Kamis, 04 Februari 2016

Dosa Birokrasi terhadap Pendidikan

Dosa Birokrasi terhadap Pendidikan

Saiful Mahdi  ;   Ketua Program Studi Statistika Universitas Syiah Kuala
                                                     KOMPAS, 03 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sampai tahun 1980-an, pendidikan yang baik di Indonesia identik dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah dan perguruan tinggi negeri. Sekolah negeri kala itu sepenuhnya dikelola pemerintah dengan dana negara lewat APBN.

Kelas menengah yang sekarang menjadi teknokrat dan profesional di Indonesia, patut diduga, adalah buah dari hampir 40.000 SD Inpres, sekolah, dan perguruan tinggi negeri era tersebut.

Lembaga pendidikan guru, yang sepenuhnya juga dikelola pemerintah, mencetak guru-guru terbaik dan sedapat mungkin dengan mengambildari kalangan mereka yang memang ingin menjadi guru. Mereka adalah alumni sekolah pendidikan guru, pendidikan guru agama, institut pendidikan guru, dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang kemudian menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di sejumlah perguruan tinggi.

Episode hebatnya sekolah negeri di atas menunjukkan pemerintah lewat birokrasinya bisa berpengaruh positif pada kualitas pendidikan kita.

Orientasi berubah

Akan tetapi, jika kita bertanya pada generasi kelas menengah yang sama, yang kini berumur 40-50 tahunan, banyak di antara mereka beranggapan pendidikan yang dialami anak-anak mereka saat ini tidak lebih baik, bahkan lebih buruk dari yang pernah mereka alami. Yang muncul sebagai kambing hitam, mengapa jadi begini, sering kali adalah birokrasi.

Lantas mengapa birokrasi era 70-80-an dianggap membuat kualitas pendidikan membaik, tetapi birokrasi pendidikan setelah itu dianggap sebaliknya?

Kunci ada pada dosis dan target birokrasi yang tepat.Rekrutmen dan pendidikan guru, misalnya, perlu birokrasi yang lebih ketat. Namun, siswa, materi, dan metode pembelajaran justru perlu debirokratisasi. Sampai sebelum era Joko Widodo, pendidikan di Indonesia pernahmengalami over-birokrasi pada target yang tidak semuanya tepat. Episode ini sangat dipengaruhi dua hal: standardisasi berlebihan, tetapi tak jelas dan desentralisasi tanpa pengawasan. Akibatnya, kualitas guru secara umum makin buruk yang kemudian berimbas pada memburuknya kualitas pendidikan.

Salah satu kesulitan orangtua di Indonesia adalah untuk meyakinkan dirinya dan anak-anaknya bahwa belajar itu menyenangkan. Bahwa keluarga dan anak bisa menentukan sendiri standar sukses dalam pendidikannya. Tetapi, sejauh ini, standar sukses diciptakan, awalnya oleh negara lewat berbagai keharusan meraih nilai dan peringkat tertentu, salah satunya lulus ujian nasional (UN), dan kemudian oleh masyarakat yang sibuk membandingkan anaknya dengan anak orang lain.

Umumnya anak kita dianggap kurang pintar, misalnya, jika masuk kelompok IPS walaupun itu pilihannya sendiri. Anak yang punya bakat seni, tetapi tak pandai Fisika tak mendapat cukup penghargaan, karena anak yang ”pandai” adalah mereka yang pandai Matematika, Fisika, dan Kimia. Semua mengelu-elukan juara Olimpiade Matematika dan Sains.

Ironisnya, berdasarkan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA), ujian pemetaan kualitas pendidikan secara global, anak-anak kita hanya pintar pada level low order thinking. Artinya, banyak yang ”hafal” Matematika, tetapi sebenarnya tak bisa ber-matematika: berpikir dan lebih bijak dalam hidup dengan Matematika.

Perdebatan tentang perlu tidaknya UN sepertinya sudah selesai di tingkat nasional. Anies Baswedan mengatakan bahwa UN tetap diperlukan sebagai salah satu alat bantu pemetaan kualitas pendidikan di seluruh negeri, tetapi bukan penentu kelulusan. Namun, di banyak daerah, sekolah belum berhasil meyakinkan siswa dan orangtua bahwa UN tidak perlu ditakuti. Buktinya guru masih terus membuat kelas tambahan dan les sore hari di luar jam belajar menjelang UN, padahal ada penegasan tak boleh ada kegiatan belajar kelas di atas pukul 15.00.

Orangtua yang khawatir dengan kemungkinan anaknya ”tidak memenuhi standar” memasukkan anaknya pada berbagai bimbingan belajar atau memanggil guru privat ke rumah untuk belajar tambahan. Semua sibuk dengan usaha memenuhi ”standar”, tetapi standar itu sendiri tidaklah jelas.Dinas pendidikan, sekolah, guru, orangtua, dan anak terperangkap dalam teror tentang standar pendidikan yang harus diberikan dan standar minimal yang harus dipunyai seorang anak untuk dianggap ”berhasil”.

Salah kaprah

Definisi dan standar sukses makin bervariasi dan, sebagian, makin mengintimidasi karena terjemahan dinas pendidikan dan guru yang beragam dan kadang salah kaprah di berbagai daerah.

Ketika Aceh, misalnya, dikhabarkan berada pada posisi ke-32 dari 34 provinsi dalam uji kompetensi guru, atau Nusa Tenggara Timur sangat buruk hasil UN-nya, maka dinas pendidikan di daerah ini melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kompetensi guru dan mendongkrak hasil UN di wilayahnya. Tetapi, alih-alih meningkatkan kualitas, yang sering terjadi justru peningkatan beban guru, siswa, dan orangtua siswa.

Sejak desentralisasi, guru adalah pegawai kabupaten/kota dan karena itu pembinaan dan penempatan guru sepenuhnya menjadi otoritas bupati/wali kota dan dinas pendidikan setempat. Di banyak daerah, kualitas guru tidak mendapat pembinaan dan pengawasan memadai sejak rekrutmen. Banyak kepentingan bermain dalam memperebutkan formasi guru PNS dan, bahkan lebih parah, guru kontrak. Setiap selesai pilkada, misalnya, ada insentif bagi pimpinan daerah baru untuk mengangkat guru kontrak baru yang seringkali kuantitasnya tidak proporsional dan kualitasnya buruk. Kepentingan elite lokal banyak mengabaikan dan menganggu pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya.

Mungkin karena itu, berulang kali Mendikbud menegaskan: ”Jika ingin maju, pendidikan kita harus steril, harus dibebaskan dari kepentingan apa pun di luar pendidikan. Kepentingan itu bermain lewat birokrasi. Artinya, karut-marut pendidikan kita memang layak disangkakan karena ”dosa birokrasi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar