Ketimpangan dan Megaurban
Bagong Suyanto ;
Dosen Program Pascasarjana
FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS, 26
Februari 2016
Tantangan yang
dihadapi Indonesia saat ini bukan hanya angka kemiskinan yang cenderung naik,
tetapi juga ketimpangan yang makin lebar, terutama di wilayah perkotaan. Ternyata
rasio gini perkotaan lebih buruk daripada rasio gini nasional yang rata-rata
0,41. Rasio gini di perdesaan turun dari 0,34 (September 2014) menjadi 0,27 (September 2015), rasio
gini perkotaan naik dari 0,43 ke 0,47 pada periode sama (Kompas, 5/2).
Sebelumnya laporan
Bank Dunia, "Ketimpangan yang Semakin Lebar", mengungkapkan bahwa
di balik pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dalam satu dekade terakhir,
dalam kurun waktu sama 1 persen rumah
tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen aset uang dan properti
nasional.
Di Indonesia
diperkirakan sekitar 10 persen orang terkaya menguasai 77 persen dari total
kekayaan nasional. Jadi, 200 juta lebih penduduk Indonesia hanya menikmati
distribusi kue pembangunan tak lebih dari 25 persen. Indonesia dilaporkan
terparah ketimpangan pembangunannya di Asia Tenggara.
Bias urban
Richard Wilkinson dan
Kate Pickett (2010) dalam The Spirit
Level, Why Equality is Better for Everyone mengingatkan para perencana
pembangunan: risiko ketimpangan dan ketaksetaraan yang kian lebar tak hanya
menghambat akselerasi pertumbuhan ekonomi yang merata, tetapi yang
mencemaskan adalah jika ketimpangan itu kemudian memicu pemborosan dan
kesia-siaan dalam pelaksanaan dan manfaat program pembangunan.
Pengalaman mengajarkan
bila negara salah memilih strategi pembangunan dan cenderung lebih
memprioritaskan pembangunan di pusat pertumbuhan, yang terjadi tak hanya
superiorisasi kota besar, tetapi juga megaurban yang menjadi momok penyebab
marjinalisasi daerah di sekitarnya, terutama perdesaan.
Program pembangunan
yang digulirkan alih-alih mendorong pengurangan jumlah penduduk miskin dan
menciptakan kesetaraan, justru yang terjadi pelaksanaan program pembangunan
jadi bias dan memicu polarisasi sosial-ekonomi masyarakat. Banyak kajian
membuktikan ketika arus kapital dari kota menyerbu wilayah perdesaan, yang
terjadi ialah perubahan-bahkan suksesi-kepemilikan aset produksi warga
perdesaan, terutama lahan-lahan produktif di desa, yang melahirkan backwash
effect berupa arus urbanisasi kaum migran dari perdesaan mengadu nasib
mencari kerja di kota besar.
Akumulasi modal dan
pertumbuhan yang memusat di kota besar di satu sisi memang mendorong
akselerasi industrialisasi dan melahirkan megaurban yang makin gemerlap,
tetapi harus diakui bahwa di saat yang bersamaan kota besar itu juga menjadi
asensitif terhadap masalah kemiskinan dan penderitaan kelompok marjinal di
kota.
Menurut Gilbert dan
Gugler (1996) dalam Cities, Poverty and
Development: Urbanization in the Third World, di kota besar yang
dikendalikan kekuatan kapitalis, kaum migran dan penduduk miskin acap kali
tak punya tempat dan hanya berfungsi suportif yang bersifat sekunder, yakni
sebagai pemasok tenaga kerja berupah rendah dan dalam banyak hal mismatch
dengan industri padat modal. Penggusuran lahan milik orang kecil, operasi
pembersihan pedagang kaki lima, dan penghapusan becak adalah fenomena di kota
besar, seperti Jakarta dan Surabaya yang membuat peluang masyarakat miskin di
perkotaan kian sempit.
Mungkin benar bahwa
peran kekuatan komersial dan akselerasi pembangunan fisik kota besar yang
luar biasa cepat di satu sisi terbukti meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi
dan berhasil membuat kota-kota di Indonesia sejajar dengan kota besar lain di
berbagai belahan dunia. Namun kebijaksanaan pemerintah yang bias urban dan
memberi ruang gerak seluas-luasnya kepada kekuatan modal di perkotaan membawa
akibat kurang menguntungkan bagi kelangsungan hidup masyarakat miskin.
Bagi golongan menengah
ke atas di perkotaan, perputaran uang yang luar biasa banyak dan berbagai
fasilitas yang tersedia di kota memang akan jadi peluang sangat menguntungkan
untuk meningkatkan investasi dan akumulasi modal. Namun, bagi golongan miskin di perkotaan, ketika
pembangunan yang dikembangkan lebih mendukung perekonomian firma dan
membatasi ruang gerak sektor informal, yang terjadi adalah marjinalisasi dan
kian tertutupnya peluang mereka melakukan mobilitas vertikal.
Di kota besar seperti
Jakarta atas nama ketertiban dan keindahan kota, yang dikembangkan pemerintah
adalah "kebijakan pintu tertutup". Ini tak cuma makin membatasi
kesempatan dan kemampuan involutif sektor informal, tetapi juga menghancurkan
kesempatan sektor miskin kota bisa sintas di kehidupan kota besar. Di
berbagai kota besar sektor informal terus dipinggir-pinggirkan (dianggap tak
sesuai dengan kepentingan) kalau perlu dengan tindakan koersif.
Di Amerika Latin,
menurut Hernando de Soto (1991), ketika orang desa terusir dari tanah mereka
akibat paceklik, bencana banjir yang merusak lahan garapan mereka, penduduk
yang sudah terlampau padat, dan pertanian yang makin mundur, sebagian
penduduk miskin desa kemudian berduyun-duyun pergi ke kota. Hasilnya? Semua
pintu sistem kota tertutup bagi mereka. Di kota besar, kaum migran yang
berasal dari desa miskin hanya jadi bulan-bulanan dan obyek pemerasan. Apakah
yang terjadi di kota besar Indonesia, seperti yang terjadi di Amerika Latin
barangkali masih bisa diperdebatkan. Yang jelas, ketika ketimpangan di
perkotaan justru kian naik, sementara di perdesaan justru turun, itu berarti
memang ada sesuatu yang tak beres dari pilihan kebijakan pembangunan kota yang
cenderung bias urban.
Tata ulang
Apa yang seharusnya
dikembangkan mencegah ketimpangan pembangunan di perkotaan agar tak makin
parah? Tak mudah menjawabnya jika pemerintah tak juga memiliki dan
mengembangkan kebijakan pembangunan yang benar-benar pro upaya memfasilitasi
tumbuhnya peluang sosial-ekonomi bagi masyarakat golongan menengah ke bawah
di perkotaan.
International NGO
Forum on Indonesia Developmend menilai bahwa pada 2016 APBN belum menunjukkan
strategi yang benar-benar memperlihatkan komitmen dalam mengurangi
ketimpangan di Indonesia. Belanja sosial masih rendah, sekitar 2,4 persen.
Dengan angka ini bisa diprediksi upaya menurunkan kemiskinan dan ketimpangan
sulit dilakukan karena dalam iklim persaingan yang meritokratis, peluang
masyarakat miskin kota memberdayakan diri dan usahanya tak akan pernah
terwujud.
Perkembangan kota
menuju megaurban yang kian gigantik tidaklah identik dengan kian terbukanya
peluang dan akses masyarakat miskin terhadap berbagai bentuk layanan memadai.
Kota yang tumbuh di bawah kendali para perencana pembangunan yang bias urban
(mengejar kepentingan pertumbuhan ekonomi dan melayani kepentingan
industrialisasi) niscaya akan melahirkan ketakadilan, kecewa, dan
marjinalisasi si miskin.
Selain perencanaan dan
penataan spasial lebih memadai, untuk mengarahkan perkembangan megaurban agar
tidak tumbuh tanpa perasaan dan memarjinalisasi masyarakat miskin di
perkotaan, yang dibutuhkan adalah kepekaan dan visi para perencana
pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Tanpa visi yang pro
kemanusiaan, keadilan, dan hak asasi masyarakat miskin, perkembangan
megaurban hanya menggali lubang kuburnya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar