Uji Publik Televisi Swasta
Triyono Lukmantoro ; Dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang
|
SUARA MERDEKA, 04
Februari 2016
UJI publik yang akan
dijalankan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap sepuluh stasiun televisi
swasta yang akan berakhir masa siarannya menimbulkan debat berkepanjangan.
Perdebatan itu justru menunjukkan politisasi terhadap stasiun-stasiun
televisi swasta memang tidak pernah berhenti.
Pada satu aspek harus
dilihat bahwa stasiun-stasiun televisi yang dimiliki oleh beberapa gelintir
pengusaha itu berposisi sebagai mesin uang karena mampu mengeruk banyak
iklan. Itulah aspek komersial yang selalu melekat pada industri penyiaran
yang dikendalikan oleh kalangan pemilik modal.
Tetapi, pada sisi
lain, para pemilik modal itu juga memiliki kepentingan politis yang besar.
Mereka pun menjadi penguasa partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Uji publik yang
menghasilkan perdebatan sengit itu harus dibaca sebagai pertarungan kuasa
modal dan politik pada satu bagian. Sementara itu, bagian lainnya adalah
kepentingan publik yang selama ini sengaja dibungkam.
Secara teknis debat
itu bergulir akibat acuan yang digunakan berbeda. KPI merujuk pada
Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 33 Ayat 3 yang secara
tegas mengemukakan bahwa pemberian izin penyelenggara penyiaran berdasarkan
minat, kepentingan, dan kenyamanan publik. Posisi KPI amat jelas membela
kepentingan publik dalam konteks demikian.
Sebab, memang, KPI
harus menjalankan advokasi terhadap kepentingan publik. Tanpa dukungan
rakyat, dan jika KPI tidak sudi membela aspirasi publik, maka stasiun-stasiun
televisi swasta itu makin bermotif profit dan demokrasi terus defisit.
Fenomena yang aneh,
dan demikian ajaib, justru ditunjukkan kalangan anggota DPR yang tidak setuju
dengan uji publik. Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mempunyai anggapan bahwa
KPI tidak mempunyai dasar hukum dalam persoalan ini. Uji publik tidak bisa
menjadi dasar poin penilaian bagi televisi swasta. Arief Suditomo, anggota
Komisi I DPR, berpendapat uji publik rawan direkayasa.
Sebab, bisa saja
melalui social pressure (tekanan
sosial) yang direkayasa melalui media sosial menjadi kesimpulan yang diambil
KPI. Sementara itu Tantowi Yahya, Wakil Ketua Komisi I DPR, pun menyatakan
senada dengan menegaskan bahwa uji publik yang bakal dijalankan KPI itu
sekadar duplikasi belaka.
Bermakna Dekoratif
Mengapa anggota DPR,
yang juga merupakan realisasi dari kepentingan publik, justru tidak setuju
dengan uji publik yang akan dioperasikan KPI? Publik menjadi diksi, sebuah
pilihan kata, yang acapkali terlontar dalam perpolitikan kita.
Namun, ketika publik
itu diucapkan oleh kalangan anggota DPR ataupun kalangan industrialis
televisi (dan radio), maka serentak dengan itu nilai-nilai dasar kepublikan
mengalami kematian.
Publik menjadi kata
yang bermakna dekoratif belaka dalam penyiaran di negeri ini. Publik tidak
lebih dipahami sebagai penonton bayaran yang bisa bernyanyi dan berjoget
bersama dengan selebriti yang sedang mempromosikan lagu terbaru.
Publik juga tidak
lebih diposisikan sebagai angka- angka statistik yang dijual kepada calon
pemasang iklan pada acara-acara tertentu yang dianggap memiliki rating
tinggi. Itulah tragedi mengerikan ketika publik telah sengaja dilenyapkan
dalam industri penyiaran.
Apakah selama ini
stasiun-stasiun televisi swasta, yakni RCTI, SCTV, Indosiar, MNC TV, ANTV, TV
One, Metro TV, Trans TV, Global TV, dan Trans 7, yang pada 2016 ini akan
tuntas masa siarannya telah memenuhi aneka kepentingan publik? Tidak terlalu
rumit dijawab.
Catatan- catatan dan
berbagai teguran yang telah dilontarkan KPI dan KPID sudah lebih dari cukup
memberikan jawaban bahwa seluruh stasiun televisi swasta itu masih jauh dari
kepentingan publik.
Realitas yang lebih
ironis dan demikian tragis adalah stasiun-stasun televisi swasta telah dengan
sukses menjadi mesin propaganda bagi pemiliknya untuk menjarah kesadaran
publik.
Fenomena vulgar ini
bisa disimak ketika pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2014 berbagai
stasiun televisi swasta begitu manis memberitakan sejumlah partai politik
yang dipimpin si pemilik modal.
Namun, seketika itu
berubah menjadi cerewet dan membuat mual ketika menyoroti aneka partai
politik lain yang menjadi pesaingnya. Gejala serupa terjadi ketika Prabowo
Subianto dan Joko Widodo berhadaphadapan memperebutkan kursi kepresidenan.
Ternyata, tidak hanya
sekian partai politik yang menjalankan koalisi. Stasiunstasiun televisi
swasta itu pun melakukan koalisi politik untuk menggelorakan kehebatan calon
presiden idaman sendiri sambil terus mencaci-maki calon presiden lain yang
dimusuhinya. Keadaan penyiaran yang dikendalikan rezim libertarian ini
menjadikan berbagai stasiun televisi swasta memihak kepada kepentingan dan kebutuhan
individual.
Pada konteks inilah,
tidak heran pula jika selera politik dan akumulasi modal secara mutlak berada
pada genggaman segelintir kapitalis industri televisi. Melalui uji publik
yang akan dikerjakan KPI, diharapkan kekuasaan rezim libertarian ini dapat
dikontrol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar