Senin, 29 Februari 2016

Sejarawan dan Novelis

Sejarawan dan Novelis

M Fauzi Sukri ;   Santri dan Peneliti di Bilik Literasi
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejarah bisa terdengar menakjubkan, tapi sering menjadi melankolia ironis bagi seorang sejarawan. Hal ini, terutama, saat yang ditulisnya adalah gerak perjuangan manusia dalam arus nasionalisme (juga anarkisme-nasionalistik) untuk membentuk negara-bangsa. Dalam esai penutup buku kajian nasionalisme mutakhirnya, Spectre of Comparison (Hantu Komparasi), Ben Anderson (2002) merefleksikan posisi seorang sejarawan dengan nada-nada yang terdengar sunyi, bahkan terkesan penuh melankoli tak heroik. Para sejarawan sudah tidak mungkin lagi menulis sejarah negara-nasional yang begitu hegemonik bagi tata-kemasyarakatan dengan heroik, tanpa mendapatkan kritik telak penuh pencibiran bahkan pengucilan. Tiap sejarawan penulis sejarah negara-bangsa sudah pasti menyadari aforisme pahit Walter Benjamin: "Tidak ada dokumen peradaban yang tak juga merupakan dokumen barbarisme."

Setelah selama 200 tahun persoalan narasi sejarah negara-bangsa tampak begitu jelas, membawa kemerdekaan dan pembebasan manusia secara kolektif. Namun, secara prinsipil, sekarang mulai menampakkan perubahan-perubahan yang mengecewakan bahkan menggetirkan nurani. Bukan hanya nilai-nilai kemanusiaan yang melandasi nasionalisme negara-bangsa mulai melangkah lebih jauh mengecam nilai-praksis kekerasan negara. Namun, kata Ben Anderson, "Sejarah-sejarah yang dibuat oleh tim negara sebagaimana dipublikasikan pada akhir senja kala abad kita [XX] tidak membangkitkan antusiasme yang cukup besar, dan bahkan tampak memancing kegelisahan tertentu."

Kegelisahan ini justru menyeruak dari dalam negara-bangsa itu sendiri yang begitu berkehendak untuk menghegemoni narasi sejarah. Di Indonesia, sejarah resmi negara sejak awal pembentukan panitianya sudah membuat kegaduhan perihal independensi dan kebebasan akademik di antara para sejarawan sendiri. Dan, rakyat Indonesia sadar, dengan sedikit saja mempelajari sejarah resmi negara Indonesia secara kritis, bahwa betapa terkadang di sana-sini penuh bolong, atau bahkan bohong, atau, setidaknya, memberikan imajinasi historis yang penuh dengan area peristiwa yang tak boleh atau bahkan terlarang ditulis dan diajarkan, termasuk perihal para pahlawan-pahlawan nasional kita yang selalu tampil necis, heroik, datar, tak berdosa. Sejarah resmi negara-bangsa sebagian besar sering tidak menarik untuk dibaca lagi, kecuali jadi mata pelajaran paksa yang membosankan, dan kecuali bagi sejarawan yang berkehendak untuk mempertimbangkannya kembali.

"Para sejarawan," kata Ben Anderson dengan nada insaf seakan ingin berkata kepada dirinya sendiri dan untuk masa depan, "sangat memahami bahwa mereka ditakdirkan untuk digantikan oleh para penerusnya yang lebih muda dan oleh aliran zaman sejarah itu sendiri. Harapan terbaik mereka untuk dikenang terletak pada kemungkinan mereka dapat meminggir diam-diam dari perkemahan Sejarah yang bergerak ke pertapaan Literatur yang diam, dengan mengikuti jejak langkah Thucydides, Tacitus, Giccon, Michelet, dan Burkhardt." Tak hanya itu, kata Ben Anderson, "dalam pertapaan tersebut, mereka akan saling bersikutan dengan, di antaranya, para novelis yang baik. Jika mereka [sejarawan] menunaikan pekerjaannya pada zaman nasionalisme, yang masih ada bersama kita, mereka menemukan bahwa mereka terjebak dalam persaingan yang berat."

/2/

Tiap negara-bangsa memang tidak kekurangan sejarawan nasionalis yang tak perlu diragukan nasionalismenya. Namun, kita kemudian sadar bahwa betapa sering tak populer dan tak lakunya karya sejarawan (resmi) nasionalis dibandingkan sastrawan (nasionalis) yang menulis novel sejarah negara-bangsa. Kita punya contoh tipikal yang sungguh ironis tak terlupakan: novel tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer sudah pasti bakal dibaca dengan antusias generasi-generasi sekarang dan mendatang daripada buku-buku sejarah resmi negara perihal sejarah perkembangan nasionalisme Indonesia. Ironisnya, Pramoedya berpuluh-puluh tahun dipenjara oleh aparat negara Indonesia sendiri.

Ironi ini berangkat dari ketaksadaran bahwa kelahiran (khususnya) novel sebagai komoditas rakyat sejak awal berangkat bersama dan saling terkait dengan arus pembentukan negara-bangsa. Seperti dikatakan Ben Anderson (2002), juga dalam Imagined Communities (2006), "Bangsa dan novel sama-sama dipicu oleh simultanitas [waktu] yang dimungkinkan oleh 'zaman yang hampa, homogen' buatan manusia... dari masyarakat yang dipahami sebagai entitas intrahistoris yang terikat. Seluruh hal ini membuka jalan bagi manusia untuk membayangkan berbagai komunitas yang luas, lintas-generasi, dan tidak dibatasi secara tajam, terdiri atas orang-orang yang kebanyakan tidak saling mengenal." Novel, sebagai salah satu bentuk sastra yang paling bisa dinikmati rakyat khususnya dalam bentuk terbitan di media cetak, mempunyai kapasitas untuk merepresentasikan subyektivitas komunal masyarakat secara sinkronik dan sekaligus menggerakkannya dalam intrahistorisnya sendiri menuju suatu masa depan (kemerdekaan) kolektif.

Dalam representasi inilah kita mendapatkan suatu konstruksi imajinatif yang membentuk negara-bangsa atau komunitas terbayang (imagined community). Dalam beberapa hal, hasil konstruksi imajinatif novel sungguh tidak ada bedanya dengan hasil konstruksi imajinatif (dalam benak pembaca) dari seorang sejarawan. Kita akhirnya hanya mewarisi dan memiliki imajinasi saja dalam benak kita. Tidak lebih. Tentu saja sejarah nasional melengkapinya dengan narasi diakronik yang berpretensi sebagai imajinasi faktual historis. Namun, dalam bentuk narasinya, konstruksi imajinatif novel sungguh jauh lebih mengungguli narasi sejarah, khususnya jika dibandingkan dengan bentuk penulisan sejarah yang kita baca sejak dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Tak pelak lagi, secara umum, seorang novelis sejarah sering jauh lebih bebas membuat interpretasi dan merekonstruksi sejarah dengan gaya bahasa yang bisa merogoh jiwa manusia, melebihi gaya penulisan seorang sejarawan ampuh sekalipun. Dan yang terutama sering tak dimiliki sejarawan, seorang novelis bisa melampaui ironi yang ditanggung sejarawan resmi negara. Seorang novelis memiliki kebebasan yang jauh lebih besar untuk merekonstruksi para tokohnya: menjadi seorang nasionalis radikal, pembangkang bahkan penghancur masyarakat, atau seorang universalis humanis yang sudah melampaui batas-batas nasionalisme sempit, menjadi tokoh bejat tak bermoral, dan seterusnya, yang semuanya sebisa mungkin wajib meyakinkan para pembacanya. Dalam tataran tertentu, konstruksi novel bisa jauh lebih membumi dalam semesta nasionalitas (atau globalitas) daripada konstruksi seorang sejarawan resmi.

/3/

Tentu saja, sekarang para sejarawan cukup bisa menilai dan merekonstruksi sejarah bangsa Indonesia jauh lebih kritis, meski masih dibayang-bayangi adikuasa negara. Dan kita memang tidak cukup mendapatkan novel yang bisa melampaui sejarah batas nasionalitas yang begitu hegemonik mengerangkeng serat dasar narasi novel-novel (prosa) Indonesia. Barangkali, para prosais juga ikut semacam terjebak dalam ironi yang sama seperti sejarawan: tuntutan sastra yang berpijak di bumi Indonesia. Kita memang sudah memasuki pascanasionalisme, atau "pasca-Indonesia" meminjam Romo Mangunwijaya yang juga merekonstruksi hal tersebut dalam novelnya, tapi bukan berarti negara-bangsa sudah mendekati ajal yang pasti. Serat dasar konstruksi prosa di masa depan masih bakal dianggit dari dasar nasionalitas baik secara jelas atau samar-samar.

Namun, yang tampaknya masih tetap, seperti ramalan Ben Anderson, para prosais bisa jauh lebih imajinatif dan kritis, jika dibandingkan konstruksi para sejarawan negara. Barangkali seharusnya tanpa begitu terbebani aforisme pahit Walter Benjamin, kecuali ironi itu sendiri yang dijadikan serat dasar prosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar