Sejarawan dan Novelis
M Fauzi Sukri ;
Santri dan Peneliti di Bilik
Literasi
|
KOMPAS, 28
Februari 2016
Sejarah bisa terdengar
menakjubkan, tapi sering menjadi melankolia ironis bagi seorang sejarawan.
Hal ini, terutama, saat yang ditulisnya adalah gerak perjuangan manusia dalam
arus nasionalisme (juga anarkisme-nasionalistik) untuk membentuk
negara-bangsa. Dalam esai penutup buku kajian nasionalisme mutakhirnya, Spectre of Comparison (Hantu Komparasi), Ben Anderson (2002)
merefleksikan posisi seorang sejarawan dengan nada-nada yang terdengar sunyi,
bahkan terkesan penuh melankoli tak heroik. Para sejarawan sudah tidak
mungkin lagi menulis sejarah negara-nasional yang begitu hegemonik bagi
tata-kemasyarakatan dengan heroik, tanpa mendapatkan kritik telak penuh
pencibiran bahkan pengucilan. Tiap sejarawan penulis sejarah negara-bangsa
sudah pasti menyadari aforisme pahit Walter Benjamin: "Tidak ada dokumen peradaban yang tak juga merupakan dokumen
barbarisme."
Setelah selama 200
tahun persoalan narasi sejarah negara-bangsa tampak begitu jelas, membawa
kemerdekaan dan pembebasan manusia secara kolektif. Namun, secara prinsipil,
sekarang mulai menampakkan perubahan-perubahan yang mengecewakan bahkan
menggetirkan nurani. Bukan hanya nilai-nilai kemanusiaan yang melandasi
nasionalisme negara-bangsa mulai melangkah lebih jauh mengecam nilai-praksis
kekerasan negara. Namun, kata Ben Anderson, "Sejarah-sejarah yang dibuat oleh tim negara sebagaimana
dipublikasikan pada akhir senja kala abad kita [XX] tidak membangkitkan
antusiasme yang cukup besar, dan bahkan tampak memancing kegelisahan
tertentu."
Kegelisahan ini justru
menyeruak dari dalam negara-bangsa itu sendiri yang begitu berkehendak untuk
menghegemoni narasi sejarah. Di Indonesia, sejarah resmi negara sejak awal
pembentukan panitianya sudah membuat kegaduhan perihal independensi dan
kebebasan akademik di antara para sejarawan sendiri. Dan, rakyat Indonesia
sadar, dengan sedikit saja mempelajari sejarah resmi negara Indonesia secara
kritis, bahwa betapa terkadang di sana-sini penuh bolong, atau bahkan bohong,
atau, setidaknya, memberikan imajinasi historis yang penuh dengan area
peristiwa yang tak boleh atau bahkan terlarang ditulis dan diajarkan,
termasuk perihal para pahlawan-pahlawan nasional kita yang selalu tampil
necis, heroik, datar, tak berdosa. Sejarah resmi negara-bangsa sebagian besar
sering tidak menarik untuk dibaca lagi, kecuali jadi mata pelajaran paksa
yang membosankan, dan kecuali bagi sejarawan yang berkehendak untuk
mempertimbangkannya kembali.
"Para sejarawan," kata Ben Anderson dengan nada insaf seakan
ingin berkata kepada dirinya sendiri dan untuk masa depan, "sangat memahami bahwa mereka
ditakdirkan untuk digantikan oleh para penerusnya yang lebih muda dan oleh
aliran zaman sejarah itu sendiri. Harapan terbaik mereka untuk dikenang
terletak pada kemungkinan mereka dapat meminggir diam-diam dari perkemahan
Sejarah yang bergerak ke pertapaan Literatur yang diam, dengan mengikuti
jejak langkah Thucydides, Tacitus, Giccon, Michelet, dan Burkhardt."
Tak hanya itu, kata Ben Anderson, "dalam
pertapaan tersebut, mereka akan saling bersikutan dengan, di antaranya, para
novelis yang baik. Jika mereka [sejarawan] menunaikan pekerjaannya pada zaman
nasionalisme, yang masih ada bersama kita, mereka menemukan bahwa mereka
terjebak dalam persaingan yang berat."
/2/
Tiap negara-bangsa
memang tidak kekurangan sejarawan nasionalis yang tak perlu diragukan
nasionalismenya. Namun, kita kemudian sadar bahwa betapa sering tak populer
dan tak lakunya karya sejarawan (resmi) nasionalis dibandingkan sastrawan
(nasionalis) yang menulis novel sejarah negara-bangsa. Kita punya contoh
tipikal yang sungguh ironis tak terlupakan: novel tetralogi Buru Pramoedya
Ananta Toer sudah pasti bakal dibaca dengan antusias generasi-generasi
sekarang dan mendatang daripada buku-buku sejarah resmi negara perihal
sejarah perkembangan nasionalisme Indonesia. Ironisnya, Pramoedya
berpuluh-puluh tahun dipenjara oleh aparat negara Indonesia sendiri.
Ironi ini berangkat
dari ketaksadaran bahwa kelahiran (khususnya) novel sebagai komoditas rakyat
sejak awal berangkat bersama dan saling terkait dengan arus pembentukan
negara-bangsa. Seperti dikatakan Ben Anderson (2002), juga dalam Imagined
Communities (2006), "Bangsa dan novel sama-sama dipicu oleh simultanitas
[waktu] yang dimungkinkan oleh 'zaman yang hampa, homogen' buatan manusia...
dari masyarakat yang dipahami sebagai entitas intrahistoris yang terikat.
Seluruh hal ini membuka jalan bagi manusia untuk membayangkan berbagai
komunitas yang luas, lintas-generasi, dan tidak dibatasi secara tajam,
terdiri atas orang-orang yang kebanyakan tidak saling mengenal." Novel,
sebagai salah satu bentuk sastra yang paling bisa dinikmati rakyat khususnya
dalam bentuk terbitan di media cetak, mempunyai kapasitas untuk
merepresentasikan subyektivitas komunal masyarakat secara sinkronik dan
sekaligus menggerakkannya dalam intrahistorisnya sendiri menuju suatu masa
depan (kemerdekaan) kolektif.
Dalam representasi
inilah kita mendapatkan suatu konstruksi imajinatif yang membentuk
negara-bangsa atau komunitas terbayang (imagined
community). Dalam beberapa hal, hasil konstruksi imajinatif novel sungguh
tidak ada bedanya dengan hasil konstruksi imajinatif (dalam benak pembaca)
dari seorang sejarawan. Kita akhirnya hanya mewarisi dan memiliki imajinasi
saja dalam benak kita. Tidak lebih. Tentu saja sejarah nasional melengkapinya
dengan narasi diakronik yang berpretensi sebagai imajinasi faktual historis.
Namun, dalam bentuk narasinya, konstruksi imajinatif novel sungguh jauh lebih
mengungguli narasi sejarah, khususnya jika dibandingkan dengan bentuk
penulisan sejarah yang kita baca sejak dari sekolah dasar sampai perguruan
tinggi.
Tak pelak lagi, secara
umum, seorang novelis sejarah sering jauh lebih bebas membuat interpretasi
dan merekonstruksi sejarah dengan gaya bahasa yang bisa merogoh jiwa manusia,
melebihi gaya penulisan seorang sejarawan ampuh sekalipun. Dan yang terutama
sering tak dimiliki sejarawan, seorang novelis bisa melampaui ironi yang
ditanggung sejarawan resmi negara. Seorang novelis memiliki kebebasan yang
jauh lebih besar untuk merekonstruksi para tokohnya: menjadi seorang
nasionalis radikal, pembangkang bahkan penghancur masyarakat, atau seorang
universalis humanis yang sudah melampaui batas-batas nasionalisme sempit,
menjadi tokoh bejat tak bermoral, dan seterusnya, yang semuanya sebisa
mungkin wajib meyakinkan para pembacanya. Dalam tataran tertentu, konstruksi
novel bisa jauh lebih membumi dalam semesta nasionalitas (atau globalitas)
daripada konstruksi seorang sejarawan resmi.
/3/
Tentu saja, sekarang
para sejarawan cukup bisa menilai dan merekonstruksi sejarah bangsa Indonesia
jauh lebih kritis, meski masih dibayang-bayangi adikuasa negara. Dan kita
memang tidak cukup mendapatkan novel yang bisa melampaui sejarah batas
nasionalitas yang begitu hegemonik mengerangkeng serat dasar narasi novel-novel
(prosa) Indonesia. Barangkali, para prosais juga ikut semacam terjebak dalam
ironi yang sama seperti sejarawan: tuntutan sastra yang berpijak di bumi
Indonesia. Kita memang sudah memasuki pascanasionalisme, atau
"pasca-Indonesia" meminjam Romo Mangunwijaya yang juga
merekonstruksi hal tersebut dalam novelnya, tapi bukan berarti negara-bangsa
sudah mendekati ajal yang pasti. Serat dasar konstruksi prosa di masa depan
masih bakal dianggit dari dasar nasionalitas baik secara jelas atau
samar-samar.
Namun, yang tampaknya
masih tetap, seperti ramalan Ben Anderson, para prosais bisa jauh lebih
imajinatif dan kritis, jika dibandingkan konstruksi para sejarawan negara.
Barangkali seharusnya tanpa begitu terbebani aforisme pahit Walter Benjamin,
kecuali ironi itu sendiri yang dijadikan serat dasar prosa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar