Posisi Pertanian Indonesia di WTO
Muhammad Firdaus ; Guru Besar FEM IPB; Tim Ahli Satgas G-33
WTO
|
REPUBLIKA, 04
Februari 2016
Di dalam negeri
sendiri, sering terdapat perbedaan pandangan pemangku kepentingan menyikapi
keputusan hasil perundingan internasional. Tinjauan secara komprehensif: plus
minus dampak hasil perundingan diperlukan dan hendaknya menjadi pegangan yang
bulat bagi semua yang berperan.
Sudah sebulan lebih,
Konferensi Tingkat Menteri ke-10, forum tertinggi Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) di Nairobi berlalu. Beberapa keputusan penting diambil yang
dikenal dengan "Nairobi package" berisi enam kesepakatan.
Empat butir pertama
berkaitan langsung dengan sektor pertanian, dua butir lain terkait dengan
negara kurang berkembang (LDCs). Bagi Indonesia yang sudah meratifikasi WTO
sejak awal dengan UU Tahun 1994, komitmen ini harus dipatuhi.
Kesepakatan di WTO
bersifat mengikat yang ini tak dijumpai pada perjanjian dagang plurilateral
di tingkat regional seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Free Trade Agreement (AFTA).
Artinya, suatu negara atau kelompok boleh mengajukan gugatan bila merasa ada
anggota melanggar ketentuan. Seperti kasus Indonesia yang saat ini dibawa ke dispute settlement body oleh Amerika
Serikat, Cina, dan negara lain karena kebijakan terkait impor hortikultura
dan impor produk peternakan.
Hasil terpenting dari
konferensi Nairobi yang harus segera ditindaklanjuti adalah kesepakatan
subsidi ekspor, bagian dari pilar persaingan ekspor di Agenda Pembangunan
Doha. Bagi negara maju yang selam aini memberi subsidi ekspor untuk produk
pertaniannya (terutama Uni Eropa dan AS), dalam berbagai bentuk seperti
bantuan langsung, dispensasi pajak, kemudahan dan keringanan bunga kredit,
harus segera menghilangkannya sesaat setelah kesepakatan dideklarasikan
(Januari 2016).
Bagi negara
berkembang, hal yang sama harus dilakukan pada 2018. Hingga kurun waktu
tersebut, subsidi ekspor yang ada tidak boleh dinaikkan.
Bagi Indonesia diduga
setidaknya kesepakatan ini memberikan dua dampak langsung. Pertama, untuk
produk ekspor, bila ada subsidi akan mengurangi daya saing di pasar dunia.
Untungnya, subsidi untuk produk pertanian Indonesia selama ini tidak
signifikan.
Seharusnya, produk
ekspor pertanian Indonesia akan semakin berdaya saing. Namun, tetap perlu
menjadi pertimbangan ke depan, semisal, tanaman perkebunan sebagai andalan
ekspor yang perlu peremajaan, seperti karet, kakao, sawit, teh, dan kopi,
tapi petani mempunyai keterbatasan finansial.
Kedua, Indonesia masih
mengimpor produk pangan dalam jumlah besar. Saat negara asal harus
menghapuskan subsidi, semisal, untuk petani/eksportir jagung, kedelai, tebu,
dan juga gandum, maka akan terjadi kenaikan harga di pasar internasional.
Dari sisi produksi
pertanian ini akan meningkatkan daya saing produksi domestik terhadap produk
impor itu, terutama saat program Kementerian Pertanian yang all out mencapai
kemandirian pangan (baca: Pajale). Meskipun untuk negara maju, pencarian
teknologi baru akan terus dilakukan guna menggeser kurva biaya ke bawah untuk
menghindari kenaikan harga yang besar.
Dari sudut pandang
sektor pertanian, penghapusan subsidi ekspor diharapkan berdampak positif.
Hal yang sudah lama dituntut kelompok negara berkembang terhadap negara maju.
Di WTO, Indonesia
punya posisi unik, mulai dari peran pentingya sebagai koordinator 47 negara
berkembang (kelompok G-33), juga anggota kelompok G-20 dan Cairns group
(eksportir produk pertanian utama dunia). Di negara berkembang, peran
Indonesia dan negara lainnya lebih dituntut menciptakan proteksi terhadap
produk dalam negeri (posisi defensif).
Lazimnya, produk itu
punya daya saing lebih rendah daripada yang diimpor. Namun, punya posisi
strategis karena pangan pokok, menyerap banyak tenaga kerja atau berkait
langsung dengan kemiskinan dan pembangunan perdesaan. Untuk Indonesia, beras,
jagung, dan kedelai adalah contoh di antaranya. Termasuk usulan mengelola
cadangan pokok, seperti beras. Di forum WTO, usulan proteksi ini dikenal
dengan proposal Special Product dan Public Stokholding (SP dan PSH).
Usulan proteksi untuk
posisi defensif dapat pula karena motivasi mencegah fluktuasi harga yang
tajam karena sifat produksinya yang musiman. Sebagai contoh, saat panen raya
produk hortikultura terjadi, diharapkan secara temporer diterapkan hambatan
perdagangan (tarif) untuk mencegah banjir impor. Usulan ini dikenal dengan
proposal Special Safeguard Mechanism
(SSM).
Sebaliknya, dari
(sebagian besar) negara maju di G-20 dan Cairns group, motivasi perundingan
umumnya untuk meminimalisasi proteksi perdagangan seperti kuota, tarif,
dumping, dan kebijakan domestik yang dianggap mendistorsi pasar, seperti
ketiga proposal di atas. Dari sisi Indonesia, usulan dua kelompok ini
dipandang sebagai posisi ofensif.
Sebagai salah satu
pengekspor produk pertanian tropika utama dunia, Indonesia juga tak
menginginkan proteksi yang ketat di pasar dunia. Hingga 2015, meskipun neraca
perdagangan Indonesia mengalami defisit (nilai impor lebih besar daripada
eskpor), khusus sektor pertanian, surplus masih dapat diciptakan yang
disumbangkan, terutama oleh ekspor produk perkebunan. Artinya, bila ada
gangguan pada eskpor produk pertanian akan memperburuk neraca perdagangan
yang dapat mengganggu stabilitas makroekonomi.
Dalam konferensi di
Nairobi, usulan SSM dan PSH ditetapkan sebagai bagian agenda yang akan terus
dipantau kemajuannya (tertulis dalam dokumen deklarasi: The General Council shall regularly review progress in these
negotiations). Artinya, keinginan kelompok G-33--Indonesia masih menjadi
koordinatornya-- tetap dapat diperjuangkan sampai menjadi kesepakatan akhir
yang harus ditaati dan tidak dapat ditarik kembali.
Bila di dalam negeri
masih ada perbedaan pandangan terhadap kepentingan Indonesia untuk sejauh
mana memproteksi produk pertaniannya adalah hal lumrah. Di satu sisi,
Indonesia saat ini dan ke depan masih menggantungkan ekonominya pada ekspor
produk pertanian, baik mentah maupun olahan.
Di sisi lain, ada 26
juta lebih rumah tangga petani pangan, hortikultura serta perternak yang
penguasaan lahan dan teknologinya sangat terbatas (gurem). Mereka dapat
berpoduksi dengan kondisi daya saing yang sama dengan negara lain yang usaha
taninya mencapai penghematan karena skala usaha yang lebih optimal. Para
petani itu masih memerlukan perlindungan dari negara sebagai amanah
konstitusi: UUD 1945 serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Di samping
identifikasi dan dukungan pemerintah terhadap berbagai produk pertanian khas
Indonesia yang dianugerahi sumber daya hayati tak terkira perlu ditingkatkan.
Kajian komprehensif lintas Kementerian dan lembaga serta komitmen pada hasil
kesepakatan di dalam menjadi kata kunci untuk bisa memetik manfaat berbagai
kesepakatan dalam perundingan internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar