Sabtu, 06 Februari 2016

Posisi Pertanian Indonesia di WTO

Posisi Pertanian Indonesia di WTO

Muhammad Firdaus  ;   Guru Besar FEM IPB; Tim Ahli Satgas G-33 WTO
                                                  REPUBLIKA, 04 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di dalam negeri sendiri, sering terdapat perbedaan pandangan pemangku kepentingan menyikapi keputusan hasil perundingan internasional. Tinjauan secara komprehensif: plus minus dampak hasil perundingan diperlukan dan hendaknya menjadi pegangan yang bulat bagi semua yang berperan.

Sudah sebulan lebih, Konferensi Tingkat Menteri ke-10, forum tertinggi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Nairobi berlalu. Beberapa keputusan penting diambil yang dikenal dengan "Nairobi package" berisi enam kesepakatan.

Empat butir pertama berkaitan langsung dengan sektor pertanian, dua butir lain terkait dengan negara kurang berkembang (LDCs). Bagi Indonesia yang sudah meratifikasi WTO sejak awal dengan UU Tahun 1994, komitmen ini harus dipatuhi.

Kesepakatan di WTO bersifat mengikat yang ini tak dijumpai pada perjanjian dagang plurilateral di tingkat regional seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Free Trade Agreement (AFTA). Artinya, suatu negara atau kelompok boleh mengajukan gugatan bila merasa ada anggota melanggar ketentuan. Seperti kasus Indonesia yang saat ini dibawa ke dispute settlement body oleh Amerika Serikat, Cina, dan negara lain karena kebijakan terkait impor hortikultura dan impor produk peternakan.

Hasil terpenting dari konferensi Nairobi yang harus segera ditindaklanjuti adalah kesepakatan subsidi ekspor, bagian dari pilar persaingan ekspor di Agenda Pembangunan Doha. Bagi negara maju yang selam aini memberi subsidi ekspor untuk produk pertaniannya (terutama Uni Eropa dan AS), dalam berbagai bentuk seperti bantuan langsung, dispensasi pajak, kemudahan dan keringanan bunga kredit, harus segera menghilangkannya sesaat setelah kesepakatan dideklarasikan (Januari 2016).

Bagi negara berkembang, hal yang sama harus dilakukan pada 2018. Hingga kurun waktu tersebut, subsidi ekspor yang ada tidak boleh dinaikkan.

Bagi Indonesia diduga setidaknya kesepakatan ini memberikan dua dampak langsung. Pertama, untuk produk ekspor, bila ada subsidi akan mengurangi daya saing di pasar dunia. Untungnya, subsidi untuk produk pertanian Indonesia selama ini tidak signifikan.

Seharusnya, produk ekspor pertanian Indonesia akan semakin berdaya saing. Namun, tetap perlu menjadi pertimbangan ke depan, semisal, tanaman perkebunan sebagai andalan ekspor yang perlu peremajaan, seperti karet, kakao, sawit, teh, dan kopi, tapi petani mempunyai keterbatasan finansial.

Kedua, Indonesia masih mengimpor produk pangan dalam jumlah besar. Saat negara asal harus menghapuskan subsidi, semisal, untuk petani/eksportir jagung, kedelai, tebu, dan juga gandum, maka akan terjadi kenaikan harga di pasar internasional.

Dari sisi produksi pertanian ini akan meningkatkan daya saing produksi domestik terhadap produk impor itu, terutama saat program Kementerian Pertanian yang all out mencapai kemandirian pangan (baca: Pajale). Meskipun untuk negara maju, pencarian teknologi baru akan terus dilakukan guna menggeser kurva biaya ke bawah untuk menghindari kenaikan harga yang besar.

Dari sudut pandang sektor pertanian, penghapusan subsidi ekspor diharapkan berdampak positif. Hal yang sudah lama dituntut kelompok negara berkembang terhadap negara maju.

Di WTO, Indonesia punya posisi unik, mulai dari peran pentingya sebagai koordinator 47 negara berkembang (kelompok G-33), juga anggota kelompok G-20 dan Cairns group (eksportir produk pertanian utama dunia). Di negara berkembang, peran Indonesia dan negara lainnya lebih dituntut menciptakan proteksi terhadap produk dalam negeri (posisi defensif).

Lazimnya, produk itu punya daya saing lebih rendah daripada yang diimpor. Namun, punya posisi strategis karena pangan pokok, menyerap banyak tenaga kerja atau berkait langsung dengan kemiskinan dan pembangunan perdesaan. Untuk Indonesia, beras, jagung, dan kedelai adalah contoh di antaranya. Termasuk usulan mengelola cadangan pokok, seperti beras. Di forum WTO, usulan proteksi ini dikenal dengan proposal Special Product dan Public Stokholding (SP dan PSH).

Usulan proteksi untuk posisi defensif dapat pula karena motivasi mencegah fluktuasi harga yang tajam karena sifat produksinya yang musiman. Sebagai contoh, saat panen raya produk hortikultura terjadi, diharapkan secara temporer diterapkan hambatan perdagangan (tarif) untuk mencegah banjir impor. Usulan ini dikenal dengan proposal Special Safeguard Mechanism (SSM).

Sebaliknya, dari (sebagian besar) negara maju di G-20 dan Cairns group, motivasi perundingan umumnya untuk meminimalisasi proteksi perdagangan seperti kuota, tarif, dumping, dan kebijakan domestik yang dianggap mendistorsi pasar, seperti ketiga proposal di atas. Dari sisi Indonesia, usulan dua kelompok ini dipandang sebagai posisi ofensif.

Sebagai salah satu pengekspor produk pertanian tropika utama dunia, Indonesia juga tak menginginkan proteksi yang ketat di pasar dunia. Hingga 2015, meskipun neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit (nilai impor lebih besar daripada eskpor), khusus sektor pertanian, surplus masih dapat diciptakan yang disumbangkan, terutama oleh ekspor produk perkebunan. Artinya, bila ada gangguan pada eskpor produk pertanian akan memperburuk neraca perdagangan yang dapat mengganggu stabilitas makroekonomi.

Dalam konferensi di Nairobi, usulan SSM dan PSH ditetapkan sebagai bagian agenda yang akan terus dipantau kemajuannya (tertulis dalam dokumen deklarasi: The General Council shall regularly review progress in these negotiations). Artinya, keinginan kelompok G-33--Indonesia masih menjadi koordinatornya-- tetap dapat diperjuangkan sampai menjadi kesepakatan akhir yang harus ditaati dan tidak dapat ditarik kembali.

Bila di dalam negeri masih ada perbedaan pandangan terhadap kepentingan Indonesia untuk sejauh mana memproteksi produk pertaniannya adalah hal lumrah. Di satu sisi, Indonesia saat ini dan ke depan masih menggantungkan ekonominya pada ekspor produk pertanian, baik mentah maupun olahan.

Di sisi lain, ada 26 juta lebih rumah tangga petani pangan, hortikultura serta perternak yang penguasaan lahan dan teknologinya sangat terbatas (gurem). Mereka dapat berpoduksi dengan kondisi daya saing yang sama dengan negara lain yang usaha taninya mencapai penghematan karena skala usaha yang lebih optimal. Para petani itu masih memerlukan perlindungan dari negara sebagai amanah konstitusi: UUD 1945 serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Di samping identifikasi dan dukungan pemerintah terhadap berbagai produk pertanian khas Indonesia yang dianugerahi sumber daya hayati tak terkira perlu ditingkatkan. Kajian komprehensif lintas Kementerian dan lembaga serta komitmen pada hasil kesepakatan di dalam menjadi kata kunci untuk bisa memetik manfaat berbagai kesepakatan dalam perundingan internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar