Membumikan Agenda Revolusi Mental
Fathur Rokhman ; Rektor Universitas Negeri Semarang;
Peserta Konvensi Kampus XII Tahun
2016
|
SUARA MERDEKA, 05
Februari 2016
REVOLUSI Mental menjadi tema besar dalam
Konvensi Kampus XII dan Temu Tahunan XVIII Forum Rektor Indonesia (FRI) 2016.
Dalam acara itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato yang menggugah
tentang revolusi mental untuk mendukung pencapaian generasi emas.
Ada semangat yang membuncah dalam pidato itu.
Presiden Jokowi menunjukkan iktikad baik dan kemauan keras untuk melakukan
perubahan secara mendasar dalam hidup dan kehidupan bangsa Indonesia.
Meski demikian, semangat itu belumlah cukup
menjadi bekal menjalankan program revolusi mental dalam tataran praktis. Agar
berdampak, gagasan besar itu perlu diterjemahkan dalam agenda yang membumi.
Bahkan sebisa mungkin ditopang oleh kekuatan bawah yang masif. Artinya,
revolusi mental harus menjadi agenda bersama masyarakat, bukan hanya program
pemerintah.
Salah satu semangat Jokowi adalah melakukan
deregulasi. Ia mengungkapkan, setidaknya ada 3.000 peraturan daerah
bermasalah. Alih-alih mempercepat pembangunan, regulasi bermasalah justru
dapat menghambat.
Regulasi yang menyerupai benang kusut,
sejatinya adalah refleksi kekusutan cara berpikir. Kekusutan mentalitas
seperti sebuah penyakit, menyebabkan kekusutan dalam berbagai bidang
kehidupan lain. Jika terus berlanjut, kondisi demikian dapat menyebabkan
akumulasi kekusutan yang berakibat pada kejutan sistem berpikir. Ibarat
tubuh, sistem saraf saling sekarut sehingga menyebabkan stroke dan kelumpuhan.
Jauh sebelum Jokowi memopulerkan revolusi
mental, telah muncul kesadaran kolektif bahwa masalah mentalitas merupakan
masalah yang fundamental. Masyarakat Indonesia lazimnya percaya, tindakan
manusia merupakan buah dari proses mental. Mentalitas baik menghasilkan
tindakan baik, mentalitas buruk melahirkan tindakan buruk pula. Istilah itu
bahkan telah dikemukakan Soekarno.
Di ranah akademik, persoalan mentalitas juga
telah menjadi perhatian serius. Prof Koentjaraningrat mendeskripsikan dengan
sangat baik dalam karya legendarisnya Kebudayaan,
Mentalitas, Pembangunan. Ia berhipotesis ada lima masalah mental bangsa
Indonesia: suka menerabas, meremehkan kualitas, tidak percaya diri,
berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab.
Lebih tajam lagi, wartawan senior Mochtar
Lubis mengungkapkan bahwa manusia Indonesia memiliki sejumlah mental negatif:
hipokrit, feodal, percaya takhayul, tidak hemat, bukan pekerja keras, dan
tukang menggerutu. Namun, Moctar juga mengapresiasi manusia Indonesia sebagai
manusia yang berjiwa seni tinggi.
Harus Diatasi
Meskipun pendapat Koentjaraningrat dan Mochtar
Lubis masih menjadi bahan berdebatan di ruang akademik, masyarakat mengakui
bahwa mentalitas negatif adalah masalah aktual yang harus segera diatasi.
Oleh karena itu, ketika ada calon presiden yang menawarkan revolusi mental,
masyarakat menyambut antusias. Lantaran menggunakan kata “revolusi”, tidak
sedikit masyarakat yang mempersepsi program ini akan dilaksanakan dengan
cepat.
Ambil contoh: penegakan hukum. Sebuah sistem
yang dirancang untuk menjaga keadilan, justru kerap melahirkan justifikasi
yang bertolak belakang dengan rasa keadilan. Persoalan itu bermula dari
ketamakan, sebuah persoalan mental. Dalam bidang yang lain, politik misalnya,
di mana kehormatan menjadi nilai utama, justru kerap ditukarkan dengan
jabatan. Masalah dalam politik juga terjadi karena, antara lain, mentalitas.
Jika akan diteliti lebih jauh, persoalan mentalitas dapat ditemukan dalam
hampir semua bidang kehidupan: bisnis, pendidikan, bahkan keagamaan.
Dengan peta demikian, kita bisa ambil simpulan
sementara bahwa masalah mental merupakan masalah bersama. Oleh karena itu,
agenda revolusi mental dapat menjadi agenda masyarakat yang berjalan secara
masif. Energi masyarakat dapat diakumulasi dalam sebuah gerakan yang
berdampak besar dan bahkan permanen. Pertanyaannya: bagaimana menjadikan
revolusi mental sebagai agenda masyarakat?
Salah satu pintu masuk paling memungkinkan
bagi program ini adalah pendidikan. Dalam arena pendidikan, kebaikan dapat
disemaikan sehingga terinternalisasi sebagai nilai personal. Dengan
pembelajaran yang baik, mentalitas ideal yang selama ini didambakan dapat
diwujudkan. Beroposisi dengan hipotesis Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis,
manusia Indonesia dapat ditempa menjadi manusia jujur, cerdas, pekerja keras,
dan lain sebagainya.
Secara operasional, program ini memang perlu
dijalankan dengan rencana strategis. Ini berarti, harus jelas kementerian
mana yang bertanggung jawab memegang komando dan bagaimana mekanisme
pendanaannya. Namun jauh lebih penting dari itu, bagaimana masyarakat bisa
terlibat dalam program ini. Masyarakat bukan hanya sebagai partisipan,
melainkan inisiator dan penggerak revolusi mental dalam lingkungannya.
Masyarakat Indonesia memiliki rekam jejak
sebagai masyarakat yang tangguh. Masyarakat Indonesia memiliki kreativitas
dan energi melimpah saat memiliki agenda bersama. Di masa lalu, kreativitas
itu berbuah pada kemerdekaan dan reformasi. Kini, energi itu dapat diarahkan
merevolusi mental (diri sendiri). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar