Dosa Birokrasi terhadap Pendidikan
Saiful Mahdi ; Ketua Program Studi Statistika Universitas
Syiah Kuala
|
KOMPAS, 03
Februari 2016
Sampai tahun 1980-an,
pendidikan yang baik di Indonesia identik dengan pendidikan yang
diselenggarakan oleh sekolah dan perguruan tinggi negeri. Sekolah negeri kala
itu sepenuhnya dikelola pemerintah dengan dana negara lewat APBN.
Kelas menengah yang
sekarang menjadi teknokrat dan profesional di Indonesia, patut diduga, adalah
buah dari hampir 40.000 SD Inpres, sekolah, dan perguruan tinggi negeri era
tersebut.
Lembaga pendidikan
guru, yang sepenuhnya juga dikelola pemerintah, mencetak guru-guru terbaik
dan sedapat mungkin dengan mengambildari kalangan mereka yang memang ingin
menjadi guru. Mereka adalah alumni sekolah pendidikan guru, pendidikan guru
agama, institut pendidikan guru, dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
yang kemudian menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di sejumlah
perguruan tinggi.
Episode hebatnya
sekolah negeri di atas menunjukkan pemerintah lewat birokrasinya bisa
berpengaruh positif pada kualitas pendidikan kita.
Orientasi berubah
Akan tetapi, jika kita
bertanya pada generasi kelas menengah yang sama, yang kini berumur 40-50
tahunan, banyak di antara mereka beranggapan pendidikan yang dialami
anak-anak mereka saat ini tidak lebih baik, bahkan lebih buruk dari yang
pernah mereka alami. Yang muncul sebagai kambing hitam, mengapa jadi begini,
sering kali adalah birokrasi.
Lantas mengapa
birokrasi era 70-80-an dianggap membuat kualitas pendidikan membaik, tetapi
birokrasi pendidikan setelah itu dianggap sebaliknya?
Kunci ada pada dosis
dan target birokrasi yang tepat.Rekrutmen dan pendidikan guru, misalnya,
perlu birokrasi yang lebih ketat. Namun, siswa, materi, dan metode pembelajaran
justru perlu debirokratisasi. Sampai sebelum era Joko Widodo, pendidikan di
Indonesia pernahmengalami over-birokrasi pada target yang tidak semuanya
tepat. Episode ini sangat dipengaruhi dua hal: standardisasi berlebihan,
tetapi tak jelas dan desentralisasi tanpa pengawasan. Akibatnya, kualitas
guru secara umum makin buruk yang kemudian berimbas pada memburuknya kualitas
pendidikan.
Salah satu kesulitan
orangtua di Indonesia adalah untuk meyakinkan dirinya dan anak-anaknya bahwa
belajar itu menyenangkan. Bahwa keluarga dan anak bisa menentukan sendiri
standar sukses dalam pendidikannya. Tetapi, sejauh ini, standar sukses
diciptakan, awalnya oleh negara lewat berbagai keharusan meraih nilai dan
peringkat tertentu, salah satunya lulus ujian nasional (UN), dan kemudian
oleh masyarakat yang sibuk membandingkan anaknya dengan anak orang lain.
Umumnya anak kita
dianggap kurang pintar, misalnya, jika masuk kelompok IPS walaupun itu
pilihannya sendiri. Anak yang punya bakat seni, tetapi tak pandai Fisika tak
mendapat cukup penghargaan, karena anak yang ”pandai” adalah mereka yang
pandai Matematika, Fisika, dan Kimia. Semua mengelu-elukan juara Olimpiade
Matematika dan Sains.
Ironisnya, berdasarkan
Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS) dan Programme
for International Student Assessment (PISA), ujian pemetaan kualitas
pendidikan secara global, anak-anak kita hanya pintar pada level low order thinking. Artinya, banyak
yang ”hafal” Matematika, tetapi sebenarnya tak bisa ber-matematika: berpikir
dan lebih bijak dalam hidup dengan Matematika.
Perdebatan tentang
perlu tidaknya UN sepertinya sudah selesai di tingkat nasional. Anies
Baswedan mengatakan bahwa UN tetap diperlukan sebagai salah satu alat bantu
pemetaan kualitas pendidikan di seluruh negeri, tetapi bukan penentu
kelulusan. Namun, di banyak daerah, sekolah belum berhasil meyakinkan siswa
dan orangtua bahwa UN tidak perlu ditakuti. Buktinya guru masih terus membuat
kelas tambahan dan les sore hari di luar jam belajar menjelang UN, padahal
ada penegasan tak boleh ada kegiatan belajar kelas di atas pukul 15.00.
Orangtua yang khawatir
dengan kemungkinan anaknya ”tidak memenuhi standar” memasukkan anaknya pada
berbagai bimbingan belajar atau memanggil guru privat ke rumah untuk belajar tambahan.
Semua sibuk dengan usaha memenuhi ”standar”, tetapi standar itu sendiri
tidaklah jelas.Dinas pendidikan, sekolah, guru, orangtua, dan anak
terperangkap dalam teror tentang standar pendidikan yang harus diberikan dan
standar minimal yang harus dipunyai seorang anak untuk dianggap ”berhasil”.
Salah kaprah
Definisi dan standar
sukses makin bervariasi dan, sebagian, makin mengintimidasi karena terjemahan
dinas pendidikan dan guru yang beragam dan kadang salah kaprah di berbagai
daerah.
Ketika Aceh, misalnya,
dikhabarkan berada pada posisi ke-32 dari 34 provinsi dalam uji kompetensi
guru, atau Nusa Tenggara Timur sangat buruk hasil UN-nya, maka dinas
pendidikan di daerah ini melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan
kompetensi guru dan mendongkrak hasil UN di wilayahnya. Tetapi, alih-alih
meningkatkan kualitas, yang sering terjadi justru peningkatan beban guru,
siswa, dan orangtua siswa.
Sejak desentralisasi,
guru adalah pegawai kabupaten/kota dan karena itu pembinaan dan penempatan
guru sepenuhnya menjadi otoritas bupati/wali kota dan dinas pendidikan
setempat. Di banyak daerah, kualitas guru tidak mendapat pembinaan dan
pengawasan memadai sejak rekrutmen. Banyak kepentingan bermain dalam
memperebutkan formasi guru PNS dan, bahkan lebih parah, guru kontrak. Setiap
selesai pilkada, misalnya, ada insentif bagi pimpinan daerah baru untuk
mengangkat guru kontrak baru yang seringkali kuantitasnya tidak proporsional
dan kualitasnya buruk. Kepentingan elite lokal banyak mengabaikan dan
menganggu pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Mungkin karena itu,
berulang kali Mendikbud menegaskan: ”Jika
ingin maju, pendidikan kita harus steril, harus dibebaskan dari kepentingan
apa pun di luar pendidikan. Kepentingan itu bermain lewat birokrasi. Artinya,
karut-marut pendidikan kita memang layak disangkakan karena ”dosa birokrasi”.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar