum inteligensia merasa
terpanggil untuk menerobos batas-batas tradisi demi menjajaki kemungkinan
lain yang diperlukan untuk memperbarui tradisi sebagai prasyarat bagi
pembentukan masyarakat baru.
Ketika Sutan Takdir Alisjahbana
(STA) berpolemik dengan guru-guru bahasa Melayu yang merasa harus setia
kepada paramasastra Melayu, sementara STA membuka kemungkinan baru dalam
pemakaian bahasa Indonesia, maka di sana terjadi polemik antara inteligensia
dan literati. Sama halnya dalam debat dengan lawan-lawannya dalam Polemik
Kebudayaan, dia bertindak sebagai inteligensia yang menganjurkan pembentukan
kebudayaan Indonesia baru berdasarkan etos kebudayaan Barat, sambil mendesak
agar kebudayaan lama dalam tradisi ditinggalkan saja sebagai kebudayaan
pre-Indonesia. Sikap ini jelas memancing reaksi para literati yang melihat
pentingnya tradisi dalam kebudayaan Indonesia, baik karena tradisi itu sudah berfungsi
selama ratusan tahun maupun karena kebudayaan Barat memperlihatkan berbagai
ekses yang dapat merugikan kebudayaan Indonesia.
STA hanya salah satu
contoh. Kebangkitan gerakan kebangsaan di Hindia Belanda sejak dasawarsa
pertama abad ke-20 telah digerakkan para inteligensia. Para Ibu dan Bapak
Bangsa, seperti Kartini, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Cokroaminoto,
Haji Agus Salim, ataupun Sam Ratulangi adalah kaum inteligensia yang lahir
dari pendidikan Barat hasil Politik Etis pemerintah kolonial, yang kemudian
mengambil jarak dari tradisi politik kolonial yang intinya menciptakan rust
en orde, yaitu ketenangan dan ketertiban di seluruh koloni. Dengan segala
cara, kaum inteligensia berusaha membuka mata bangsanya bahwa ideal
masyarakat yang tenang dan tertib hanya opium yang membuat orang tak sadar
lagi tentang demikian banyak penderitaan, ketidakadilan, pemerasan, dan
kehinaan yang diterima begitu saja oleh penduduk pribumi, yang merasa harus
ikut bertanggung jawab atas terciptanya ketenangan dan ketertiban.
Diperlihatkan
diskriminasi dan ketidakadilan yang terwujud dalam berbagai sektor. Di bidang
sosial diciptakan diskriminasi rasial dalam pembagian kerja antara penduduk
Eropa, penduduk Timur Asing, dan penduduk pribumi, sementara orang banyak
dibius dalam diskriminasi ini melalui penamaan ilmiah yang keren, seperti ethnically
stratified division of labor atau pembagian kerja berdasarkan stratifikasi
etnik. Dalam ekonomi diperkenalkan dualisme ekonomi, dengan penjelasan bahwa
ekonomi kolonial yang berorientasi ekspor harus dipisahkan dari ekonomi
penduduk yang subsisten, yang menjamin ketenangan penduduk di pedesaan,
karena ekonomi pasar tidak boleh mengganggu kerukunan hidup penduduk.
Dalam bidang bahasa
diciptakan diskriminasi linguistik. Pribumi, khususnya anak-anak bangsawan
lokal, diberi kesempatan belajar bahasa Belanda, tetapi dalam pergaulan
sehari-hari penduduk setempat dilarang bicara Belanda dengan tuan-tuan
Belanda, dan hanya boleh mempergunakan bahasa Melayu pasar, seakan bahasa
Belanda terlalu mulia dipergunakan oleh para inlander. Dalam bidang politik
dilancarkan secara gencar politik pecah-belah atau divide et impera melalui
konflik dan persaingan yang direkayasa dan didorong antara para raja di
berbagai kerajaan Nusantara, dan antara para bangsawan dan rakyat jelata.
Pendidikan dibatasi hanya untuk anak-anak bangsawan atau para pejabat pribumi
yang bergaji cukup, sementara patriarki dalam tradisi kebudayaan lokal
diperkuat dengan membatasi pendidikan kaum perempuan.
Kesadaran kebangsaan
Kesimpulan para
inteligensia kita: semua ketidakadilan, diskriminasi, penderitaan, dan
kehinaan itu telah lahir dari satu kenyataan yang sama, yaitu hilangnya
hak-hak suatu bangsa untuk menentukan dan mengatur dirinya sendiri, dan
menggantungkan nasibnya pada kekuasaan bangsa lain. Perlahan lahir kesadaran
kebangsaan. Ahli politik Ben Anderson menjadi masyhur di antara ahli ilmu
sosial di seluruh dunia dengan definisinya tentang bangsa sebagai komunitas
politik yang hanya terbayangkan karena sebagian besar anggotanya tak pernah
bertemu dan tak saling mengenal, tetapi sama-sama merasa anggota suatu
komunitas politik yang sama. Namun,
jauh sebelumnya, Soekarno bertolak dari paham lain dan berpegang pada
definisi Otto Bauer: eine Nation ist
eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft.
Soekarno menegaskan,
bangsa lahir dari persatuan nasib yang membawa persatuan perangai. Betapa pun
menariknya argumen akademis dan
teoretis yang diajukan Ben Anderson, suatu bangsa yang sedang bergolak tak
dapat dikobarkan semangatnya jika kepada mereka dimaklumkan bangsa adalah an imagined political community. Dalam
pengertian Soekarno, suatu bangsa tak lahir dari bayangan tentang suatu
komunitas politik, tetapi dari
pengalaman tentang penderitaan yang sama, nasib sama, yang akhirnya
menghasilkan perangai sama disertai tekad sama.
Lahir kemudian
berbagai inisiatif untuk pembebasan sekaligus dibangun kesadaran nasionalis
tentang hak suatu bangsa untuk mengatur dirinya sendiri, dan dengan cara itu
menciptakan martabatnya di antara bangsa-bangsa lain di dunia sebagai bangsa
dan negara merdeka. Hatta dan Sjahrir memberikan kursus-kursus untuk mendidik
kader agar menguasai kepandaian teknis dan administratif sehingga para kader
ini kelak sanggup mengambil alih administrasi pemerintahan dari tangan
administrator kolonial. Soekarno, lewat pidato-pidatonya yang gempar,
menekankan perlunya persatuan semua golongan sebagai sarana melumpuhkan tipu
muslihat adu domba yang memecah-belah, dan sekaligus mengerahkan massa rakyat
untuk bersatu padu dalam machtsvorming (pembentukan kekuatan politik).
Kartini, lewat
surat-suratnya, membuka pintu emansipasi bagi kaum perempuan dan mendorong
pendidikan untuk mereka. Tan Malaka mendirikan sekolah untuk anak-anak buruh
perkebunan dan mengajarkan bahwa tenaga kerja buruh adalah faktor produksi
yang sama penting dengan modal tuan-tuan besar pemilik perkebunan sehingga
mereka harus berani dan sanggup membela tenaga kerja mereka berdasar asas
keadilan menurut hukum berlaku. Cokroaminoto dan Agus Salim mendidik umat
bahwa Islam memuliakan persamaan dan keadilan dan dapat jadi tempat
perlindungan bagi mereka yang terdiskriminasi dan tertindas, sementara agama
adalah ruang suci yang tak bisa diterobos oleh kekuatan asing.
Tentu saja tak dapat
dikatakan, kaum inteligensia Indonesia 1930-1940-an adalah satu-satunya pihak
yang membawa Indonesia kepada kemerdekaan. Ada begitu banyak golongan yang
terlibat dalam perjuangan itu: para pemuda revolusioner, pemimpin agama, para
saudagar, khususnya saudagar Islam yang terorganisasi dalam Serikat Dagang
Islam, para pejuang gerilya, serta para buruh dan tani. Namun, kaum
inteligensia telah memberikan
inspirasi pertama tentang kebangsaan dan kemerdekaan, dan memimpin perjuangan
sepanjang jalan. Merekalah yang membuka mata rakyatnya terhadap perlunya
kemerdekaan politik, kemerdekaan budaya, kemerdekaan ekonomi, kemerdekaan
linguistis, serta kemerdekaan dalam pertahanan dan keamanan. Jenderal
Sudirman adalah seorang guru, seorang inteligensia, yang kemudian bersinar
sebagai idola bagi perjuangan bersenjata.
Apa dan siapa kaum inteligensia
Tak semua intelektual
dan akademisi berperan sebagai inteligensia. Kelompok Mandarin dalam
kekaisaran Tiongkok klasik adalah intelektual yang terdidik dan terpelajar
secara literer dan humanistis. Mereka punya pengetahuan mendalam tentang
sastra dan kebudayaan, tetapi pengetahuan ini menjadi prasyarat agar mereka
diterima dalam salah satu dari sembilan tingkat kepegawaian dalam birokrasi
Tiongkok klasik. Mereka berperan sebagai literati, tetapi bukan inteligensia.
Dalam sejarah
intelektual di Barat, di bawah pengaruh zaman Romantik, dengan Rousseau di
Perancis sebagai eksponen utama, muncul kelompok yang bukan saja melepaskan
diri dari rasionalisme masa Pencerahan, tetapi juga dari basis sosial
borjuasi baru, dan menjadi apa yang oleh sosiolog Karl Mannheim dinamakan sozial freischwebende Intellektuelle
yang diterjemahkannya sendiri ke bahasa Inggris sebagai socially unattached intellectuals atau yang boleh kita namakan free-floating intellectuals. Mereka
bukanlah intelektual organik dalam pengertian Gramsci, yaitu mereka yang
merumuskan aspirasi kelasnya dan menjadi juru bicara kelas.
Inteligensia yang
muncul di masa Romantik hidup dengan pandangan dunia yang romantis dalam
kondisi ekonomis labil. Secara intelektual, mereka tak utamakan pengetahuan
sistematis yang tersusun rapi tentang keadaan masyarakatnya, tetapi
mengimpikan dan mendorong orang ke suatu susunan masyarakat lain yang baru.
Untuk mereka, sikap romantis suatu kekuatan. Mannheim mengutip Novalis
penyair Jerman yang hidup akhir abad ke-18 dan mewujudkan semangat romantik
dalam sajak-sajaknya. Kata Novalis, "Bersikap
dan berlaku romantis tak lain dari meningkatkan potensi seseorang secara
kualitatif. Diri yang rendah diidentifikasikan sebagai diri yang lebih baik
dalam sikap ini.. Karena tatkala melihat nilai yang tinggi dalam sesuatu yang
banal, memberi wibawa yang penuh rahasia kepada pada yang remeh temeh, menemukan martabat
dari sesuatu yang tak dikenal dalam apa yang dikenal, dan memandang yang fana
seolah-olah suatu yang abadi, maka saya bertindak romantis."
Intelektual yang
berperan sebagai inteligensia tak jadi tawanan masa sekarang, tetapi jadi
perintis masa depan. Mengutip filosof Ernst Bloch, mereka bukanlah orang yang
menikmati dan mempertahankan apa yang ada, tetapi mengambil risiko mewujudkan
yang belum ada. Ini bukan ideal khayali. Soekarno tak membangun kantor
kontraktor bangunan, tetapi menceburkan diri dalam usaha pembangunan lain
yang bernama nation building. Agus Salim sebagai polyglot yang mendekati
genius, tak mendirikan sekolah bahasa asing atau jadi juru bahasa tingkat
tinggi, tetapi bergiat sebagai pejuang yang mencerdaskan rakyat melalui
berbagai tulisan. Hatta tak menyewakan tenaganya sebagai konsultan ekonomi,
atau bankir, tetapi memberi pendidikan untuk koperasi bagi rakyat, dan
bersama Sjahrir mendidik para kader politik. Sam Ratulangi tak melamar jadi
guru besar matematika, tetapi memimpin perjuangan politik di daerah.
Semua ini dikatakan
tak untuk menafikan pentingnya profesionalisme, kepandaian teknis, atau
keahlian para spesialis bagi kemajuan bangsa. Namun, perlu diingat kembali,
Indonesia tak akan bangkit berdiri sebagai bangsa dan negara kalau kaum yang
paling terpelajar dan terdidik pada suatu masa yang genting tak mengutamakan
kemajuan diri mereka dan mantapnya basis ekonomi dan sosial yang dimungkinkan
untuk mereka berkat keahlian yang dikuasai, tetapi memilih menjadi
freschwebende Intellektuelle seperti kata sosiolog Mannheim, dan mencoba jadi inteligensia yang berenang dan
mengambang di antara beberapa kemungkinan yang sempit, memperkenalkan ide
baru tentang kebangsaan dan kemerdekaan, yang untuk bangsanya sendiri pada
saat itu, barangkali merupakan gagasan asing yang dianggap hanya menggantang
asap.
Dalam lintasan sejarah
modern Indonesia, para inteligensia pada awal abad ke-20 adalah mereka yang
terlibat dalam perjuangan politik dengan menjadi penggagas nasionalisme dan
kemungkinan untuk merdeka. Pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan,
mereka merelakan diri menjadi statesmen, yaitu negarawan yang memimpin bangsa
dan negaranya, hidup dalam kehidupan ekonomi serba compang-camping bersama
rakyatnya dan membangun kepercayaan diri bangsanya untuk tegak berdiri. Pada
zaman Demokrasi Terpimpin dan sesudahnya, mereka jadi kelompok yang berjuang
dalam partai-partai politik yang yakin bahwa ideologi masing-masing adalah
jalan terbaik membawa Indonesia menuju kemajuan.
Pada masa Orde Baru,
kaum terpelajar amat dibutuhkan oleh administrasi pemerintahan Soeharto dan
diserap dalam administrasi pemerintahan Orde Baru. Ideologi dianggap momok
yang menghalangi pembangunan ekonomi. Pembangunan diterjemahkan jadi
teknokrasi, ibarat mesin yang tiap bagiannya harus dijalankan oleh
masing-masing insinyur berijazah khusus. Pada masa reformasi, kaum terpelajar
memilih di antara tiga kemungkinan tersedia, jadi bagian dari administrasi
pemerintahan, bergabung dengan kekuatan politik dalam parpol, atau mencari
basis sosial dalam dunia industri dan bisnis sebagai tenaga ahli atau
konsultan yang dibayar mahal. Inteligensia adalah bagian sejarah lahirnya
suatu bangsa dan negara merdeka. Peran ini tak boleh hilang karena orang
enggan hidup dengan mengambil risiko labilnya basis sosial-ekonomi yang jadi
zona nyaman untuk hidupnya sendiri. Peran ini layak dipertahankan agar kita
tak mengulang teriakan dan ratapan bangsa Jerman setelah kalah Perang Dunia
II dengan menyanyikan elegi baru bagi negeri ini, noch ist Indonesien nicht verloren, Indonesia belum kalah dan belum
hilang lenyap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar