Kamis, 04 Februari 2016

Revolusi Mental Politik

Revolusi Mental Politik

Djayadi Hanan  ;   Direktur Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
                                                     KOMPAS, 03 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Revolusi mental politik bagi negara ini memang sangat diperlukan. Referensi kolektif para penyelenggara negara kebanyakan diisi oleh konsep negara sebagai tempat mengeruk kekayaan. Saat yang sama, referensi kolektif masyarakat kebanyakan diisi oleh persepsi bahwa negara adalah predator yang menjadi beban dan harus dihindari. Karena itu, diperlukan perubahan paradigmatis di kalangan penyelenggara negara sekaligus dalam cara pandang masyarakat terhadap negara.

Awal Era Reformasi telah memberi jalan bagi perubahan itu. Melalui perubahan yang sifatnya sistemik, diawali dengan perubahan konstitusi, perubahan-perubahan fundamental dalam sistem politik negara telah berhasil dilakukan.

Kita berhasil melakukan desentralisasi kekuasaan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, kekuasaan tak lagi terpusat di tangan presiden, tetapi terdistribusi kepada cabang legislatif dan yudikatif, di samping eksekutif. Bahkan, secara tak resmi kekuasaan juga terdistribusi kepada masyarakat melalui media ataupun melalui kekuatan publik. Secara vertikal kita berhasil memberi kekuasaan kepada daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, bahkan dalam skala tertentu kepada tingkat desa.

Telah terjadi perubahan paradigmatis di tingkat sistem negara. Jalan membuat negara lebih melayani rakyat kini terbuka. Rakyat pun memiliki kesempatan aktif berpartisipasi menentukan nasib mereka melalui kebijakan-kebijakan pemerintahan. Media dan civil society dapat memantau dan mengkritik negara dan pemerintahan kapan saja dan di mana saja.

Namun, sistem yang sudah berubah ini belum dapat terlaksana sepenuhnya. Sistem harus dijalankan oleh manusia. Masalahnya, para penyelenggara negara di Era Reformasi sebagian besar berasal dari sistem lama. Sistem tidak atau belum diikuti dengan perubahan orang/penyelenggara. Akibatnya celah-celah yang lemah dalam sistem Era Reformasi menjadi arena yang dimanfaatkan penyelenggara negara yang masih bermental pengerat sumber daya negara. Tak heran kalau korupsi, misalnya, terasa makin marak dengan pelaku yang tampak tak memiliki rasa malu melakukannya.

Selain itu, ada dua kelemahan fundamental dari sistem di Era Reformasi. Pertama, birokrasi, umumnya bukan hanya masih diisi oleh orang dengan pola pikir lama, melainkan juga belum mengalami reformasi sistemik. Kedua, sebagaimana layaknya sistem demokrasi, reformasi memberi peran sentral kepada partai politik. Peran sentral ini tidak dibarengi dengan kesiapan kelembagaan dari partai- partai dalam menjalankan peran tersebut. Terjadilah pertemuan kepentingan birokrasi dan partai politik yang berujung pada pengerukan kekayaan negara secara lebih luas. Di sana sini masih kita temui penyalahgunaan kekuasaan/jabatan oleh para pejabat publik dan politisi.

Momentum perubahan

Momentum perubahan sistem telah diberikan oleh situasi di awal reformasi. Kini, momentum perubahan mental politik telah tersedia dengan munculnya kepemimpinan model baru yang sebetulnya adalah juga produk positif dari reformasi.

Era Presiden Joko Widodo semestinya adalah momentum perubahan mental politik itu. Jokowi adalah jenis pemimpin baru yang dibesarkan oleh era demokrasi dan desentralisasi. Dengannya, prasyarat untuk memulai revolusi mental politik yang sifatnya lebih menyeluruh kini tersedia.

Pemimpin baru ini relatif sudah terbebas dari cengkeraman sistem lama atau sistem di mana negara dan penyelenggara negara lebih berfungsi sebagai predator bagi rakyat. Ia tidak berasal dari elite atau keluarga politik lama. Ia juga telah populer dan dekat lebih dahulu dengan rakyat sebelum diambil oleh partai politik. Ketika memasuki dunia politik, pemimpin jenis baru ini relatif sudah memiliki modal ekonomi untuk menopang hidup keluarganya. Yang lebih penting lagi, pemimpin seperti ini adalah orang yang terbiasa dengan keterbukaan/transparansi.

Di samping itu, pemimpin jenis baru adalah orang yang memiliki pengalaman pemerintahan dari bawah. Ia bukan pemimpin jenis beringin atau jenggot, yang berhasil memegang tampuk kekuasaan karena bergantung pada orang besar atau patron politik. Dengan demikian, pemimpin jenis baru adalah pemimpin yang memiliki modal independensi politik. Ia tidak memiliki beban masa lalu. Modal utamanya adalah kepercayaan rakyat.

Momentum revolusi mental politik memerlukan kepemimpinan jenis baru karena ia hanya bisa dilaksanakan bila ada komitmen dan contoh/teladan dari para elite penyelenggara negara. Komitmen dan teladan itu harus dimulai dari presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Revolusi mental politik memerlukan ketegasan dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Ini penting karena sistem birokrasi dan aparatur negara masih banyak (mungkin sebagian besar) yang senang menikmati celah-celah sistem yang tidak peduli dengan nasib rakyat banyak. Masih banyak pula elite politik yang akan terganggu atau tersingkir karena kepentingan ekonomi-politiknya tergerus oleh revolusi mental politik. Karena itu, posisi dan peran kepala negara dan pemerintahan sangat krusial untuk menjamin berjalannya revolusi mental politik.

Gerakan politik, bukan imbauan

Jadi, revolusi mental politik adalah gerakan dan kebijakan politik. Ia bukanlah imbauan. Ia juga bersifat menyeluruh. Ia tidak bisa hanya menjadi program sebuah kementerian. Ia tidak bisa hanya digelorakan melalui iklan atau laman situs web. Revolusi mental politik harus menyentuh sistem sekaligus manusianya.

Maka, presiden harus memastikan agar semua jajaran di bawahnya memahami dan melaksanakan kebijakan revolusi mental politik.

Agenda revolusi mental politik dalam jangka pendek dan menengah sudah sangat jelas. Pertama, mempercepat reformasi birokrasi. Agenda ini harus menjadi agenda semua kementerian dan lembaga negara serta agenda semua tingkat pemerintahan mulai dari pusat sampai desa. Tanpa mempercepat tersedianya birokrasi yang melayani rakyat, revolusi mental politik tidak akan mencapai hasilnya.

Agenda kedua adalah membangun konsensus dan komitmen para elite politik partai sesegera mungkin untuk mereformasi sistem kepartaian secara menyeluruh. Begitu kesepakatan terbangun, reformasi sistem kepartaian dapat dimulai dengan membuat ruang lebih besar agar publik memiliki akses untuk mengontrol dan berpartisipasi dalam proses di partai politik. Ini penting karena partai politik saat ini masih lebih banyak dikontrol oleh para elitenya sehingga sulit sejalan dengan agenda-agenda revolusi mental politik. Salah satu langkah awal untuk ini adalah dengan mengubah fundamental dalam pembiayaan partai politik yang lebih berorientasi pada peran publik.

Ketiga, agenda revolusi mental politik adalah memastikan kebijakan dan gerakan pemberantasan dan pencegahan korupsi benar-benar konsisten dijalankan. Dalam jangka pendek ini, penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah agenda penting. Publik menghendaki kewenangan-kewenangan KPK diperkuat.

Menurut survei SMRC pada Desember 2015, misalnya, sebagian besar publik (lebih dari 75 persen) tidak setuju bila ada upaya mencabut kewenangan KPK untuk menyadap dan melakukan penuntutan. Presiden dan jajarannya perlu memastikan dan menunjukkan komitmen bahwa mereka 100 persen melaksanakan agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar